Dr drh Chaidir MM
|
KAJIAN ilmiah tentang pandemi virus corona Convid-19 yang disusun oleh Profesor Hadi Susanto, alumni ITB, pakar matematika terapan University of Essex Inggris dan Khalifa University of Science and Technology Uni Arab Emirat, membuat kita bergidik. Betapa tidak. Convid-19 penyebarannya di Indonesia sangat masif. Diperkirakan, 50 persen total populasi Indonesia berpeluang besar terinfeksi wabah Covid-19 sebelum Idul Fitri pada pertengahan Mei 2020 (Kompas, 27/3/2020).
Asumsinya, pertama, masyarakat tidak mengubah perilakunya untuk segera melakukan pembatasan fisik (physical distancing); kedua, tidak ada pembatasan akses wilayah. Bahkan, menurut Hadi, jika wilayah Jakarta yang kini menjadi episentrum pandemi tetap bisa dimasuki secara bebas, sangat mungkin jumlah orang yang terinfeksi mencapai 80 persen.
Prediksi penyebaran Covid-19 di suatu negara didasarkan pada jumlah kematian. Berdasarkan data, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia (jumlah kematian dibanding kasus positif) merupakan yang tertinggi di dunia dengan persentase mencapai 8,7 persen. Namun, angka pengetesan Covid-19 di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Pekan lalu, Indonesia baru melaksanakan 1.727 tes. Jika dibandingkan dengan total penduduk, baru satu orang di tes dari 156 ribu orang. Data inilah yang menjadi dasar perkiraan, masih banyak penderita Covid-19 yang belum teridentifikasi.
Wabah ini memang menakutkan bagi orang yang mau berpikir, tapi orang yang cuai tak ambil pusing dengan berbagai alasan juga banyak. Ini serius. Lihatlah, Tanah Suci Mekkah tutup untuk ibadah haji tahun ini; Olympiade Tokyo ditunda ke tahun depan; banyak negara mengunci diri (karantina ketat, maximum security quarantine), tak boleh ada yang keluar-masuk; salat Jumat berjemaah ditiadakan sampai wabah berlalu; salat tarawih dan salat Idulfitri kemungkinan besar tidak dilaksanakan; sekolah diliburkan (anak-anak belajar di rumah); para pegawai work from home; tak boleh ada keramaian apapun bentuknya; tradisi mudik lebaran tahun ini di-stop. Rasanya, sepanjang abad 21 dan abad 20 kejadian seperti ini belum pernah terjadi.
Harapan kita? Wabah segera berlalu. Bagaimana caranya? Ada banyak contoh pengendalian wabah. Semua terbuka untuk dipilih. Mau cara superkeras China? Atau cara Korea Selatan, Malaysia, Italia, atau Amerika Serikat? Presiden Donald Trump yang terkesan angkuh tak segan-segan menelepon Presiden China, Xi Jinping, pada Jumat siang 27 Maret pekan lalu, minta tolong. Pemerintah Malaysia mengucurkan anggaran 250 miliar ringgit setara dengan Rp 928 triliun untuk penanganan wabah corona. India menggelontorkan dana 22,5 milyar dolar atau setara dengan Rp 360 triliun. Tapi itu belum apa-apa, dua hari lalu DPR AS mengesahkan RUU Dana Bantuan penanggulangan Covid-19 sebesar 2,2 Triliun dolar atau setara Rp 35.000 triliun (sekadar bandingan APBN 2020 kita cuma Rp 3.000 triliun).
No one best way. Tak ada satu cara yang mangkus. Cara yang paling bijak adalah menggabungkan cara-cara terbaik. Cara China atau Amerika, belum tentu cocok untuk Indonesia. Kita punya kesulitan karena wilayahnya hampir seluas Eropa, berpulau-pulau, berselat-selat, dengan karakter dan kesulitan lokasi yang berbeda-beda. Pengangkutan peralatan kesehatan, obat-obatan dan APD dalam jumlah cukup, cepat dan tepat, pasti tidak mudah.
Pemerintah pasti sudah tahu masalah yang dihadapi. Kita sependapat dengan apa yang disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Peralatan dan perlengkapan Rumah Sakit kita beserta fasilitasnya masih terbatas, ruang ICU minim, alat bantu pernapasan, ruang isolasi, alat rapid test, cairan dan peralatan disinfektan, obat-obatan, Alat Pelindung Diri (APD) untuk dokter dan tenaga kesehatan, semuanya minim. Padahal harusnya semua tersedia dalam jumlah yang cukup berapapun yang dibutuhkan. Dengan keterbatasan APD itu, wajar kalau IDI dan sejumlah organisasi profesi lain menyampaikan protes kepada pemerintah. (Tempo.co, 27/3/2020).
Akar masalah keterbatasan itu klasik: minimnya anggaran. Inilah yang harus disiasati. Cari metoda yang paling jitu. Misalnya, apabila opsi lockdown (regional atau lokal) yang dipilih, maka anggaran yang diperlukan tentu tidak hanya untuk keperluan aspek pelayanan kesehatan dan pengendalian wabah saja, aspek lain yang tak kalah pentingnya adalah aspek perekonomian, bantuan hidup untuk orang-orang yang tak bisa bekerja dan biaya operasional petugas-petugas yang siap tempur di lapangan untuk menjamin seluruh bantuan sampai tepat sasaran dan tepat waktu.
Bila kebijakan yang dipilih membatasi lalu-lintas orang dan penerapan physical distancing secara ketat, sembari mengharapkan kesadaran masyarakat, diperkirakan ODP dan PDP akan semakin meningkat. Dan ini membutuhkan pendataan yang akurat untuk pengendaliannya, termasuk penyediaan karantina. Pemerintah harus sedikit bertangan besi. Namun, metoda apapun yang dipilih, kebutuhan yang sangat mendesak adalah memenuhi fasilitas kesehatan, peralatan dan perlengkapan (APD, bahan-bahan kimia, dan obat-obatan) sesuai kebutuhan, termasuk yang amat sangat mendesak adalah APD untuk dokter dan seluruh petugas kesehatan, termasuk pekerja nonmedis di RS. Tidak boleh lagi ada keluhan minimnya APD.
Dari mana anggarannya? Dana tanggap darurat dalam APBN/APBD, pasti tidak cukup. Peluangnya melalui APBN atau APBD Perubahan. Maka, sekarang saatnya Pemerintah dan politisi di Lembaga perwakilan (DPR dan DPRD) menyusun dan membahas secara superkilat RUU dan Ranperda inisiatif perubahan APBN dan APBD. Tunda semua kegiatan yang tidak terkait langsung kepentingan mendesak hidup/mati rakyat. Dananya dialihkan untuk membiayai penanganan Covid-19. Sekaranglah saatnya politisi di DPR dan DPRD unjuk gigi membela kepentingan rakyat. Dukungan politik sangat diperlukan pemerintah. Yang tidak terpuji itu bila politisi mempolitisasi kesulitan rakyat demi pencitraan politik. Pemerintah dan politisi jangan takut KPK, BPK, BPKP, inspektorat, media dan LSM. Tegas dan ambil inisiatif segera. Sepanjang semuanya dengan tikad baik, menjunjung asas keterbukaan, tidak menyalahgunakan kewenangan, tak perlu khawatir. Kondisinya gawat darurat, force majeur.
Sekarang pulalah kesempatan yang tepat bagi korporasi dan pengusaha-pengusaha sukses untuk berpartisipasi membantu pemerintah dan masyarakat; membantu di saat sulit sangat besar artinya. Bila suasana sudah kondusif dan perekonomian kembali normal, korporasi akan kembali menarik keuntungan dari bisnisnya.
Bila wabah ini dianggap perang, maka kekuatan yang sudah teruji selalu siap di front terdepan adalah TNI dan POLRI. Kita sudah berpengalaman, dalam berbagai bencana alam, peran TNI dan POLRI ini terbukti besar perannya dalam mitigasi bencana. Lengkapi TNI dan POLRI dengan APD, mereka akan siap melakukan tugas seberat apapun demi kepentingan rakyat.
Tidak kalah pentingnya adalah perlunya kesadaran masyarakat terhadap krisis yang sedang kita hadapi. Hindari kerumunan/keramaian. Tidak usah keluar rumah bila tidak sangat penting. Perhatikan etika bersin dan batuk, tutup mulut dan hidung (ini masalah sepele, tapi berbagai negara mengatur detil hal ini). Kemudian perlu uji cepat apakah kita tertular atau tidak. Ingat, orang yang tampak sehat belum tentu bebas dari virus. Tertular virus corona bukan penyakit yang memalukan, penyakit ini bisa sembuh. Setelah ikhtiar kita berdoa semoga corona cepat berlalu.***
Penulis | : | Dr drh Chaidir MM |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |