Presiden Joko Widodo telah menetapkan Tim Pansel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 17 Mei 2019 yang tertuang pada Keputusan Presiden nomor 54/P tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan 2019-2023. Dalam Penetapan tersebut, terpilih Sembilan nama pansel yang diketuai oleh Dr Yenti Ganarsih SH MH, Wakil Ketua Prof Dr Indriyanto Senoadji SH MH, dengan tujuh anggota diantaranya adalah: Prof Dr Harkristuti Hakrisnowo, Prof Dr Marcus Priyo Gunarto SH MHum, Prof Dr Hamdi Moeloek, Dr Diani Sadiawati SH LLM, Dr Mualimin Abdi SH MH, Hendardi SH, AL Araf SH MT. Sembilan Pansel tersebut mengemban empat tugas salah satunya yaitu: Menyeleksi dan menentukan nama Calon Pimpinan KPK, dan Menyampaikan nama calon Pimpinan KPK kepada Presiden.
Akar Masalah, Ada di Tim Pansel
Penetapan Pansel tersebut penuh dinamika dan kontra, pasalnya karena penetapan pansel tidak sesuai dengan semangat anti korupsi dan bertentangan dengan UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang mana penetapan pansel harus memenuhi dua unsur keterwakilan yaitu unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Untuk persoalan ini terdapat pansel yang tidak terwakilkan unsur anti korupsi yaitu Dirjend kemenkumham, menurut rekam jejak kesehariannya juga tidak bergelut pada isu anti korupsi, padahal berdasarkan pasal 30 ayat (3) UU KPK, Pansel harus terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat jika presiden mengadopsi unsur pemerintah tentunya harus melihat rekam jejak yang akan dijadikan keterwakilan tim pansel, tetapi faktanya presiden tidak mempertimbangkan hal tersebut. Selain itu juga terdapat penasehat kapolri Tito Karnavian di bidang HAM dalam Struktur Tim Pansel KPK yaitu Hendardi, sebagai anggota pakar tim gabungan kasus teror Novel Baswedan bersama dengan Indriyanto bentukan Kapolri Tito Karnavian.
Persoalan dinamika unsur keterwakilan yang menjadi keributan di publik juga terlihat dari Pansel Mualimin Abdi yang tidak pernah melaporkan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) terkait polis asuransi sebesar Rp2,5 Miliar, Selain bermasalah soal kejujuran dan laporan keuangan beliau juga pernah berkonflik dengan jasa laundry dengan menuntut mereka ratusan juta karena masalah jasnya kusut.
Hasil Rekam Jejak Pansel 2019 ditemukan anggota pansel yang diisinyalir tidak berpihak kepada semangat pemberantasan korupsi dan bersikap memperlemah KPK dengan terlibatnya sebagai tim ahli rancangan KUHP yaitu Yenti Ganarsih dan Harkristuti Hakrisnowo. Selain itu, anggota pansel Indriyanto Seno Adji menurut rekam jejak pernah menjadi advokat yang menangani pembelaan kasus korupsi, Kejahatan Perbankan dan Pelanggaran HAM. Indriyanto Seno Adji diantaranya pernah menjadi kuasa hukum terdakwa Abdullah Puteh mantan Gubenur Aceh dalam kasus pengadaan helikopter dengan kerugian Negara Rp13,6 Miliar. Indyanto Seno Adji juga pernah menjadi kuasa hukum orang-orang yang terlibat penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas keuangan yaitu Paul Sutopo dkk, dan juga pernah menjadi kuasa hukum Tomi Soeharto dalam kasus kepemilikan senjata api dan pembunuhan hakim Jaksa Agung Syaifudin Kartasasmita dan beliau juga tercatat sebagai kuasa hukum yayasan Supersemar milik Soeharto dalam kasus gugatan perdata penyalahgunaan uang Negara.
Berdasarkan catatan rekam jejak pansel tersebut, akar persoalannya pertama bermula dari penetapan pansel itu sendiri, walaupun Presiden mempunyai kuasa penuh dan berewenang dalam membentuk pansel namun bukan berarti Presiden dapat sewenang-wenang menunjuk figur pansel tanpa memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan ketentuan dalam UU KPK No 30 tahun 2002.
Persoalan kedua adalah timbul keraguan publik untuk mempercayai bagaimana hasil kinerja pansel dalam melakukan penyeleksian, jika panselnya bermasalah sehingga ini akan berdampak kepada nasib pemberantasan korupsi ke depan. Alhasil kinerja Pansel penuh bayang-bayang kritikan karena penetapan tim pansel yang salah.
Mereviuw Kerja Pansel KPK
Sulit kiranya publik menerima hasil kerja pansel yang terhitung masa kerja sampai terbentuknya pimpinan KPK 2019-2023. Jika dilihat dari kisruh persoalan pada proses penyeleksaian sehingga sampai kepada penetapan 20 nama capim KPK, publik melihat Pansel tidak objektif dalam bekerja dan perlu kiranya dievaluasi segera oleh Presiden sebelum timbul kegaduhan atas sikap ketidapercayaan publik terhadap kinerja pansel yang menimbulkan polemik dan bertentangan dengan UU no 30 tahun 2002.
Awal mulanya terjadi polemik dan kritikan tajam oleh publik karena pansel memilki argumen tersendiri terkait dengan perihal tidak wajibnya capim KPK untuk melaporkan LHKPN. Padahal menurut UU Tidak pidana korupsi Pasal 29 poin 11 UU 30 tahun 2002 yaitu “Mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Tim pansel justru tidak mengindahkan amanat UU tersebut.
Pengumuman 20 capim KPK lolos dalam tes profile asessement tetapi 20 capim yang telah diumumkan oleh tim pansel menimbukan tanda tanya publik, pasalnya terdapat capim yang bermasalah terkait dengan pelanggaran kode etik saat bekerja di KPK, penerimaan gratifikasi, tidak melaporkan LHKPN, serta terlibat dalam penghambatan kerja KPK dan perlemahan institusi KPK.
Diantara 20 Nama Capim tersebut antara lain adalah Irjend Antam Novambar yang diduga mengancam bekas direktur penindakan KPK Kombes Endang Tarsa, Irjend Firli Bahuri yang diduga bertemu terperiksa saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK, M. Jasman Panjaitan selaku jaksa yang diduga menerima duit dari terdakwa pembalakan hutan DL Sitorus.
Penetepan capim tersebut jelas bertentangan dan justru akan menimbulkan persoalan ke depan jika nama tersebut, pansel tidak mereviuw dan mengevaluasi kembali. Tim pansel seharusnya dalam melakukan test profile assessment harus mengedepankan masukan publik dalam penentuan penyeleksian bukan sebaliknya menetapakan 20 nama capim tanpa mengenyampingkan unsur masukan, padahal dalam proses sosialisasi ketua Pansel Yenti Garnarsih menjamin untuk melibatkan masyarakat dalam saring capim KPK, nyatanya tidak.
Jangan Sampai Jatuh Kepada Orang Yang Salah, Sikap Tegas Presiden Dibutuhkan
Pimpinan KPK yang akan ditetapkan oleh presiden jangan sampai jatuh kepada orang yang salah dan mempunyai Misi untuk memperlemah pemberantasan korupsi, jika dilihat dari pasel dan hasil kinerja penjaringan pansel yang belum final menujukan bahwa niat untuk menghancurkan dan memperlemah kewenangan KPK terlihat jelas. Padahal lembaga KPK masih menjadi sebuah lembaga suci dan publik masih berharap banyak untuk nasib negeri dalam pemberatasan korupsi ke depan.
Apa yang dilakukan KPK selama ini sudah menujukan upaya dan tekad yang kuat untuk menjadikan negeri ini bebas dari rasuah, tetapi masih ada segelintir elite yang berupaya untuk memperlemah lembaga KPK dengan segala upaya yang dilakukan termasuk menyerang dari dalam internal KPK.
Proses seleksi Capim KPK, perlu dievaluasi segera pasca-pengumuman 20 nama capim KPK karena akan berdampak kepada masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia, Presiden selaku kepala Negara harus berdiri pada lingkaran penyelamat KPK bukan berdiri pada segelintir elite yang mencoba untuk menyusup dengan misi yang tidak baik pada lembaga anti rasuah ini.
Mengevalausi kinerja pansel serta menolak hasil kerja pansel dan mencoret calon pimpinan KPK yang bermasalaah adalah langkah kongkrit presiden dan publik membutuhkan itu, apalagi dalam misi pemberantasan korupsi Presiden Jokowi-Maaruf periode kedua yang dicatat bahwa Pertama presiden akan melaksanakan secara konsisten Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang fokus pada perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi di setiap Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Pemangku Kepentingan lainnya, Kedua Meningkatkan kapasitas Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), Ketiga Memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keempat Meningkatkan sinergi dan kerja sama antar-institusi penegak hukum dalam pemberantasan kejahatan korupsi.
Kelima Menggiatkan transaksi non-tunai sebagai tindakan pencegahan penggunaan uang tunai dalam tindak korupsi dan pencucian uang. Keenam Mempertegas penindakan kejahatan perbankan dan pencucian uang. Poin ketiga memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi misi presiden Joko Widodo yang dipertanyakan oleh publik dalam persoalan Capim KPK, Tegaskah Presiden, atau Misinya hanya dikategorikan sebagai programatik Presiden belaka.
Penulis | : | Taufik, Manager Advokasi dan Pengembangan Jaringan FITRA RIAU |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Nasional, Cakap Rakyat |