agnes chow. ©2019 twitter.com
|
(CAKAPLAH) - Penangkapan aktivis muda Joshua Wong dan Agnes Chow, Jumat lalu mencerminkan tindakan represif pemerintah untuk menekan kerusuhan yang akhir-akhir ini mewarnai unjuk rasa Hong Kong. Pemerintah beralasan, penangkapan aktivis pro-demokrasi dilakukan demi stabilitas keamanan Hong Kong. Tetapi di sisi lain keputusan tersebut justru memperburuk terjadinya protes terhadap pemerintah.
Pejabat pemerintah China, bersama dengan Hong Kong memutuskan untuk semakin gencar melakukan penangkapan demonstran. Menurut anggota kabinet dan pemimpin kabinet Hong Kong, kebijakan tersebut berlaku kepada setiap warga yang secara terbuka dicap sebagai aktivis radikal.
Dikutip dari laman The New York Times, (31/8), berdasarkan wawancara dalam dua minggu terakhir ini, politisi lokal menekankan keinginan China agar penangkapan demonstran dilakukan oleh polisi Hong Kong, dan bukan oleh tentaranya sendiri.
Selain penangkapan, Beijing juga semakin pelit mengeluarkan izin kepada para demonstran. Di saat bersamaan, para pemimpin massa aksi unjuk rasa juga menolak mundur.
Politisi Hong Kong menilai, dengan dua pihak yang bersikukuh untuk bertahan maka krisis politik akan berlangsung lama, bahkan hingga 2020.
"Saya berharap kita dapat memulai proses rekonsiliasi sebelum akhir tahun ini," ujar Anggota Dewan Eksekutif Hong Kong, Ronny Tong, pekan lalu.
Sementara, pemerintah China dan Hong Kong berkeyakinan, protes akan berangsur mereda ketika demonstran garis keras berhasil ditangkap. Seorang penasihat kebijakan Hong Kong untuk pemerintah China, Lau Siu Kai mengatakan, penangkapan yang dilakukan polisi Hong Kong dapat menegaskan opini publik tentang kekerasan yang dilakukan demonstran Hong Kong.
Berdasarkan data kepolisian pada Jumat pekan lalu, setidaknya lebih dari 900 orang yang terlibat dalam aksi protes telah ditangkap selama musim panas ini. Sejumlah tokoh politik setempat memprediksi, setidaknya 4.000 pengunjuk rasa telah masuk dalam daftar orang yang dinilai radikal oleh kepolisian. Namun, tidak diketahui secara pasti berapa banyak orang yang akan menghadapi proses hukum.
Sebelumnya, Wong dan Chow ditangkap dengan tuduhan menjadi pemimpin kekerasan di unjuk rasa Hong Kong. Sebaliknya, pengunjuk rasa menuduh pihak berwajib terlibat dalam kerusuhan yang mewarnai unjuk rasa Hong Kong. Menurut para demonstran, polisi menyamar menjadi perusuh agar publik terhasut.
Setelah Wong dan Chow dibebaskan dengan jaminan. Aksi perusakan MTR menutup pawai unjuk rasa Hong Kong pada Sabtu lalu.
Beijing, melalui media pemerintah kerap membangun persepsi tentang unjuk rasa Hong Kong. Oleh media pemerintah, pendemo pro-demokrasi digambarkan sebagai "perusuh".
"Suasana hati polisi terpacu dan mereka menjadi lebih ganas dalam meredam protes," kata Lau yang juga menjadi Wakil Ketua Asosiasi China untuk Hong Kong dan Makau.
Menurut Lau, dukungan dari pemerintah China memberikan kekuatan bagi Hong Kong untuk melakukan perlawanan lebih pada demonstran.
Dikatakan, Beijing tidak ingin demo Hong Kong merusak perayaan hari kemerdekaan China ke 70 tahun, 1 Oktober nanti.
"Beijing tidak akan membiarkan pertumpahan darah terjadi di Hong Kong sebelum itu (hari kemerdekaan China). Setelah 1 Oktober, mulai tanggal 2 saya tidak tahu,"ungkap seorang juru kampanye pro-demokrasi dan pendiri Partai Demokrat Hong Kong, Martin Lee.
Presiden China Xi Jinping lebih memilih untuk mengurus strategi menghadapi gesekan di Hong Kong, dibandingkan menghadapi langsung perang dagang dengan Amerika Serikat yang dinilai lebih berisiko.
Meski demikian, belum jelas seberapa besar keberhasilan strategi Beijing dalam menangani krisis politik Hong Kong. Penangkapan terhadap demonstran sendiri telah menuai kritik dari seluruh dunia.
Pengunjuk rasa pro-demokrasi menilai Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam sebagai boneka pemerintah China.
"Mereka (pemerintah) tidak akan mendengarkan kami," kata Anson Chan, seorang juru kampanye demokrasi.
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Merdeka.com |
Kategori | : | Internasional |
01
02
03
04
05
Indeks Berita