Adalah sesuatu yang sangat menarik untuk menganalogikan kondisi penerbangan dengan perencanaan pembangunan. Banyak orang percaya satu-satunya tanggung jawab seorang pilot adalah menerbangkan pesawat, tetapi dalam kenyataannya pekerjaan Pilot dimulai jauh sebelum penerbangan. Ini dapat dianalogikan dengan KAJIAN TEKNOKRATIK Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yang disusun institusi perencana bersama Tim Sukses Calon Kepala Negara atau Kepala Daerah. Setelah semua clear and clean, pilot akan memiliki Flight Plan yaitu rencana rute penerbangan, lamanya waktu penerbangan, berat muatan kargo dan penumpang, serta jumlah bahan bakar yang harus dimuat untuk penerbangan dari satu bandara keberangkan ke bandara tujuan.
Pesawat Take-Off dapat dianalogikan dengan Perpres atau Perda RPJM yang akan dilakukan selama 5 tahun. Semua penumpang (masyarakat) berharap Pilot dan Cabin Crew dapat melaksanakan penerbangan dengan aman, nyaman sampai ke Bandara Tujuan (Visi dan Misi 5 tahunan). Namun, seringkali pesawat dihadapkan pada keadaan cuaca yang tidak bersahabat (Turbulence). Turbulence atau turbulensi biasanya dikenal dalam dunia penerbangan, yang bermakna pesawat terguncang karena perubahan kecepatan udara yang terjadi dalam waktu singkat. Saat pesawat diperkirakan akan mengalami turbulensi, biasanya kapten dan kru maskapai penerbangan akan menginformasikannya kepada penumpang pesawat. Hal ini dikecualikan pada kondisi CAT (Clear Air Turbulence), ini yang datangnya mendadak dan tidak bisa diprediksi pilot.
Turbulence Planning
Dalam regulasi apapun di Republik ini tidak dikenal istilah Turbulence Planning. Ini hanya istilah yang penulis gunakan untuk menganologikan perjalanan sebuah pemerintahan dalam pembangunan sama dengan perjalanan Origin-Destination sebuah pesawat udara. Seyogyanya, begitu regulasi RPJM sudah disahkan, maka semua stakeholders (Eksekutif dan Legislatif), memiliki komitmen untuk menjalankannya sesuai yang direncanakan. Terlebih lagi, Rencana Pembanguan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang juga disahkan oleh DPRD sudah melalui Peraturan Daerah.
Idealnya, dalam pelaksananaan rencana tahunan (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), semua akan berjalan mulus, tanpa adanya clear air turbulence sakalipun. Dalam kenyataannya, berbagai turbulensi tahunan masih juga dihadapi dalam proses perencanaan pembangunan tahunan daerah.
Menurut Jhon Friend dan Allen Hickling dalam bukunya 'Planning Under Pressure', Perencanaan publik dalam prakteknya terkadang bagai sebuah konsep yang utopian, tatkala ilmu pengetahuan yang menjadi dasar merencana, dengan didasari pemahaman-pemahaman yang bersih untuk menyelesaikan persoalan secara objektif, namun dalam kenyataannya menjadi beku dan kaku saat berhadapan berbagai kepentingan, politik dan permasalahan sosial lainnya.
Realitas pemahaman dan pandangan setiap orang akan sangat berbeda dan akan sangat berkaitan dengan kepentingannya masing-masing. Kepentingan ini seringkali memunculkan argumen yang saling berseberangan. Perencana publik dalam posisi yang diharapkan netral, bagai seperti mimpi disiang hari, karena pemangku kepentingan pembangunan ternyata memiliki peran dan kewenangan yang sulit untuk dilepaskan dari kepentingan individu, kelompok maupun golongan, yang memberikan tekanan dalam pengambilan kebijakan.
Perencana kemudian dituntut mempunyai multi keahlian dari beragam keilmuan, yang bahkan untuk menemukannya bagai mencari manusia setengah dewa, meski dengan melibatkan banyak kelompok keahlian, dan acap kali berakhir pada persoalan baru dalam memadukan kepentingan tersebut.
Tentunya dapat dibayangkan, RPJMD yang sudah ditata sedemikian rupa sebagai perwujudan janji Pilot, yang juga sudah disepakati bersama penumpangnya dalam Flight Plan (Perda RPJMD), akan menghadapi turbulensi yang luar biasa, bahkan bisa mengakibatkan pesawat crash atau paling tidak Return to Base (RTB).
Turbulence Planning di Indonesia juga dipengaruhi oleh belum sinerginya regulasi yang mengatur perencanaan pembangunan itu sendiri. Setidaknya ada 5 Regulasi yang mengatur jalannnya perencanaan pembangunan saat ini, yaitu: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; (3) UU No.: 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan Perda RPJP di Daerah; (4) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (5) Undang-Undang No.: 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurut Deddy S, Bratakusumah (Bappenas), Perencanaan Pembangunan akan konsisten dan harmonis manakala berbagai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya memiliki azas dan substansi pengaturan yang konsisten dan harmonis pula. Kenyataannya, baik sistem maupun substansi regulasi yang ada saat ini pengaturannya tidak kompatibel bahkan tidak konsisten dan tidak harmonis.
Selanjutnya diungkapkan pula bahwa turbulensi perencanaan juga disebabkan oleh: (1) pelaksanaan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah waktunya tidak sama, ada daerah yang baru menyusun RPJMD, manakala RPJMN hampir berakhir masa berlakunya; (2) penyusun “Visi-Misi”, calon umumnya dilakukan “Tim Sukses,” yang kurang memahami sistem perencanaan pembangunan, terutama capaian RPJP; (3) “Visi dan Misi” calon merupakan pengejawantahan dari ideologi atau kepentingan partai atau partai-partai pendukung calon, sehingga fokus dan prioritas akan sangat berlainan (4) desentralisasi dan Otonomi Daerah telah mengakibatkan perbedaan prioritas pembangunan antara pusat dan daerah dan antara daerah dengan daerah lainnya dan (4) ketiadaan sanksi bagi mereka yang tidak menerapkan berbagai undang-undang tersebut.
Solusi Menghadapi Turbulence Planning
Pilot tentu tidak mungkin menghindari turbulence karena faktor eksternal. Namun pilot yang cerdas akan dapat menghadapi turbulence dengan pengetahuan dan pengalaman jam terbangnya. Berbagai strategi akan diterapkan dengan satu tujuan, bahwa pesawat dan penumpangnya harus selamat sampai di tujuan. Setidaknya ada beberapa upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi dampak dari Turbulence Planning, antara lain: (1) Bersahabat dengan Turbulence; dengan meramu kambali berbagai regulasi perencanaan menjadi single regulation planning yang mengakomodir berbagai pendekatan teknoktarik, politik, keuangan dan administrasi negara. Dengan demikian irama perencanaan pembangunan akan konsiten dan harmonis. (2) Single Standard Dokumen Perencanan antara Pusat dan Daerah.
Jika RPJM Nasional dalam bentuk Peraturan Presiden, karena merupakan pengejawantahan janji-janji kampanye Presiden/Wakil Presiden, maka RPJM Daerah juga diatur dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada) dan bukan Perda; RPJMD merupakan pengejawantahan janji-janji politik Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Selanjutnya Jika Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Pusat (RKP) dijadikan dasar untuk penyusunan APBN, maka RKPD juga dijadikan dasar dalam penyusunan APBD, bukan hasil Nota Kesepakatan Kebijakan Umum Angaran serta Prioritas dan Pagu Anggaran Sementara (KUA dan PPAS), yang cukup besar turbulensinya. (3) Konsensus perencanaan dihalalkan sepanjang tidak mengganggu pencapaian Visi dan Misi Pembangunan Jangka Menengah.
Kajian Teknokratik
Penulis | : | Rahmad Rahim, Fungsional Perencana Madya – Bappedalitbang Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |