Kemenperin Dorong Penggunaan Bahan Baku Dalam Negeri untuk Industri Tekstil
|
PELALAWAN (CAKAPLAH) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri untuk industri tekstil, seperti serat rayon, sebagai alternatif bahan baku selain kapas dan polyester untuk mengurangi ketergantungan impor.
Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono usai menandatangani kesepakatan pengoptimalan pemakaian bahan baku dalam negeri untuk mendongkrak kinerja tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT). Kesepakatan itu dilakukan bersama dengan Pemerintah, pelaku usaha, asosiasi dan pelaku industri fashion dalam Forum bertema "Upaya Mengoptimalkan Pemakaian Bahan Baku Dalam Negeri untuk Produk TPT Indonesia" di Hotel Unigraha, Pangkalan Kerinci, Riau, Jumat (6/9/2019).
Penandatanganan kesepakatan tersebut diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat serta Sekretaris Jenderal Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita. Termasuk juga Direktur Asia Pacific Rayon (APR) Basrie Kamba, perwakilan desainer dalam Indonesia Fashion Chambers Yufie Safitri Sobari dan pihak terkait lainnya.
"Pemerintah terus berupaya meningkatkan kinerja tekstil Indonesia dengan melaksanakan beberapa kebijakan dan regulasi serta mendorong peningkatan investasi di bidang tekstil. Kami juga mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri untuk industri tekstil, seperti serat rayon sebagai alternatif bahan baku selain kapas dan polyest upaya mengurangi ketergantungan impor," ujar Achmad Sigit Dwiwahjono.
Ia berharap investasi yang dilakukan pada industri rayon juga dapat mendorong peningkatan kinerja produk TPT berorientasi ekspor sehingga Indonesia semakin dekat untuk merealisas ikan target dalam "Making Indonesia 4.0".
Kemenperin mencatat kinerja ekspor industri TPT nasional dalam kurun tiga tahun terakhir terus menanjak. Pada tahun 2016, berada di angka USD11,87 miliar kemudian di tahun 2017 menyentuh USD12,59 miliar dan di 2018 dengan nilai USD 13,27 miliar. Mayoritas produk ekspor adalah pakaian jadi (63,1%), kemudian disusul benang, serat dan kain.
"Impor dikendalikan, daya saing dalam negeri diperkuat. Inilah formula tepat dalam mewujudkan industri TPT nasional untuk masuk jajaran lima besar dunia pada tahun 2030," lanjut Sigit.
Sementara itu, sebagai salah satu perwakilan pelaku usaha yang hadir pada penandatangan kesepakatan tersebut, Asia Pacific Rayon (APR) melihat viscose rayon bisa menjadi motor baru bagi tekstil Indonesia di pasar dunia.
"Dengan sejumlah keunggulan seperti berbahan baku dari bumi Indonesia, biodegradable, dengan harga yang bersaing, rayon bisa menjadi alternatif sekaligus masa depan bahan baku tekstil Indonesia," sebut Direktur APR Basrie Kamba.
Hal senada turut disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat. Ade melihat viscose rayon yang memiliki sifat alami dan mudah terurai akan sangat membantu dalam meningkatkan nilai ekspor industri TPT di Tanah Air.
"Jarang sekali saya mendengar produk tekstil yang everything Indonesia. Yang bisa sustainable dan bisa kita promosikan terus menerus dan rayon ini adalah yang bisa menjadi produk dari Indonesia yang mendunia," ucap Ade.
Pada kesempatan yang sama, Redma Gita selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah harus segera membuat kebijakan strategis demi ber tahan di tengah gempuran impor.
"Banyaknya produk impor yang masuk, membuat industri dalam negeri kewalahan. Bahkan beberapa pabrik harus gulung tikar karena kesulitan bersaing. Jika kondisi ini terus berlanjut maka dalam waktu dua tahun akan mengalami ancaman defisit neraca perdagangan," cakap Redma.