Pekanbaru (CAKAPLAH) - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Provinsi Riau, menyarankan agar Gubernur Riau Syamsuar melakukan evaluasi terhadap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Riau. Hal ini melihat kecilnya kontribusi deviden sebagian besar BUMD tersebut untuk Pemprov Riau.
Hal tersebut disampaikan Taufik, Manager Advokasi Fitra Riau, kepada CAKAPLAH.COM, Selasa (21/1/2020).
"Yang paling penting untuk dievaluasi oleh Pemprov Riau adalah SDM terutama Direksi dan Komisaris. Dua ini harus diperbaiki karena SDM akan berpengaruh terhadap kinerja BUMD baik dari kinerja pengembangan usaha maupun kinerja terhadap pengelolaan keuangan," ujar Taufik.
Ia mengatakan, sumber daya manusia yang tidak baik akan berpotensi merugikan keuangan daerah, misalnya dari sisi deviden yang diberikan ke daerah akan menjadi lebih sedikit.
Taufik mengungkapkan dari catatan Fitra Riau, ada 9 BUMD yang didalamnya ada investasi atau penyertaan modal pemerintah provinsi. Dari 9 tersebut ada dua BUMD yang dinyatakan tidak aktiv atau bangkrut, yaitu PT. Riau Petrolium dan PT Riau Airlines. Berdasarkan catatan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saham provinsi di dua BUMD tersebut dinyatakan nol.
"Hingga 2018 dan mungkin sampai sekarang, APBD Riau yang diinvestasikan dalam bentuk Penyertaan modal murni ke BUMD sebesar Rp 901,8 Miliar. Investasi tersebut tidak termasuk investasi akumulatif yang disimpan setiap tahunnya, kalau seluruhnya mencapai Rp1,4 Triliun," jelasnya lagi.
Jika dilihat dari kinerjanya, terutama kontribusi deviden BUMD yang diberikan kepada pemerintah daerah khususnya Provinsi Riau, bahwa dari 7 BUMD aktiv tersebut hanya BRK yang memberikan deviden yang besar mencapai Rp 108 Miliar tahun 2018. Sisanya BUMD hanya berkonrtibusi kecil dibawah Rp15 Miliar. Bahkan ada BUMD yang hanya memberikan deviden sebesar Rp 500-an juta saja, padahal BUMDnya bekerja usaha pada sektor Migas.
"Tapi, BRK jangan bangga dulu karena ternyata target deviden yang ditetapkan dengan realisasi selama ini sangat jauh. Misalnya, tahun 2017 ditetapkan target Deviden dari BRK sebesar Rp 206 M, ternyata hanya tercapai 50 persen sebesar Rp108 Miliar. Begitu juga tahun 2018 lalu, ditargetnya Rp 136 Miliar yang terealisasi Rp 108 Miliar," jelas Taufik lagi.
Begitu juga dengan BUMD-BUMD yang lainnya, bahkan lebih parah lagi, target yang ditetapkan jauh dengan realisasi yang diterima daerah.
Dari seluruh BUMD selama 2016-2018, pendapatan deviden dari 7 BUMD yang diterima hanya 47 persen dari yang ditargetkan. "Tentu ini menjadi pertanyaan, bagaimana cara memprediksinya yang sangat jauh dari realisasi? Apakah ada praktik korupsi di sana? Tentu ini masih perlu pengkajian mendalam. Kemampuan BUMD untuk memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Daerah adalah menggambarkan kinerjanya. Karena sangat dibutuhkan peran BUMD untuk mencari pendapatan daerah di tengah situasi sumber pendapatan daerah dari sektor lainnya yang semakin berkurang. Seperti DBH dari pusat misalnya yang semakin berkurang," jelas Fitra lagi.
Terkait kondisi BUMD di Riau tersebut, Fitra Riau melalui rilisnya kepada CAKAPLAH.COM menyampaikan saran untuk gubernur untuk melakukan langkah-langkah, pertama, melakukan evaluasi menyeluruh baik manajemen bisnis, SDM dan pengelolaan keuangan di BUMD.
Kedua, awal gubenur ini mestinya meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigatif terhadap kinerja BUMD-BUMD di Riau. Dan ketiga, menunjuk dan menetapkan direksi dan komisaris yang hadal, profesional dan mampu mengembangkan Sumberdaya BUMD yang ada.
"Menurut kami komisaris yang ditetapkan dari unsur pemerintah (pemegang saham) harus benar-benar orang yang paham dengan kinerja BUMD, dan yang fokus untuk pembenahan BUMD kedepan. Bukan yang sambilan," tutupnya.