Dr drh Chaidir MM
|
TAK ada seorang pun pemimpin dunia yang berpengalaman ketika didadak oleh virus corona yang tiba-tiba saja masuk tanpa mengetuk pintu. Tak Presiden AS Donald Trump, tak Presiden China Xi Jinping, tak PM India Narendra Modi, atau PM Italia Giuseppe Conte, atau PM Inggris Boris Johnson, atau Presiden Jokowi, semua tak ada yang berpengalaman. Semua seperti anak bawang ketika berhadapan dengan siluman virus corona.
Para pemimpin hebat itu terlihat gagap, gamang dan salting. Cuek bebek? Atau main hantam kromo? Tembak di tempat? Atau mengambil langkah-langkah normatif gradual? Semua serba salah, begini salah begitu salah. Lockdown? Tak jaminan. Bercerminlah pada India dan Filipina. Kacau, chaos. Penduduk tak boleh keluar rumah, justru sebaliknya, orang memenuhi pusat perbelanjaan memborong semua (panic buying), orang berbondong-bondong balik kampung. Presiden Filipina Rodrigo Duterte sampai mengancam tembak di tempat bagi para perusuh yang panik membabi buta mencari kebutuhan hidupnya akibat lockdown. Atau lockdown seperti Italia? Di Italia entah apa yang salah, korban tetap berjatuhan, ekonomi ambruk. Atau bertangan besi seperti Tiongkok, pemerintahnya otoriter, tapi mereka kaya, semua penduduk yang tak bisa ke luar rumah bisa diberi makan.
Sekarang rakyat yang memberi mandat kepada para pemimpin itu sedang merana nestapa dalam kesulitan, dalam bahaya, bahkan terancam jiwanya. Ekstrimnya, nyawa mereka tinggal menghitung hari. Maka pemimpin terpaksa ambil langkah darurat, cepat dan tepat. Salah langkah, atau sedikit saja gegabah akan jadi musibah.
Lantas apa yang bisa dilakukan pemimpin? Mundur? Harakiri? Keadaan akan lebih runyam. Para pemimpin itu sesungguhnya punya pedang kekuasaan untuk mengendalikan keadaan. Di belahan mana pun di planet ini, minimal ada tiga hal yang bisa mereka buat dalam kondisi darurat dengan pedang kekuasaan dalam genggaman, pertama, otoritas pengaturan; kedua, otoritas pemberdayaan, dan ketiga, otoritas pelayanan. Ketiga otoritas itulah yang coba dilakukan, tak peduli oleh Presiden Donald Trump, Xi Jinping, Narendra Modi, Rodrigo Duterte, atau Presiden Jokowi. Masing-masing menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di negerinya. Kekuatan, keterbatasan, kondisi sosial ekonomi, semua tentu dipertimbangkan masak-masak.
Dalam kondisi dunia yang sedang panik dan darurat itulah Pemerintah kita mencoba tetap tenang dengan menerbitkan paket regulasi (yang merupakan implementasi dari pedang kekuasaan dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan sekaligus pelayan), berikhtiar menyelamatkan masyarakat dari ancaman kematian, baik disebabkan virus maupun mati kelaparan.
Pemerintah punya otoritas membuat aturan sebagai sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan. Masyarakat pula dituntut kepatuhannya sebagai sebuah kewajiban. Pastilah aturan itu untuk kebaikan bersama yang sudah ditinjau dari berbagai sisi. Apa yang harus kita lakukan adalah membacanya dan memahaminya dengan baik untuk menyamakan persepsi terhadap masalah sangat serius yang sedang kita hadapi. Tujuannya, tercipta sebuah kesadaran kolektif dalam bersikap dan bertindak.
Seperti kita ketahui, dalam satu hari tanggal 31 Maret 2020 beberapa hari lalu, Pemerintah menerbitkan tiga aturan sekaligus. Pertama, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 (Covid-19); Kedua, terbitnya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Desease 2019 (Covid-19); dan ketiga, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Paket regulasi tersebut didasarkan pada pertimbangan, pertama, adanya kesadaran bahwa pandemi Covid-19 yang kita hadapi penyebarannya makin meluas dengan terjadinya peningkatan kasus positif orang tertular dan kematian; kedua, pandemi ini secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar pada lumpuhnya aktivitas perekonomian masyarakat (terutama sektor informal).
Secara sederhana, masyarakat kita menghadapi dua medan pertempuran sekaligus. Medan pertama bertempur melawan virus, medan kedua bertempur demi memenuhi kebutuhan hidup. Kedua medan pertempuran membawa risiko, mati karena penyakit atau mati karena kelaparan, atau karena penyakit dan kelaparan. Tapi kita ingin keluar selamat memenangkan kedua medan pertempuran itu sekaligus.
Bisa? Harus bisa. Dasarnya? Pertama, karena persepsi kita (masyarakat awam dan pemerintah) sebenarnya sama, virus itu tak bisa dilawan, kita hanya bisa melakukan tindakan penanggulangan atau pengendalian (kalau sudah wabah) atau tindakan pencegahan dengan vaksinasi (membentuk kekebalan buatan dalam tubuh) bila belum wabah. Sekarang sudah menjadi wabah bahkan hampir di seluruh dunia. Kedua, persepsi kita juga sama, bila sudah menjadi wabah maka, tindakan penanggulangan atau pengendalian yang ampuh adalah dengan memutuskan mata rantai penyebaran virus.
Persepsinya sama, tapi tiba pada giliran tindakan aksinya, kita mulai bersitegang urat leher. Padahal virus sudah masuk ke bilik kita, tak ada lagi kesempatan berdebat. Tak bisa lain, untuk menyamakan gerak langkah semua komponen, memang harus ada pengaturan yang dirumuskan bersama duduk dalam satu meja bundar (jaga jarak fisik dan pakai masker aman). Kenapa meja bundar, supaya ada semangat egaliter semua komponen.
Kita harus memahami bahwa PP Nomor 21/2020, Kepres Nomor 11/2020, dan PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 hanyalah berupa payung hukum bagi segenap jajaran pemerintahan di pusat dan di daerah untuk mengambil langkah-langkah aksi supaya tidak berusuran dengan KPK (karena harus ada keberanian dan gerak cepat untuk realokasi anggaran), dan boleh melakukan tindakan tegas di lapangan, ibaratnya, boleh “merotan” atau “menembak” orang-orang yang bandel yang tak mau mengerti terhadap protokol kesehatan penanggulangan wabah. Dan pemerintah bisa melakukan langkah-langkah penyelamatan perekonomian.
Daerah harus segera membahas (cepat, tepat dan cermat) 10 aspek yang disebut dalam PP Nomor 21/2020, sebagai syarat untuk mengusulkan penetapan PSBB di daerah oleh Menteri Kesehatan. Sepuluh aspek tersebut adalah pertimbangan epidemiologis (seluk-beluk wabah Covid-19); besarnya ancaman (kajian BIN layak dibedah); efektivitas (alternative cara yang paling mangkus); dukungan sumber daya (sumber daya organisasi: man, money, materials, machines, method); teknis operasional (libatkan TNI dan POLRI); pertimbangan politik (dukungan penuh DPR dan DPRD); Ekonomi (dampak ekonomi apa pun tindakan yang diambil); sosial (masukan dari kampus); budaya (sekaligus mungkin dikaitkan dengan agama); dan aspek pertahanan dan keamanan (aspek ini tentulah TNI dan POLRI yang lebih paham).
Tak perlulah menghabiskan energi berdebat tentang lockdown atau tidak lockdown. Sebab sebenarnya, bila daerah ditetapkan oleh Menkes (atas usul daerah) dengan status PSBB (pembatasan Sosial Berskala Besar), maka kebutuhan dasar penduduk juga harus disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Tak masalah. Dana rasanya cukup. Bukankah pemerintah dan pemerintah daerah sudah diperbolehkan menunda semua kegiatan fisik yang tak terkait langsung dengan hidup/mati masyarakat untuk dialihkan ke penanggulangan Covid-19 demi menyelamatkan masyarakat. Ayolah bergegas tak perlu gamang.
Penulis | : | Dr drh Chaidir MM |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |