FRASA social distancing atau jarak sosial sudah sangat akrab di telinga kita akhir-akhir ini. Saking populernya, frasa ini sering kali muncul dalam pemberitaan di berbagai media nasional di tanah air, dan lebih dahsyatnya lagi hampir setiap orang acap kali menggunakan frasa ini dalam percakapan mereka sehari-hari. Frasa social distancing sendiri sebenarnya mulai banyak digunakan sejak mewabahnya Covid-19 di awal tahun 2020. Frasa ini awalnya digunakan oleh WHO (World Health Organization) dalam memberikan saran kepada publik (advice for the public) untuk menjaga dan melindungi diri mereka dari terinfeksi Covid-19, yang penularannya terjadi secara cepat dan meluas di berbagai belahan dunia.
Menurut WHO dalam laman resminya www.who.int menjaga jarak sosial atau mantain social distancing dimaksudkan “maintain at least 1 metre (3 feet) distance between yourself and anyone who is coughing or sneezing”. Because when someone coughs or sneezes they spray small liquid droplets from their nose or mouth which may contain virus. If you are too close, you can breathe in the droplets, including the covid-19 virus if the person coughing has the disease.” Secara ringkas dapat diartikan bahwa kita perlu menjaga jarak diri setidaknya satu meter dengan orang lain, sehingga bila orang tersebut batuk atau bersin yang mengandung Covid-19, kita dapat terhindar.
Penggunaan frasa social distancing oleh WHO tersebut sangat jelas berkaitan dengan menjaga jarak tubuh antara seseorang dengan orang lainnya yang bertujuan untuk menghindari penularan suatu penyakit. Bila dikaji lebih dalam, frasa social distancing sebenarnya bukanlah frasa yang muncul baru-baru ini saja, namun telah lama digunakan dalam berbagai disiplin ilmu lainnya, salah satunya adalah ilmu komunikasi. Dari sudut pandang ilmu komunikasi, social distancing merupakan salah satu bagian dari komunikasi ruang (space communication) yang menunjukkan jarak ruang atau spasial ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lainnya.
Jarak spasial social distancing
Menurut Hall dalam DeVito (2010), terdapat empat jarak spasial, yaitu intimate (0-45 cm), personal (45cm -120 cm), social (120 cm – 360 cm), dan public (lebih dari 360 cm). Berdasarkan pendapat Hall tersebut, terlihat bahwa jarak spasial minimal social distancing dalam komunikasi lebih jauh dibandingkan yang disampaikan oleh WHO. Menurut DeVito (2010), berkomunikasi pada spasial social distancing akan menyebabkan kehilangan detil visual bila dibandingkan dengan personal distancing. Terdapat jarak yang terkesan formal dan memberi ruang yang memisahkan antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Tujuan social distancing
Seseorang yang menerapkan social distancing dalam berkomunikasi dimaksudkan untuk memelihara relasi sosial dengan orang lain. Relasi sosial ini lebih ditekankan pada suatu hubungan yang selayaknya terjadi diantara sesama manusia yang saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Berkomunikasi pada spasial social distancing biasanya juga terjadi pada orang-orang yang belum saling mempercayai, karena mereka masih menjaga jarak yang cukup renggang sebagai “dinding pembatas” pada spasial personal mereka. Berbeda halnya dengan social distancing dari WHO yang bertujuan untuk menghindari penularan penyakit dari orang lain, pada ilmu komunikasi social distancing bertujuan untuk memelihara relasi sosial dan menjaga ruang personal seseorang.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan spasial social distancing
Ketika seseorang yang berkomunikasi dengan sengaja menggunakan spasial social distancing sudah tentu mengetahui persis bahwa spasial yang dipilihnya adalah yang terbaik menurutnya. Pada konteks tersebut, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan spasial social distancing, yaitu konsep diri yang cenderung menilai tidak setara (lebih tinggi atau lebih rendah) dari lawan bicaranya, nilai-nilai agama dan budaya yang dianut ketika berkomunikasi dengan orang lain terlebih kepada lawan jenis, konten komunikasi yang lebih bersifat umum dan tidak privasi, dan komunikasi yang terjadi lebih sering bersifat spontan tanpa ada tujuan komunikasi yang spesifik.
Social distancing atau physical distancing
Sejak frasa social distancing muncul sebagai salah satu langkah pencegahan penularan Covid-19 di masyarakat, banyak sekali terjadi penafsiran dan argumentasi yang menyatakan bahwa frasa tersebut tidak cocok karena terkesan mengandung makna yang membatasi seseorang dari lingkungan sosial mereka. Penafsiran seperti ini tentu menimbulkan polemik di masyarakat, terlebih jarak sosial sering dimaknai juga sebagai pembatasan hubungan antarindividu. Sebagai gantinya WHO kemudian memilih menggunakan frasa physical distancing yang secara harfiah diartikan sebagai jarak fisik. Frasa ini ternyata lebih diterima oleh sebagian masyarakat, karena dinilai memiliki arti dan makna yang lebih jelas, yaitu perlunya kita menjaga jarak fisik (bukan jarak sosial) untuk menghindari penularan covid-19.
Menurut Maria Kerkhove, ahli epidemiologi WHO (www.iflscience.com, 2020), menyatakan bahwa mereka menggunakan frasa physical distancing agar setiap orang tetap dapat terhubung dengan orang lain secara sosial melalui penggunaan media sosial, karena kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, bila kita menggunakan pendekatan ilmu komunikasi, frasa physical distancing atau jarak fisik lebih bersifat umum tanpa ada batasan spasial yang jelas (bisa dekat, bisa juga jauh) antara orang-orang yang berkomunikasi. Lebih buruknya lagi bila physical distancing diartikan hanya sebatas menjaga tubuh agar tidak terjadi kontak fisik dengan orang lain, dan itu dapat terjadi pada spasial personal distancing yang memiliki jarak yang lebih dekat dari social distancing. Bila konteks ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penularan covid-19 tentu akan menjadi kontradiktif, karena kita sebaiknya memilih jarak fisik sejauh mungkin dengan orang lain.
Jadi, frasa social distancing yang sudah ada selama ini sebenarnya tidaklah salah, dan dari sudut pandang komunikasi pun sudah tepat untuk digunakan. Melalui penerapan spasial social distancing, jarak fisik antara orang-orang yang berkomunikasi akan lebih aman, karena setiap orang akan mempertahankan ruang personalnya. Di sisi yang lain, tujuan penerapan spasial social distancing dalam berkomunikasi yaitu untuk memelihara relasi sosial sama sekali tidak terganggu, karena tujuan tersebut dapat diganti dengan menggunakan media sosial. Lihat saja seperti penerapan belajar online, bekerja dari rumah (work from home), berbagai aplikasi meeting online yang dapat menggantikan pertemuan secara fisik. Pun misalnya terjadi komunikasi tatap muka (face to face) yang tak terhindarkan, seseorang yang berkomunikasi dengan menerapkan spasial social distancing akan lebih terjaga untuk menghindari resiko penularan covid-19. ***
Penulis | : | Dr. Biryanto, Praktisi Komunikasi |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |