Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, Syamsuar-Edy Natar Nasution
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Hari ini tepat satu tahun Syamsuar-Edy Natar Nasution menjadi gubernur dan wakil gubernur Riau. Sejak dilantik 20 Februari 2019 lalu di Jakarta, langkah membangun Riau pun dimulai.
Lalu bagaimana masyarakat melihat setelah setahun Syamsuar-Edy memimpin Riau?
Sekretaris Fraksi PAN DPRD Riau Ade Hartati Rahmat MPd memberikan banyak catatan. Hal ini harus menjadi perhatian Syamsuar-Edy karena sudah menjadi komitmennya saat kampanye di Pilkada Riau.
Ia menjelaskan, setiap pergantian tahun, idealnya harus ada refleksi apa yang sudah dilakukan dan apa yang sudah diwujudkan. Hal tersebut diperlukan untuk memperbaiki kebijakan program maupun kebijakan anggaran ke depan.
"Tahun ini merupakan tahun pertama kepemimpinan Gubernur Syamsuar dan Brigjend Purnawirawan Edy Natar Nasution. Dalam setahun kepemimpinan beliau, tahun ini sudah memasuki tahun anggaran ke dua yang berada dalam tongkat komando kepemimpinan beliau," ujarnya kepada CAKAPLAH.com.
Dimulai dengan pembahasan RPJMD yang melewati tahun anggaran 2019, hanya sedikit RPJMD tersebut yang bisa diwujudkan dalam tahun anggaran 2020. Ia menilai, dalam RPJMD yang berisi visi dan misi kepala daerah tersebut, idealnya harus sudah bisa diwujudkan sedikit demi sedikit dalam setiap kebijakan tahun anggaran.
Anggota Komisi V DPRD Riau ini menjelaskan, dalam bidang pendidikan, RPJMD tersebut diwujudkan dalam bentuk memberikan Bantuan Operasional Siswa Daerah (Bosda). Tahun ini dianggarkan sebesar Rp 404 miliar untuk seluruh siswa SMA dan SMK Negeri diseluruh Riau.
Dari anggaran tersebut, masing-masing siswa sekolah negeri mendapatkan anggaran Rp 1.450.000, sementara anak didik di sekolah swasta Rp 400.000.
"Untuk mencapai target mutu pendidikan, tentunya Bosda bukan satu-satunya indikator yang harus dipenuhi sebagai tanggung jawab urusan wajib pemerintah. Diperlukan juga pembangunan sarana dan prasarana yang mengacu pada kebutuhan masing-masing daerah yang disesuaikan dengan rasio pertumbuhan jumlah siswa. Kita ambil contoh di Kota Pekanbaru, Kecamatan Tampan, dimana jumlah penduduk Kecamatan Tampan berjumlah lebih kurang 300.000 jiwa. Jika kita asumsikan dalam 300.000 jiwa itu per 100 jiwa ada anak usia sekolah menengah berjumlah 1 orang, maka setiap tahun, akan ada anak 3.000 jiwa yang membutuhkan pendidikan menengah (SMA dan SMK)," kata Ade Hartati.
Kemudian, dari 3.000 anak tersebut, separuhnya diandaikan bersekolah di Sekolah-sekolah SMA dan SMK Swasta yang ada di Kecamatan Tampan, maka 1.500 anak lagi yang harus tertampung di Sekolah Negeri. Dari 1.500 anak tersebut, maka di Kecamatan Tampan membutuhkan Ruang kelas baru (RKB) sebanyak 41 RKB.
"Dalam APBD 2020 tahun ini, dalam catatan saya, Kecamatan Tampan hanya mendapatkan penambahan 2 RKB. Padahal dalam pembahasan di komisi disepakati 4 RKB. Dari 41 RKB yang dibutuhkan, tahun 2020 ini Pemrov Riau hanya membangun 2 RKB di Tampan. Jadi butuh berapa tahun anggaran untuk dapat mencukupi kebutuhan insfrastruktur pendidikan tersebut? Dalam APBD 2020 Riau, di bidang pendidikan ada alokasi anggaran sebesar Rp163 miliar di luar Bosda. Anggaran tersebut lebih banyak untuk pengadaan media pembelajaran dibanding pemenuhan infrastruktur fisik yang menjadi kebutuhan," cakapnya.
Hal ini, kata Ade, tentu sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan minimal yang ada di masyarakat. Kemudian, bagaimana dengan tingkat kesejahteraan guru? Terutama guru honor, baik honor daerah atau honor sekolah, yang beban kerjanya juga sama dengan guru yang berstatus ASN.
"Peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan juga sangat dibutuhkan. Belum lagi terkait pendistribusian guru yang masih belum merata. Hal ini juga menjadi penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan," kata Ade Hartati lagi.
Lebih lanjut Ade menyebutkan, dalam bidang kesehatan, hampir 80% anggaran kesehatan dialokasikan untuk anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi masyarakat tidak mampu, yakni BPJS kelas 3.
Hal ini, kata Ade tentu menimbulkan ketimpangan dalam bidang kesehatan. Dimana anggaran dititik beratkan hanya untuk bidang kuratif, sementara bidang prefentif atau pencegahan dan edukasi bagi masyarakat untuk hidup sehat hanya mendapat sedikit alokasi anggaran.
Karena itu, diperlukan strategi penganggaran yang harus equal atau seimbang dalam setiap penyusunan program. Salah satu strategi yang harus dilakukan adalah dengan melakukan verifikasi dan validasi data setiap periode, dan mengusulkannya ke pemerintah pusat, agar alokasi anggaran pusat dalam PBI bisa lebih besar, sehingga tidak menyedot anggaran daerah.
"Koordinasi lintas Satker, yakni Dinsos dan Dinkes perlu dilakukan. Jika hal tersebut bisa dilakukan, maka anggaran yang tadinya 80 persen diperuntukan bagi PBI, bisa dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur kesehatan, Rumah Sakit di beberapa daerah di Riau. Atau bisa dialokasikan dalam bentuk bantuan keuangan bagi Puskesmas yang ada di Riau," papar Ade.
Ade Hartati juga menyoroti bidang kepemudaan dan ketenagakerjaan. Menurutnya, dalam kebijakan anggaran 2020 ini belum banyak kemajuan, terutama dalam hal antisipasi pencegahan bahaya narkoba bagi pemuda. Begitu juga di bidang perempuan dan anak.
"Dalam catatan saya, sama sekali tidak ada hal yang sangat signifikan dari program-program yang ditujukan bagi kemajuan perempuan dan perlindungan anak. Hal ini bisa kita lihat, dari besaran anggaran yang dialokasikan di Satker terkait. Jadi, saya harap, integrasi setiap program dari seluruh Satker diperlukan untuk melibatkan dan pemenuhan kebutuhan perempuan," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Politik, Pemerintahan, Pendidikan, Riau |