ilustrasi
|
Pekanbaru (CAKAPLAH) - Pagi baru saja beranjak pergi pada medio Desember 2019 lalu. Sembari menenteng sekumpulan berkas, seorang pria memasuki sebuah kediaman di tengah Kota Pekanbaru. Sang tuan rumah telah menunggunya di ambang pintu.
Setelah mempersilahkan duduk, si tamu dan tuan rumah pun terlibat diskusi politik tentang pilkada salah satu kabupaten di Riau. Banyak hal yang mereka bincangkan. Dan akhirnya, mereka pun mufakat untuk melakukan survei popularitas dan elektabilitas sang tuan rumah pada sebuah Pilkada kabupaten di Riau.
"Untuk pembiayaan survei ini tak sebesar lembaga survei dari Jakarta, Bang. Kalau dari Jakarta bisa di atas Rp150 juta. Kita dari lembaga survei lokal ini nilainya sepertiga-nya saja," kata tamu tadi kepada tuan rumah.
"Asal metodeloginya benar dan objektif, saya siap untuk survei," kata tuan rumah tadi.
Jelang pilkada serentak 2020, lembaga survei dan konsultan politik memang mulai menggeliat lagi. Dan untuk Pilkada 2020 ini, lembaga survei nasional sepertinya dapat angin segar.
Betapa tidak, sejumlah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik telah merilis nama-nama lembaga survei nasional yang boleh dipakai para calon bila melakukan survei Pilkada 2020. Nah, bagaimana nasib lembaga survei lokal?
Adalah Sekretaris Lembaga Pemenangan Pemilu (LPP) DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Riau, Tata Maulana, yang menyebutkan bahwa DPP PKB telah merekomendasi delapan lembaga survei nasional yang boleh dipakai untuk survei Pilkada 2020.
"Bagi calon yang mau didukung PKB, pilih satu dari delapan lembaga survei itu. Nanti, hasilnya serahkan ke PKB untuk dijadikan bahan pertimbangan," kata Tata kepada CAKAPLAH.com, baru-baru ini.
Dikatakan Tata, delapan lembaga survei tersebut semuanya berasal dari luar Riau. "Delapan lembaga itu dari luar Riau semua, lembaga survei nasional. Tak ada yang berasal dari lokal Riau," ujar Tata.
Delapan lembaga survei tersebut adalah Indekstat Indonesia, Alvara Research Center, Pusdeham Surabaya, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Polmark Indonesia, Saiful Mujani Reseacrh and Consulting (SRMC) dan Indo Riset Konsultan.
Hal serupa juga dilakukan DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Riau. Bahkan DPW PAN Riau sudah memutuskan Polmark Indonesia sebagai lembaga survei bagi calon kepala daerah yang ingin menggunakan perahu PAN pada Pilkada di Riau tahun 2020.
"Kita sudah putuskan Polmark sebagai lembaga survei yang kita percaya untuk mensurvei kandidat yang mau pakai PAN pada Pilkada 2020 di Riau," kata Wakil Ketua DPW PAN Riau, Mustafa Kamal.
Tak hanya PAN Riau, DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Riau pun juga mempercayai Polmark Indonesia besutan Eep Saefullah Fattah untuk mensurvei kandidat kepala daerah yang bakal diusungnya.
"Kita sudah beberapa kali kerjasama dan cocok. Terakhir saat memenangkan pak Syamsuar dan Edy Natar. Jadi kita akan gunakan lagi Polmark untuk survey di 2020 ini," tukas Ketua DPW PKS Riau, Hendry Munief kepada CAKAPLAH.com baru-baru ini.
Berbeda dengan DPD Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) Riau. Partai berlogo banteng ini berencana akan memakai Indo Barometer untuk survei bakal jagoannya.
"DPP PDIP ada merekomendasikan beberapa lembaga survei nasional untuk melakukan survei. Dan PDIP Riau berkemungkinan akan pakai Indo Barometer," kata Ketua DPD PDIP Riau, Haji Zukri Misran.
[Foto: DR Hasanuddin Saleh]
Bagi DR Hasanuddin Saleh yang memiliki lembaga survei lokal Riau bernama Lembaga Kajian Sosial Politik Kontemporer (LKSPK), rekomendasi DPP partai politik terhadap lembaga survei nasional punya dampak terhadap eksistensi lembaga survei lokal.
"Peluang lembaga survei nasional lebih besar untuk dipakai para calon dan partai politik pada Pilkada 2020 mendatang," kata dosen Universitas Riau ini.
Menurut Hasanuddin, ada dua alasan kenapa lembaga survei nasional berpeluang besar dikontrak oleh para calon dan partai politik untuk Pilkada 2020 ini.
"Selain karena relasi lembaga survei nasional dengan DPP partai politik kuat, juga karena kecenderungan pragmatis para calon," sebut Hasanuddin.
Kecenderungan pragmatis para calon, dijelaskan Hasanuddin, para calon itu disurvei bukan karena ingin menjadikan hasil survei sebagai penuntun kemenangan. Tapi, sekedar hanya ingin mendapatkan dukungan dari partai politik saja.
"Sehingga apa pun yang menjadi syarat partai untuk mendapatkan dukungan, mereka penuhi, termasuk dalam hal survei ini," katanya.
Berbicara tentang ongkos survei, Hasanuddin menyebutkan bahwa ongkos lembaga survei nasional itu berkali lipat dibandingkan dengan ongkos survei lembaga lokal.
"Kalau lembaga lokal, dengan angka Rp50 juta sudah bisa jalan. Sedangkan lembaga survei nasional dengan angka Rp300 juta," kata Hasanuddin seraya menyebutkan bahwa kualitas survei lokal dengan nasional sama saja.
"Bahkan sesungguhnya lembaga survei lokal ini lebih paham realistas medan surveinya ketimbang dari lembaga survei nasional. Tapi karena memang ini ada arahan dari DPP partai, sisi ini tidak terlalu dilihat," kata Hasanuddin lagi.
Sementara itu, bakal calon Bupati Rokan Hilir, Afrizal, mengaku tidak terlalu tergantung dengan hasil survei. Baik itu survei dari lembaga lokal maupun nasional. Tapi karena memang dalam penjaringan calon kepala daerah ini diharuskan memakai survei, mau tak mau Afrizal pun menyewa lembaga survei.
"Partai mewajibkan survei. Mau tak mau kita survei-lah. Saya sudah komunikasi dengan lembaga survei nasional, mungkin dalam waktu dekat akan deal di angka sekitar Rp200 juta," kata pria yang akrab disapa Efi Sintong ini.
Salah satu lembaga survei nasional yang berhasil dihubungi CAKAPLAH.com mengatakan, lembaganya memang ditunjuk oleh Partai Golkar untuk melakukan survei calon kepala daerah yang akan diusung Partai Golkar pada 270 Pilkada se-Indonesia.
"DPP Partai Golkar memang menunjuk kita sebagai salah satu lembaga yang akan melakukan survei pilkada. Dan saat ini kita sedang melakukan persiapan untuk turun ke daerah guna melaksanakan survei," ujar Direktur Sinergi Data Indonesia (SDI), Barkah Pattimahu kepada CAKAPLAH.com baru-baru ini.****