PEKANBARU (CAKAPLAH) - Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Rabu (6/11/2018) besok akan menabalkan gelar kehormatan adat kepada, Sutardji Calzoum Bachri yang akan dilaksanakan di Balai Adat Melayu Riau jalan Diponegoro, Pekanbaru, Riau. Sastrawan kelahiran Riau tersebut akan menyandang gelar Datuk Seri Pujangga Utama.
Lantas apa makna gelar Kehormatan Adat Datuk Seri Pujangga Utama tersebut? LAMR dalam siaran persnya kepada CAKAPLAH.COM menerangkan bahwa kata ‘datuk’ bisa diartikan sebagai orang yang mulia atau orang patut karena kemampuan dan pengabdiannya kepada masyarakat. Sedangkan frase ‘Datuk Seri pujangga’ bisa dipahami sebagai sesosok tokoh yang melahirkan karya sastra baik puisi maupun prosa fiksi.
“Pada gelar kehormatan adat Sutardji Calzoum Bachri, kata ‘utama’ itu memang amat perlu disebutkan. Sebab ia tidak saja menulis puisi maupun prosa fiksi sekaligus menguasai ilmu sastra, tetapi juga menulis prosa biasa, pemikir, dan proses kehidupannya dapat menjadi contoh,” kata Ketua Majelis Kehormatan Adat (MKA) LAMR Datuk Alazhar, Selasa (6/11/2018).
Ia mengatakan, di tengah kegelimangan dunia yang konsumerisme misalnya, Sutardji tetap teguh menjalani profesinya pada dunia sunyi sastra yang sebenarnya sangat diperlukan bagi pemartaban manusia. Ia pun senantiasa tampil sebagai pelopor dalam penulisan maupun penyampaian karya sastra terutama puisi. Walhasil, makna frase gelar kehormatan adat Datuk Seri Pujangga Utama, menyarankan pengertian orang patut yang bercahaya sebagai sastrawan, terutama karena pencapaian dan dedikasinya secara istimewa dalam kehidupan manusia.
Dikatakan Datuk Alazhar, Gelar adat kehormatan LAMR sudah diberikan kepada tujuh orang sejak tahun 1970 dan Sutardji merupakan orang kedelapan menerima gelar adat. Sejumlah tokoh besar yang pernah menyandang gelar adat kehormatan dari LAMR diantaranya Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono, Hamengkubuwono IX, dan Rida K.Liamsi dan yang terbaru Ustaz Abdul Somad.
Riwayat Hidup dan Pengabdian
Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941 dari pasangan Mohammad Bachri dengan May Calzoum. Oleh karena ayahnya seorang polisi yang berpindah-pindah tempat tugas, tak pelak lagi menyebabkan SCB juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain juga di Riau. Begitulah masa kecilnya selain di Rengat, juga ditempuh di Bengkalis, Pasirpengarayan, Pekanbaru, dan Tanjungpinang—orangtuanya menetap di sini sekaligus menjadi tempat tingal keluarga besar SCB--seperti menjelajahi kawasan jantung-jantung Melayu di kawasan ini.
Semasa kecil SCB akrab dengan berbagai cerita rakyat yang disampaikan ibunya menjelang tidur. Ia juga menyerap begitu banyak tradisi pantun, gurindam, dan mantra yang dalam masyarakat Melayu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dalam kepungan tradisi dan kebudayaan itulah SCB secara otodidak mempelajari kesusastraan, khususnya menafsir kembali keindahan puitik karya-karya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.
Setelah lulus SMA ia melanjutkan studi ke Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Bandung. Mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan ruang kebudayaan Sinar Harapan serta Berita Buana.
Pada masa itu kesusastraan Indonesia dan kesenian pada umumnya sedang memasuki fase mempertanyakan kembali segala bentuk estetika yang berkembang. Sejumlah eksprementasi dilakukan. Eksistensialisme dan absurdisme menjadi kecenderungan. Beberapa sastrawan mencoba melakukan penggalian estetika dari tradisi tasawuf yang dikembangkan para penyair sufi di satu pihak dan tradisi etnisitas di lain pihak. Semangat yang mengemuka pada saat itu adalah kembali ke akar kembali ke tradisi. Di antara sastrawan yang mengusung semangat tersebut, SCB tampil secara fenomenal.
Pada 1975 ia hijrah dari Bandung ke Jakarta. Lalu, ia menjadi salah seorang redaktur majalah sastra Horison. Di Jakarta, SCB seperti menemukan tempat yang tepat pada saat yang tepat. Berhamburanlah karya-karyanya yang secara sadar mencoba menghancurkan bentuk estetika sebelumnya. Puisi yang bermain dalam tataran kata dan makna kata, sintaksis dan semantik, dibongkar dengan mengusung kata yang merdeka. ”Kata-kata bukanlah mengantarkan pengertian ... kata adalah pengertian itu sendiri. Ia bebas ... Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea...”
Dalam tataran pemahaman terhadap kata-kata itulah, SCB melihat mantera di kawasan Melayu Riau sebagai suatu pijakan kreatif. Sebab dalam mantera Melayu, kata-kata selalu terlihat otonom, memiliki dirinya sendiri sehingga dapat memberi sesuatu kepada manusia yang dalam bahasa lain dapat juga disebut memiliki sugesti. SCB mnenyebutnya sebagai semangat kata-kata, sehingga kreativitas yang digelutinya berkisar pada bagaimana mengembalikan kata-kata pada hakikatnya yang sebenar.
Tak pelak lagi, auman SCB itu memang merupakan suara besar bagi daya cipta sastrawan karena bukankah pada hakikatnya pula, keberadaan sastrawan tidak terlepas dari memosisikan kata-kata. Sementara di kalangan umum, kata-kata senantiasa difungsikan bagi kepentingan si pemakainya, kemudian terjebak dalam pengertian-pengertian tertentu dan dipatrikan dalam makna kamus. Setidak-tidakya, SCB sangat merisaukan keberadaan kata-kata sebagai elemen terpenting dalam bahasa.
Cuma di sisi lain, kata-kata sebagaimana halnya bahasa, pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulisan. Bagi kepentingan itu pulalah, maka SCB dengan amat fenomenal pula tampil sebagai pembaca puisi terdepan di Tanah Air, seperti berjalan seiringan dengan sajak-sajak yang ditulisnya. Berbagai alat dipergunakannya untuk melenhgkapi kehadiran lisan atau pelisanan sajak-sajaknya itu, seperti harmonika. Tidakkah dengan demikian, dapat membayangkan bagaimana tradisi lisan Melayu Riau dilantunkan seperti pengkoba di Sungai Rokan yang tidak akan tinggal dengan gebanonyo.
Alkisah, musim panas 1974, Sutardji mengikuti Internationl Poetry Reading di Rotterdam. Oktober 1974 sampai April 1975 mengikuti International Writing Program di Iowa City, USA. Bersama penyair KH. Mustofa Bisri, Taufiq Ismail, SCB diundang ke Pertemuan International Para Penyair di Baghdad, Irak. Pernah pula diundang Datuk Anwar Ibrahim (ketika masih menjabat sebagai Menteri Keuangan Malaysia) membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Dia Ikut menghadiri berbagai pertemuan sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Pengelanaan SCB ke mancanegara itu tidak hanya mengangkat reputasi puisi SCB yang sarat dengan kultur kemelayuan, tetapi juga mengangkat reputasi kesusastraan Indonesia secara umum sebagai warga sastra dunia. Tahun 1997 misalnya, dengan sponsor Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud, SCB dipercayai mewakili Indonesia untuk memenuhi undangan membaca puisi pada Festival Puisi Internasional Medellin, Colombia. Tahun 2004, membaca puisi pada Poetry Festival Durban, Afrika Selatan. Pada tahun yang sama juga membaca puisi di Tradewinds Literature International Ferstival, Capetown, Afrika Selatan. Ini disusul membaca puisi di Winternachten Poetry Festival di Den Haag, Belanda, 2005.
Buku O, Amuk, Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) merupakan kumpulan puisinya dari tiga buah buku, yaitu O (1973), Amuk (1977; mendapat hadiah puisi DKJ 1976-1977), dan Kapak (1979). Di samping itu, puisi-puisinya telah termuat dalam berbagai antologi, seperti Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from the World (USA), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kuststichting, 1975) dan Ik Wil Nog Dulzendjaar Leven, Negen Moderne Indonesische Dichter (1979).
Juga dalam Ajip Rosidi (editor), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of Southeast Asian Literature 36-37 (1997), dan lain-lain. SCB juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang: Indonesia Tera, 2001), sedangkan kumpulan esei bertajuk Isyarat, diterbitkan tahun 2007 oleh Penerbit Kompas. Ia bahkan menulis novel anak-anak berjudul Lumba-lumba Ungu (1984), kisah heorik anak-anak melawan serangan akso polisionil tentara Bakanda.
Sutardji mendapat berbagai penghargaan, antara lain ”Anugerah Seni Pemerintah RI” (1993) dan ”South East Asia Write Award (SEA Write Award)” (1999) dari Kerajaan Thailand. Sembilan belas tahun kemudian dia mendapat ”Penghargaan Sastra” Chairil Anwar. Pada tahun 2001 dia dianugerahi gelar ”Sastrawan Perdana” oleh Dewan Kesenian Riau. SCB juga mendapatkan ”Penghargaan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) tahun 1995.
Pada tahun 2008, tepatnya 14 Agustus 2008, SCB bahkan menerima dua penghargaan dalam sehari. Satu penghargaan malahan diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa penghargaan Bintang Budaya Parama pada siang hari, merupakan oenghargaan tinggu kebudayaan di negara ini. Sedangkan pada malam harinya, SCB memperoleh Bakrie Award.
Sampai sekarang, kepenyairan SCB yang memounyai anak bernama Mila Seraiwangi, hasil perkawinannya dengan Maryam Linda, tetap kokoh sebagai salah satu monumen perjalanan kesusastraan Indonesia.
Reputasinya itulah salah satu alasan yang mengantarkan Sutardji Calzoum Bachri mendapat predikat ”Presiden Penyair Indonesia”. Sebuah julukan yang menunjukkan reputasi dan kewibawaannya sebagai penyair, sebagai maestro.
Penulis | : | Rilis |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Riau, Serba Serbi |