Evandes Fajri
|
ANBARU (CAKAPLAH) - Kepala Inspektorat Provinsi Riau, Evandes Fajri, dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau terkait dugaan pungutan liar (pungli). Laporan itu masih dalam proses penelaahan pihak kejaksaan.
"Sudah terima (laporan). Masih ditelaah," ujar Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) dan Hubungan Masyarakat (Humas) Kejati Riau, Muspidauan, Rabu (13/2/2019).
Muspidauan enggan menyebutkan secara detail terkait laporan tersebut. Termasuk, siapa pihak yang melaporkan Evandes ke Kejati Riau.
Muspidauan menegaskan, pelapor adalah pihak yang harus dilindungi dan telah diatur dalam undang-undang. "Kami tak bisa sebutkan identitas pelapor karena dilindungi undang-undang," tegas Muspidauan.
Informasi dirangkum, laporan terkait dugaan pemotongan tunjangan dengan kewenangan pimpinan dan atau pemalsuan pertanggungjawaban uang tunjangan ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (DPPKAD) Provinsi Riau yang dilakukan oleh pimpinan Inpektorat Provinsi Riau.
Tidak hanya pucuk pimpinan, dalam laporan itu juga menyebutkan Inspektur Pembantu Wilayah dan pihak-pihak terkait lainnya diduga ikut terlibat atas dugaan pemotongan tunjangan tersebut.
Dalam kasus ini, Evandes sudah pernah dipanggil ke Kejati Riau. Dia diminta klarifikasi terkait laporan itu. "Saya sudah dipanggil kejaksaan, dan sudah saya jelaskan ke kejaksaan. Saat itu saya bawa bukti-bukti lengkap," katanya.
Evandes menceritakan asal mulanya adanya pengaduan tersebut. Dimana pada saat lebaran dia mengakui membuat kebijakan pemotongan single salary sukarela untuk THR (Tunjangan Hari Raya) para tenaga honorer yang gajinya hanya Rp1.750.000.
"Gaji itulah yang dibawa untuk anak istrinya. Dari situ kita berkeinginan membantu karena pada saat itu single salary ASN cair tiga bulan yang laporannya dibantu anak honorer. Karena itu pegawai saya menyampaikan biar mereka yang memberikan tunjangan tunai kepada honorer. Kalau seperti itu tak terkoordinir, maka saya inisiatif buat edaran, ada yang memberi tunai dan yang minta potong di rekening," terangnya.
Saat itu, Evandes mengaku terkumpul anggaran suka rela dari ASN Inspektorat sebesar Rp56 juta untuk 30 honorer di Inspektorat. Dimana masing-masing honorer mendapat tunjangan Rp1.750.000. "Tapi honorer yang lembur sampai malam tidak sama. Saat itu tidak ada masalah, dan honorer bisa terbantu untuk tunjangan lebarannya," ujarnya.
Kemudian, lanjut Evandes, pihaknya kembali mengakomodir sumbangan sukarela untuk tunjangan akhir tahun tenaga honorer. Saat itu Evandes mengaku telah menyampaikan perihal itu di group WhatsApp Inspektorat namun tidak ada respon dari pegawai.
"Saat itu saya buat nota dinas agar seluruh pegawai Inspektorat untuk berkenan dipotong 1 persen dari jumlah single salarynya untuk honorer. Kalau tunjangan pegawai Rp10 juta dipotong lah Rp100 ribu. Waktu itu terkumpul Rp25 juta dan dibagi untuk honorer, ada yang dapat Rp500 ribu dan Rp1 juta, tergantung prestasi kenerjanya," paparnya.
Memang pemotongan itu diakui Evandes ada sebagian pegawai yang keberatan. Namun dia sudah menegaskan kepada bendahara Inspektorat mana pegawai yang keberatan agar uangnya diganti.
"Tapi setelah saya tanya ke bendahara tidak ada yang minta uangnya. Berarti saya anggap sudah selesai," cakapnya.
Namun belakangan pengaduan itu mencul, tambah Evandes, karena ada pejabat senior yang dipindahkan tugas. Namun yang bersangkutan tak terima dan marah-marah. "Nah, dari dasar itulah dia (orang dalam Inspektorat) membuat surat pengaduan ke Kejaksaan. Itulah awalnya, dan saya lihat pengaduan pakai cap jempol, bukan tanda tangan. Masak surat pengaduan pakai cap jempol," tukasnya.