ADA dua isu sangat seksi pekan ini. Pertama, Riau dilamun asap; kedua, KPK shutdown. Shutdown dalam bahasa komputer artinya tutup atau dimatikan. Kabut asap dan KPK dalam situasi darurat. Kedua-duanya seperti ungkapan Latin: periculum in mora, ditunda menyebabkan maut. Bila kita sedikit memiliki awareness (keinsyafan), kedua-duanya mutlak direspon. Asap menantang keinsyafan kemanusiaan, sementara pelemahan KPK menantang keinsyafan moralitas.
Idealnya, kedua-duanya direspon dalam satu tarikan nafas, bila kita mampu kompak bergerak serentak. Kedua persoalan ini sudah tersundak di bahu, sanggup tak sanggup harus dihadapi. Tak ada pedang bambu runcing kita acungkan, tak ada karabin senapang lantak kita kokang. Kalau takut dilamun ombak jangan berumah di tepi pantai. Kalau tak berani berhadapan dengan kedua isu tersebut, tiarap sajalah, tutup mata tutup telinga tutup hidung.
Sesungguhnya, bila pengalaman digunakan sebagai acuan, masyarakat Riau khususnya, sudah khatam berkali-kali dengan musibah kabut asap. Entah sudah berapa dekade kabut asap selalu datang dan datang lagi. Dalam Buku Catatan Harian H. Tengku Said Jaafar (Ketua DPRD Tk II Kabupaten Kampar 1971-1977), yang dihimpun dalam buku Nasehat Sepanjang Zaman (Warisan untuk Lintas Generasi), yang diberi Kata Pengantar oleh budayawan DR. Tennas Effendi, Riau sudah mengalami kabut asap pada tahun 1972. Dalam buku tersebut antara lain tertulis: “Lagi-lagi Riau mendapat bencana kabut. Sengaja aku catat dalam buku ini tentang keadaan udara yang kabut seperti ditutup embun saja. Kemarau Panjang melanda negeri ini sejak bulan April sampai saat ini. Bulan September 1972, permukaan langit mulai ditutup kabut…” Sampai sekarang penyakit itu tak sembuh-sembuh. Hilang setahun dua, kemudian bangkit lagi.
Dari tahun ke tahun begitu, di darat petugas bekerja keras bertempur memadamkan titip api, di udara pesawat terbang melayang-layang menyirami awan dengan garam untuk membuat hujan buatan. Tidak pula sedikit pesawat yang menjatuhkan bom air di tengah gambut yang sedang terbakar. Tragisnya, setiap kali, akhirnya kita menyerah mengharap hujan buatan Tuhan dari langit. Maka, dimana-mana masyarakat dan kantor-kantor, sekolah-sekolah melaksanakan sholat Istisqa, minta hujan.
Darimana datangnya asap kalau bukan dari api. Tak perlu ada pembuktian. Darimana datangnya api? Ini perlu pembuktian. Tapi dari tahun ke tahun kita selalu tuding-tudingan. Masyarakat menuding korporasi yang membakar, korporasi menuding masyarakat perambah hutan yang membakar. Tangkap, lepas, tangkap, lepas, itulah kerja kita bertahun-tahun. Artinya, kita sudah berpengalaman, tapi tak mampu belajar dari pengalaman sebagaimana keledai belajar dari pengalaman sehingga tak akan terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Pelemahan KPK
Dalam bidang korupsi yang membuat kita berurusan dengan KPK pun panjang kisahnya kalau mau ditulis satu persatu. Banyak anak negeri, para pemimpin, politisi dan pebisnis yang tersandung kasus penyalahgunaan kekuasaan. Makhluk yang bernama kekuasaan, “memang kek gitu orangnya”, bersaudara kandung dengan penyalahgunaan. Semakin besar kekuasaannya semakin besar peluang untuk disalahgunakan.
Gerangan adakah aparat penegak hukum? Ada. Banyak. Tapi mereka juga terpapar fenomena, mereka “memang kek gitu orangnya”. Maka umum kita dengar di kedai kopi, ada istilah mafia kasus, mafia peradilan, kongkalingkong, patgulipat. Oleh karena itu dibentuklah oleh DPR Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang terkenal dengan UU KPK.
Mari baca baik-baik konsideran (pertimbangan) mengapa UU KPK itu dibentuk. Huruf (a) berbunyi: “bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional; huruh (b) berbunyi: “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.”
Dalam Penjelasan UU KPK tersebut yang merupakan bagian tak terpisahkan, antara lain diuraikan bahwa kejahatan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Maka pemberantasannya juga dituntut dengan cara-cara yang luar biasa. Maka untuk menegakkan UU KPK tersebut dibentukah sebuah lembaga superbody yakni KPK, suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Apa boleh buat, dalam penegakan UU KPK tersebut terjeratlah oknum pejabat-pejabat penting di berbagai institusi, dan beberapa personil pimpinan Badan Anggaran DPR-RI pada masanya. Yang paling heboh adalah tersangkutnya Setya Novanto, Ketua DPR-RI pada masanya. Maka karena “esprit de corp”, DPR pun bereaksi ingin mengubah UU KPK antara lain dengan menghilangkan kewenangan penyadapan. Gayung bersambut. DPR diam-diam mendapat dukungan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan keberadaan KPK termasuklah para koruptor, calon koruptor dan para politisi bunglon. DPR beralasan ingin memperkuat KPK, opini masyarakat sebaliknya, memandang DPR justru sebenarnya ingin memperlemah KPK. Upaya ini sudah lama dilakukan DPR, terakhir pekan lalu. RUU inisiatif DPR tersebut kelihatannya akan disetujui menjadi Undang-Undang.
Bangsa kita sebenarnya sudah khatam juga dengan kasus-kasus korupsi dan perilaku koruptif para pemegang kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Juga membaca halaman demi halaman sepak terjang KPK. Kalau kita sekarang melakukan shutdown terhadap KPK, maka berarti kita tidak mampu belajar dari pengalaman sebagaimana keledai belajar dari pengalaman sehingga tak akan terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Parlemen Jalanan
Lupakan parlemen (DPR). Mahasiswalah yang memiliki keinsyafan orisinil dan mampu mengukir sejarah. Mahasiswa itu parlemen jalanan yang sangat terhormat. Sebab, tanpa digaji, tanpa fasilitas dan tanpa perjalanan dinas dan studi banding ke luar negeri, parlemen jalanan ini mampu menjujung tinggi idealisme menyuarakan amanat penderitaan rakyat. Bila mereka berkehendak jangankan mencegah DPR melakukan pelemahan KPK, jangankan memadamkan api kebakaran hutan dan lahan, membuat revolusi pun mereka mampu.
Ada ribuan mahasiswa baru 2019. Para senior ajari mereka untuk berani berunjuk rasa. Ajari mereka orasi di panggung terbuka. Ajari mereka berani berteriak mengatakan pemerintah dan DPR tidak berniat memberantas korupsi, tak sungguh-sungguh memadamkan api, tak mampu belajar dari pengalaman lebih bodoh dari keledai, banyak janji bohong, pengecut, membiarkan korupsi membiarkan perambahan hutan merajalela, aparat penegak hukum mandul, dan sebagainya dan sebagainya. Walaupun belum tentu benar seratus persen. Tapi sekurang-kurangnya ungkapan-ungkapan retoris seperti itu taklah salah semua apalagi dalam semangat anti korupsi dan anti kolusi. Hidup Mahasiswa!!
Penulis | : | DR. drh Chaidir MM, Mantan Ketua DPRD Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Riau, Cakap Rakyat |