Angga Minanda, S.IP
|
AWAL April ini ramai hashtag (tagar/tanda pagar) untuk tidak balik ke kampung halaman. Hashtag itu diberi judul #JanganMudik. Ini adalah seruan berikutnya dari kampanye physical distancing. Sebuah seruan yang dirasa membantu memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19, yang sejak sebulan lalu menghantui sebagian warga negara Republik Indonesia. Mengapa penulis katakan sebagian bukan seluruh warga negara? Karena sejauh ini penulis tidak melihat kesungguhan dari sebagian masyarakat untuk taat dan patuh pada seruan physical distancing. Masih banyak yang kumpul bersama teman-teman di cafe dengan hiburan live music atau menikmati secangkir kopi sambil ngobrol politik bersama rekan sejawat di kedai kopi. Realita seperti ini membuat penanggulangan penyebaran wabah Covid-19 tentu semakin sulit.
Permasalahan Covid-19 kian hari makin mengkhawatirkan. Hingga tanggal 10 April 2020 tercatat sebanyak 3.512 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan 306 korban jiwa. Angka ini diprediksi akan terus bertambah dari hari ke hari. Dari detik.com (10/4), beberapa ilmuwan dari ITB, Unpad, UGM, Essex and Khalifa University, University of Southern Denmark, Oxford University, ITS, Universitas Brawijaya, dan Universitas Nusa Cendana terlibat dalam sebuah penelitian gabungan untuk memproyeksikan waktu puncak serta jumlah kasus kematian dari beberapa skenario kebijakan pemerintah.
Hasil dari penelitian tersebut adalah jika pemerintah tidak menerapkan intervensi maka jumlah kematian bisa mencapai 2,6 juta jiwa dengan waktu puncak pada tengah Mei. Jika pemerintah sekadar memberikan imbauan dan seruan (mitigasi) maka jumlah kematian mencapai 1,2 juta jiwa dengan waktu puncak pada awal Juli. Kemudian jika pemerintah menerapkan aturan yang tegas (supresi) maka jumlah kematian diprediksi mencapai 120 ribu jiwa dengan waktu puncak pada akhir April-awal Mei 2020. Walaupun penelitian ini belum melalui penelaahan sejawat (peer review), tetapi tetap saja mengkhawatirkan.
Bersabar di Hari Raya
InsyaAllah tak lama lagi umat muslim Indonesia yang notabene mayoritas di negeri ini akan melaksanakan ragam ibadah di bulan suci Ramadhan dan berhari raya Idul Fitri 1441 H. Siapapun pasti tahu, berhari raya di kampung halaman adalah kebahagiaan tak terkira. Apalagi bagi perantau yang jauh dari sanak famili. Merantau untuk mengumpulkan rezeki dan mewujudkan cita-cita.
Begitu pula halnya dengan penulis rasakan. Jauh dari orang tua, sanak famili dan tanah kelahiran bukanlah hal yang mudah. Kerinduan mendalam membuat pulang kampung menjadi hal yang diinginkan. Ragam persiapan telah dirancang agar pulang kampung menjadi aman dan menyenangkan. Namun apalah daya ketika pandemi Covid-19 menyerang, tak ada yang bisa menghadangnya. Jangankan rakyat biasa, selevel Presiden Jokowi pun dibuat hati-hati dalam menghadapi permasalahan ini. Hati-hati dan penuh pertimbangan, termasuk dalam menyikapi hajatan akbar di hari raya ini.
Pulang kampung atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan mudik adalah tradisi yang luar biasa. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu satu atau dua minggu disekitar hari raya, puluhan juta rakyat Indonesia akan tumpah ruah dalam perjalanan ke kampung halaman masing-masing dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan ada yang memakan waktu berhari-hari. Pemerintah pun memberikan perhatian serius akan hajatan mudik ini. Ada cuti bersama hari raya, Tunjangan Hari Raya (THR), penyiapan infrastruktur, operasi lalu lintas lebaran, mudik bersama gratis, dan lain sebagainya.
Selain untuk menguatkan silahturahim dan bernostalgia di kampung halaman, mudik juga dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha kecil dan menengah. Biasanya saat mudik masyarakat akan singgah ke objek-objek wisata, rumah makan, pusat perbelanjaan, pusat oleh-oleh, jajanan, mainan anak-anak dan lain sebagainya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, perputaran jumlah uang selama mudik mencapai ratusan triliun. Pada tahun 2015 jumlahnya adalah 125 triliun rupiah. Tahun 2016 meningkat menjadi 160 triliun rupiah. Tahun 2017 perputaran uang sebesar 167 triliun rupiah. Tahun 2018 meningkat menjadi 191,3 triliun. Lalu, tahun 2019 perputaran uang lebaran naik mencapai 217,1 triliun.
Namun di masa pandemi Covid-19 ini (tahun 2020), Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan ada penurunan perputaran uang lebaran sebesar 3,09 triliun (sumber: merdeka.com dan cnbcindonesia.com). Geliat ekonomi saat lebaran berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengusaha mikro, kecil dan menengah, serta turut meningkatkan pendapatan daerah dan negara, dari sektor pajak dan sebagainya. Sehingga hal ini turut menjadi pertimbangan pemerintah dalam penetapan larangan mudik lebaran 2020.
Kebijakan Pemerintah
Memang Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan fatwa melarang mudik lebaran tahun 2020. Akan tetapi dua ormas Islam terbesar di Indonesia (Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah) sudah menyerukan kepada warganya untuk tidak mudik pada lebaran tahun ini. Dua ormas Islam yang jarang sepakat dalam penetapan awal hari raya ini sekarang sependapat untuk menjauhi mudharat Covid-19 dengan tidak mudik. Gerakan inipun disebut sebagai jihad kemanusiaan. Imbauan senada juga disampaikan oleh Organda (Organisasi Angkutan Darat). Walaupun akan menerima kerugian yang signifikan, Organda mendukung pemerintah untuk segera membuat aturan larangan mudik.
Terdapat beberapa alasan mengapa mudik perlu dilarang untuk saat ini yang antara lain, (1) potensi berbaurnya masyarakat selama diperjalanan (apakah menggunakan transportasi umum atau pribadi), hal ini tentu saja melanggar physical distancing dan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB); (2) penyebaran Covid-19 secara massive dapat terjadi selama proses mudik, bisa dari sesama pemudik, petugas tiket, penjual makanan, dari virus yang menempel digagang pintu dan sebagainya; (3) memunculkan konflik horizontal karena sebagian masyarakat tidak mengizinkan pemudik menetap dikampungnya karena pemudik otomatis berstatus ODP yang harus dikarantina; (4) memperluas episentrum (zona merah) Covid-19 tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya tetapi juga didaerah-daerah tujuan mudik (di pulau Jawa maupun luar pulau Jawa); (5) jika terjadi “ledakan” kasus Covid-19 di daerah maka dikhawatirkan unit kesehatan daerah (fasilitas dan SDM) tidak siap menanganinya sehingga beresiko fatal; (6) masa tanggap darurat diperpanjang hingga waktu yang tidak menentu; (7) kondisi ekonomi semakin terpuruk; (8) dan seterusnya. Dampak pandemi Covid-19 sangat mengkhawatirkan. Bahkan sampai pejabat sekelas Gubernur Bank Indonesia tidak dapat menahan emosinya (tangis) akibat memikirkan efek yang dimunculkan dari Covid-19, saat rapat virtual bersama Komisi Keuangan DPR-RI.
Sejauh ini pemerintah belum mengeluarkan aturan larangan mudik, masih sebatas imbauan. Sehingga ada kemungkinan jumlah pemudik tidak bisa diredam. Akhir Maret kemarin, ada 876 bus antarprovinsi yang membawa 14.000-an penumpang dari Jabodetabek ke provinsi lain di pulau Jawa. Info tersebut hanya bagi yang menggunakan bus dan belum termasuk yang menggunakan kereta api, kapal, pesawat, dan mobil pribadi. Terjadi jauh waktu sebelum Ramadhan dan Hari Raya. Hal ini terjadi karena masyarakat merasa lebih nyaman tinggal di kampung daripada di kota terlebih saat kondisi ekonomi sedang “sakit” seperti ini.
Gelombang ini akan terus bertambah dari waktu ke waktu, menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya. Padahal pemerintah sudah mengupayakan beberapa hal yaitu : (1) menyiapkan kompensasi bagi masyarakat yang tidak mudik saat lebaran; (2) berkoordinasi dengan pihak maskapai dan jasa transportasi agar mengurangi aktifitas, bahkan program mudik gratis tahun 2020 ditiadakan oleh Kemenhub; (3) menggeser cuti bersama hari raya Idul Fitri 1441 H menjadi tanggal 28-31 Desember 2020; (4) mengganti penuh uang tiket jika telah dibeli.
Tak dapat dibendung lagi. Secara perlahan namun pasti, sudah banyak masyarakat yang balik ke kampung halaman. Mahasiswa yang tinggal sendirian di rantau, lebih memilih untuk pulang kampung. Karyawan perusahaan yang diminta untuk Work From Home (WFH) memanfaatkan waktu luang ini untuk liburan ke kampung halaman. Karyawan perusahaan yang terpaksa dirumahkan, tentu lebih memilih berpuasa dan berhari raya di kampung halaman bersama keluarga. Mereka semua ini bergerak/berpindah dari kota ke desa, dari daerah terjangkit ke daerah belum terjangkit.
Jika pemudik ini tidak bisa mengurungkan niatnya maka pemerintah daerah mewajibkan mereka untuk melakukan karantina mandiri (isolasi diri) selama 14 hari, berstatus ODP (Orang Dalam Pemantauan) dan bersedia untuk diperiksa berkala. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik dan penolakan dari masyarakat daerah setempat yang merasa cemas.
Bagi ASN (Aparatur Sipil Negara), TNI, POLRI dan pegawai BUMN diinstruksikan untuk tidak mudik. Instruksi ini langsung disampaikan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 9 April 2020. Dari laman menpan.go.id, ASN wajib untuk taat pada Surat Edaran Menteri PANRB No. 46 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik dan/atau Cuti Bagi ASN dalam Upaya Pencegahan Covid-19. Jika ASN melanggar maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Kapolri, Jenderal Idham Azis, turut melarang seluruh anggotanya untuk mudik melalui Surat Telegram Nomor: ST/1083/IV/KEP./2020 tertanggal 3 April 2020, termasuk anggota keluarga masing-masing.
Alternatif Merayakan Hari Raya
Pemerintah dalam kondisi yang sulit saat proses mengeluarkan larangan “jangan mudik” ini. Tradisi mudik yang sudah berakar dan alasan ekonomi menjadi sebab utama mudik tetap dilakukan. Imbauan physical distancing belum begitu dipahami masyarakat, walaupun bagi golongan terpelajar (ilmu umum maupun agama) sekalipun. Saat ini sudah selayaknya kita memahami, mendukung dan mentaati pemerintah. Karena permasalahan pandemi Covid-19 ini adalah musuh kita bersama (common enemy).
Hari Raya tak harus mudik, apalagi memang sudah ada imbauan dari pemerintah dan ulama. Agar kebahagiaan hari raya tak sirna karena tidak mudik maka kita patut mencari aktifitas lain yang bisa menjadi alternatif dalam merayakan hari raya Idul Fitri nanti.
Penulis mencoba memberikan saran sebagai berikut, yaitu: (1) melakukan video call dengan orang tua dan sanak famili untuk bermaaf-maafan serta mengucapkan selamat hari raya; (2) bertakbir dengan penuh kebahagiaan dan penghayatan; (3) menyediakan masakan nikmat khas hari raya; (4) berbagi kebahagiaan hari raya melalui media sosial; (5) bersama anggota keluarga saling menjaga keharmonisan dan kekompakan dengan cara sama-sama membersihkan dan membereskan rumah; (6) menabung dana THR untuk keperluan yang tidak terduga, terlebih dimasa yang tidak menentu seperti sekarang. Demikianlah, semoga kita semua diberkahi di bulan Sya’ban ini dan dipertemukan dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Aamiin.
Penulis | : | Angga Minanda, S.IP (Alumni Hubungan Internasional Fisip Unri dan Pemerhati Sosial) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |