Pekanbaru (CAKAPLAH) - Dewan Pers bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, menggelar Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak,
dengan tema 'Peningkatan Kualitas Pemberitaan Media Yang Ramah Anak', Kamis (22/8/2019) di salah satu hotel di Pekanbaru, Kamis (22/8/2019).
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Staf Ahli Menteri Hubungan Antar Lembaga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rini Handayani, Anggota Dewan Pers Asep Setiawan, dan Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Indra Gunawan.
Rini Handayani mengatakan persoalan kekerasan terhadap anak harus mendapat perhatian serius dari semua kalangan. Sebab kekerasan yang diterima anak tidak hanya fisik tapi juga psikis hingga kekerasan seksual.
Oleh sebab itu dalam memberitakan peristiwa yang melibatkan anak, baik sebagai korban, pelaku atau saksi, media massa diminta untuk turut menjaga masa depan anak. Salah satunya tidak mengekspos secara vulgar identitas anak.
Sementara itu Asep Setiawan memaparkan pedoman-pedoman pemberitaan tentang pemberitaan ramah anaj yang telah disusun Dewan Pers.
12 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak berdasarkan Peraturan Dewan Pers nomor 1/ Peraturan-DP/II/2019 itu yakni;
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penulis | : | Jef Syahrul |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serba Serbi |