SUDAH lama saya tak memenuhi permintaanya. Ketika anakku yang nomor dua, minta diceritakan dongeng sebelum tidurnya. Dulu ia takkan tidur, sebelum mendengar cerita dongeng dari saya. Gemilang Mulyana Rodhi namanya. Kini usianya memasuki tahun kelima.
Malam itu saya tak bisa lagi mengelak dari “todongannya”. Ia meronta “memberondong” saya. Ditambah lagi tatapan tajam ibunya. Mengisyaratkan saya, agar kali ini mau memenuhi permintaan anaknya. Masalahnya, saya bingung mau bercerita apa.
“Cerita Kancil dan Singa saja ayah” pintanya. Dengan wajah penuh harap dan bahagia.
Akhirnya, dalam kebingungan yang melanda, jadilah kisah Kancil dan Singa mengalir begitu saja.
Tersebutlah seekor Singa muda nan perkasa. Si raja rimba yang baru saja naik tahta. Baru saja menerima tampuk kekuasaan dari pendahulunya. Pendahulu yang dianggapnya lemah, yang dinilai tak bisa menggunakan kekuasaannya. Tak perlu dikenang-kenang jasa mereka. Karena dinilai hanya menghabis-habiskan masa.
Makanya dalam berbagai pertemuan dengan rakyat rimba, ia selalu menekankan; ini bukan raja baru. Tapi ini baru raja.
Semua harus tunduk padanya. Tak boleh ada yang membantah. Karena kebenaran itu hanya milik penguasa. Persetan dengan kebijaksanaan dan etika. Segan, menghargai dan menghormati para tetua, hanyalah “lagu lama”. Kalau dibiarkan, sewaktu-waktu malah bisa menggerogoti kekuasaan raja. Pokoknya kalau tak nurut, libas saja.
Ketakutan pun menyelimuti rimba raya. Tak ada yang berani bersuara.
Memang itulah tujuan utamanya. Mengacu pada ajaran tentang kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Sesuai titah tuan besar. Biasa dipanggil Singa sebagai “yang mulia”. Yang kadang-kadang “dituhankannya”.
Menyanyah..
Sebuah ajaran yang sebenarnya berasal dari kumpulan teks-teks tua, yang ditulis tahun 1513 di Italia. oleh seorang pegawai negeri dan teoritikus politik Firenze Niccolo Machiavelli.
Walau penuh kontroversi, kumpulan ajaran itu sempat diterbitkan tahun 1532. Dalam bentuk buku berjudul “Sang penguasa”. Intinya, sang penguasa tak cukup hanya menjadi singa perkasa. Sebagai sosok yang ditakuti dan disegani. Namun harus bisa menyatukan karakter Singa dan Rubah. Dimana jika perlu, penguasa harus menggunakan cara-cara licik dan kejam untuk menjaga kekuasaannya.
Disitulah perlunya sang Singa mengasah taringnya dengan Propaganda. Mengasah cakarnya dengan “politik shock Theraphy”, yang menjadi cikal bakal “Otoritarianisme”.
Propaganda diperlukan dalam upaya melancarkan isu dan informasi yang disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi. Memanipulasi alam pikiran atau kognisi. Mempengaruhi lagsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propganda.
Sedangkan Politik Shock Theraphy diperlukan untuk menggerus nyali siapa saja yang berani merintangi.
Kembali ke rimba raya. Pernah suatu ketika, seekor harimau muda bernama “Tigon” terkenal dengan auman kerasnya. Hingga disegani penduduk rimba. Bahkan sangat disegani koloni kuda.
Ternyata kabar itu tak disenangi sang raja Singa. Meski harimau muda itu masih saudaranya. Hasil perkawinan silang ibunya. Namun dianggap bisa mengganggu kekuasaannya.
Maka dibuatlah propaganda; kalau harimau muda tengah mengincar koloni kuda. Yang akan dijadikan santapan wajibnya. Hal itu diperlukan harimau untuk menguatkan aumannya. Tigon bersama koloni harimau lainnya pun membantah.
Disitulah raja Singa melancarkan cakar politik Shock Theraphynya. Caranya; salah satu kuda pun dimangsa. Bersamaan diringkusnya Tigon si Harimau Muda. Tigon disiksa sedemikian rupa, hingga taring dan giginya patah.
Singkat cerita; Tigon yang dalam keadaan lemah, dilumuri darah kuda, diletakkan disebuah bukit ditengah rimba. Dengan sisa daging dan tulang belulang kuda di sampingnya. Simpulkan sendiri apa tujuannya.
Tak mau kalah, koloni harimau membalas pula dengan propaganda. Dengan malancarkan isu dan informasi bahwa sang raja bukanlah Singa asli rimba raya. Melainkan hasil perkawinan silang antara Singa jantan Tiongkok dengan ibunya Singa betina. Ini hanyalah fiksi belaka. Mana tahu, ada kemiripan dengan dunia nyata.
Begitulah propaganda berseliweran di rimba raya. Tentu saja intinya kekuasaan. Apapun dijadikan alat propaganda. Bahkan tak terkecuali agama. Nauzubillah..
Melihat situasi yang ada, akhirnya banyak penghuni rimba mendatangi sang Kancil. Yang dikenal bijak dan kaum Cendikia di rimba raya. Mereka mendesak kancil bertindak sesuai kapasitasnya. Jangan hanya diam saja.
Setelah mengingat dan menimbang, akhirnya kancil memutuskan; berkirim surat pada sang raja. Singa muda nan perkasa.
Isinya; berupa masukan dan dampak buruk ajaran yang terangkum dalam buku Sang Penguasa. Yang diawal penerbitannya telah menuai kontroversi di dunia.
Dimana menurut Prof. Alexander Newman dari Fakultas Bisnis dan Hukum Deakin University, dampak dari ajaran ini akan membuat seorang pemimpin “haus kekuasaan”. bahkan mendorong pemimpin tersebut berlaku agresif terhadap siapa saja yang menentangnya.
Bukan itu saja, ketakutan dan stres yang diakibatkan pemimpin seperti ini, akan memunculkan bawahan-bawahan bermental Asal Bapak Senang (ABS).
Sedangkan ditingkat rakyat, bisa mendorong munculnya kaum-kaum oportunis. Bahkan mendorong tergerusnya rasa nasionalisme atau rasa memiliki terhadap tanah airnya. Kalau sudah begini, NKRI tentu bukan harga mati lagi. Upps..
Akhirnya propaganda pamungkas pun dilancarkan sang raja. Penguasa rimba raya. Tiba-tiba tersiarlah kabar, bahwa koloni kancil merupakan koloni paling “radikal” se-rimba raya.
Alamak.. ujar ibunya menimpali. Ternyata anakku Gemilang Mulyana sudah terlelap dalam tidurnya. Zzz..zzz.*
Penulis | : | Suardi, S.Sos, M.I.Kom (Dosen Jurnalistik Sastrawi, Prodi Komunikasi, FDK UIN Suska Riau). |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |