Peringatan hari konstitusi yang ditetapkan setiap tanggal 18 Agustus merupakan langkah yang tepat untuk memunculkan isu amandemen UUD 1945, namun konsep amandemen biasanya muncul jika ada perbaikan dan ingin menyempurnakan sistem ketatanegaraan dengan mengubah pasal demi pasal dalam batang tubuh UUD 1945, ada pula konsep yang berlainan dengan amandemen itu yakni ingin mengembalikan konstitusi ke naskah UUD 1945 yang asli. Secara peristilahan sebenarnya penulis tidak sependapat dengan sebutan “naskah UUD 1945 yang asli”, sebab jika menyandingkan ada naskah UUD 1945 yang asli maka ada pula naskah UUD 1945 yang palsu, tentu hal semacam ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah dokumen ketatanegaraan Indonesia. Namun ada baiknya pendekatan peristilahan itu disebut dengan “naskah UUD 1945 awal kemerdekaan” minimal untuk memperkecil kerancuan peristilahan yang dilabelkan terhadap konstitusi itu sendiri.
Persepsi masyarakat terhadap UUD 1945 ketika munculnya isu amandemen, maka akan terbentuk tiga pola yang selalu konsisten, pertama mereka yang ingin mengamandemen kembali UUD 1945, kedua, mereka yang ingin mempertahankan UUD 1945 yang berlaku saat ini, dan yang ketiga, mereka yang ingin mengembalikan UUD 1945 ke naskah awal kemerdekaan.
Jika ditelisik pola pertama maka secara teoritis dapat dibenarkan karena konstitusi itu sendiri memang menyedikan prosedur perubahan, misalnya dalam UUD 1945 terdapat mekanisme perubahan konstitusi pada pasal 37, meskipun karakter perubahan konstitusi (Indonesia) itu sendiri bersifat rigid (kaku), maka di sini amandemen sangat dimungkinkan karena bisa saja konstitusi yang diniatkan dan dirancang untuk jangka waktu yang lama justru tertinggal dari perkembangan masyarakat itu sendiri.
Bagi mereka yang ingin memertahankan UUD 1945 yang berlaku saat ini juga memiliki alasan yang logis disebabkan konstitusi yang berjalan saat ini sudah memenuhi unsur-unsur hukum dasar negara yang memadai semisal adanya fungsi check and balances pada kekuasaan lembaga negara, adanya badan peradilan yang bebas dan mandiri, dipertegasnya jaminan negara hukum dan HAM, jaminan demokratisasi dalam pemilu, otonomi daerah seluas-luasnya hingga pembatasan kekuasaan pada jabatan Presiden. Dengan demikian ini UUD 1945 yang berlaku saat ini bukanlah sepi pendukung karena masing-masing mereka menyadari UUD 1945 yang berlaku saat ini sudah memenuhi unsur-unsur konstitusi yang baik walaupun ada juga celah ketidaksempurnaan namun masih sangat layak untuk dimaklumi.
Pola ketiga yang menjadi isu sentral amandemen konstitusi, justru ingin mengembalikan UUD 1945 pada naskah awal kemerdekaan, mungkin agak sulit kiranya bagi penulis untuk menerima “logika urgensi” bagi kelompok yang berkeinginan seperti itu, karena jika kita telisik dari pendekatan historical, maka dapat kita jumpai bahwa pembentuk konstitusi justru menyadari bahwa keberadaan UUD 1945 awal kemerdekaan belumlah lengkap dan sempurna.
Dalam pidatonya pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno sebagai Ketua PPKI pernah menyatakan “…ini adalah UUD kilat, nanti kalau kita sudah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD 1945 yang lebih lengkap dan lebih sempurna….”,
Soekarno kembali menyiratkan ketidakpercayaan dirinya terhadap keberlakuan konstitusi dengan menyebutkan sifat kesementaraan dari UUD 1945 dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada 10 November 1956, dalam pidato tersebut Soekarno menyatakan “….kita sudah mempunyai tiga konstitusi, tapi semua konstitusi itu (UUD 1945, KRIS 1949, UUDS 1945) adalah bersifat sementara…”.
Jika ingin mengulik lebih jauh, tidak lama setelah negara Indonesia mengesahkan UUD pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah kemerdekaan), ada beberapa gerakan yang ingin meniadakan keberlakuan UUD 1945 dengan alasan bahwa pengesahan UUD 1945 akan memunculkan pemerintahan yang otoriterisme dan alasan lain yang muncul adalah UUD 1945 berwatak fasisme.
Jika kita pertentangkan pendapat yang ingin memberlakukan kembali UUD 1945 naskah awal kemerdekaan dengan semangat historical ketika UUD 1945 itu dibentuk maka tidak akan dijumpai titik temu yang dapat meyakinkan kita pentingnya gagasan tersebut. Justru ini merupakan bentuk langkah mundur bernegara yang jika diterapkan akan muncul bentuk pola kekuasaan baru yang jauh dari kata demokratis.
Dalam praktik bernegara, UUD 1945 yang pernah dijalankan oleh Soeharto justru menciptakan kekuasaan yang “arogan” dan menggerogoti HAM, bahkan Soeharto pernah berujar bila perlu menculik anggota MPR dengan maksud agar sidang untuk mengubah UUD 1945 tidak mencapai kuorum. Melihat itu, betapa nyamannya kekuasaan menggunakan perangkat UUD 1945 naskah awal kemerdekaan, maka banyak peneliti Hukum Tata Negara dan politik yang berkesimpulan pada masa orde baru terjadi beberapa penyimpangan dari prinsip negara hukum karena ketiadaan sistem check and balances sehingga menimbulkan eksekutif heafy dan bermuara pada pelaksanaan pemerintahan yang otoriter. Bahkan pandangan Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud MD bahwa UUD 1945 awal kemerdekaan terbukti selalu menimbulkan sistem politik yang bertentangan dengan prinsip pendirian negara yang demokratis.
Sedikit pembelaan Mahfud MD bahwa UUD 1945 awal kemerdekaan sangatlah bagus karena disusun oleh para faunding people dengan penuh keikhlasan dan ia mampu menggambarkan masa lalu dan masa depan Indonesia yang dicitakan, namun dengan catatan hasil karya konstitusi tersebut bagus untuk ukuran zamannya, seperti kata K.C Wheare, UUD itu tetaplah merupakan resultante atau produk kesepakatan yang terkait dengan keadaan atau situasi politik, sosial, ekonomi dan budaya saat konstitusi itu dibuat.
Dengan demikian kita harus menyadari buah nyata dari reformasi saat bergulirnya amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002 setidaknya mampu membuktikan adanya desakralisasi konstitusi, artinya UUD 1945 tidak alergi untuk dilakukan perubahan bahkan itu akan menjadi kebutuhan jika untuk dan atas nama penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun apabila ada gagasan mengembalikan UUD 1945 pada naskah awal kemerdekaan maka yang perlu dipastikan adalah apakah gagasan itu menjamin untuk memperbaiki titik lemah UUD 1945 yang berlaku saat ini? Atau apakah gagasan itu mampu menjawab tantangan perkembangan zaman saat ini? Tentu bagi penulis itu akan sangat sukar untuk dijawab jika kita sandingkan situasi hukum, politik, sosial, ekonomi maupun budaya pada awal kemerdekaan dengan perkembangan saat ini.
Penulis | : | Rachmad Oky SH MH, Dosen Hukum Tata Negara FH Unilak/ Direktur Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |