(CAKAPLAH) - Dresden, dimana saya tinggal, adalah ibu kota negara bagian Sachsen. Kota keempat terbesar di Jerman setelah Berlin, Hamburg dan Koln. Seperti di kota Jerman lainnya, komunitas muslim boleh dikatakan tergolong kelompok minoritas, apalagi muslim yang berasal dari Indonesia. Oleh karena itu suasana puasa Ramadan sangat berbeda dengan puasa Ramadan di Tanah Air. Tidak ada simbol-simbol bulan Ramadan seperti masjid-masjid yang megah terang benderang dan penuh jamaah, suara adzan yang berkumandang menandakan waktu berbuka, atau tidak ada juga bunyi sirene panjang menandakan tibanya waktu imsak.
Tidak ada suara bacaan ayat suci Al-Quran di pengeras suara masjid yang bersahut-sahutan. Tidak ada kerumunan manusia berbondong-bondong berbusana muslim di jalan-jalan menuju masjid untuk sholat tarawih atau kerumunan orang yang rela berdesak-desakan membeli takjil untuk berbuka. Tidak ada teriakan para penjual takjil, “yaa gorengannya lima ribu, gorengannya lima ribu, onde-ondenya pak, bu, salalauknya murah aja. Yaa lima ribu lima ribu”.
Tidak juga ada teriakan para pemuda-pemudi kompleks yang membangunkan para penghuni kompleks untuk sahur. Tidak ada bunyi klontang-klonteng di dapur saat ibu, kakak, dan sanak famili menyediakan makanan sahur. Tidak ada kehebohan dan suasana ceria keluarga saat berbuka atau santap sahur. Tentu tidak juga ada suara takbir pada malam takbiran di penghujung Ramadan.
Keceriaan itu semua tidak ditemukan di Dresden, setidaknya dalam tujuh tahun terakhir saya melakoni puasa Ramadan di Jerman. Tentu saja suasana keceriaan itu semua, kumpul dengan ayah-ibu, saudara-saudara dan handai taulan, berangkat ramai-ramai untuk sholat tarawih atau buka bersama dengan teman-teman yang heboh, menghadirkan kerinduan tersendiri. Rindu kampung halaman menjadi semakin terasa di bulan suci Ramadan ini.
Tahun ini, pandemi Covid-19 menyebabkan pemerintah Jerman mengambil kebijakan lockdown, yang membatasi warga untuk bepergian ke luar rumah. Maka puasa Ramadan suasananya terasa semakin sepi. Tahun-tahun sebelumnya ada saja keluarga Indonesia yang mengajak buka bersama di rumahnya dengan makanan khas Indonesia seperti soto, rendang, gulai kambing, sate kambing, ayam balado, dan sebagainya. Lepas juga rindu. Atau kumpul-kumpul di perkumpulan Pengajian Dresden. Atau di antara kami sesama warga muslim dengan berbagai kebangsaan, ada saja yang ambil inisiatif untuk buka bersama. Bukanya bersama, tapi bayarnya sendiri-sendiri. Tahun ini tidak ada buka bersama. Seharian kita dianjurkan oleh Pemerintah untuk tetap di rumah saja, setidaknya bagi mereka yang bisa bekerja dari rumah. Masing-masing, seperti saya yang tinggal sendiri, buka dan sahur sendiri dengan menu seadanya, itu lagi, itu lagi, nasi goreng, telor dadar, telor ceplok, telor balado, sarden atau segala yang instan.
Tapi lockdown ada positifnya juga. Dengan pembatasan pergerakan orang, membuat kami semakin mudah beribadah tepat waktu. Pun, tidak usah berpanas-panasan di luar rumah (maklum, di musim panas seperti sekarang, siang menjadi lebih panjang dan udara panas bisa ekstrim). Haus jarang terasa, kecuali di saat sedang banyak bicara, misalnya ketika mengisi waktu dengan bermain game online bersama teman-teman dari berbagai negara.
Tahun pertama berpuasa di Jerman, ketika itu puncaknya musim panas di Eropa, lama siangnya bisa mencapai 18-19 jam. Matahari terbit kepagian dan seakan enggan untuk tenggelam di ufuk barat. Pukul 21.00 masih belum tenggelam. Hal yang saya ingat, pengalaman pertama berpuasa di Jerman, penuh kekhawatiran, apakah sanggup berpuasa selama 18-19 jam lamanya. Bikin ciut nyali.
Namun ternyata menjalankan puasa di siang yang panjang seperti itu, tidak sesulit dan sedramatis yang dibayangkan. Saya ingat sering ditanya “bagaimana puasanya di Jerman?”, “Kalau tidak kuat batalkan saja“, begitu suara di layar telepon genggam dari orang tua di Tanah Air, penuh kehawatiran. Khawatir mungkin saya akan kekurangan cairan karena waktu berpuasa yang cukup panjang, takut malah jadi sakit. Tapi Alhamdulillah. Segalanya tergantung niat, motivasi, suasana hati, dan tidak memaksakan diri. Berupaya sekuat tenaga, kemudian serahkan kepada Allah SWT.
Satu hal, memang sempat ada kawan dekat yang berasal dari Jerman banyak bertanya tentang berpuasa di bulan Ramadan. Kenapa muslim diwajibkan menjalankannya? Apakah diharuskan satu bulan full? Tidak bisa beberapa hari saja? Apa sejarah dari berpuasa? Pertanyaan-pertanyaan dasar yang mudah-mudahan dengan ilmu agama yang masih seadanya pun saya masih sanggup menjawabnya. Yang saya tangkap pertanyaan seperti ini bukanlah cibiran, tapi rasa ingin tahu dan belajar tentang budaya atau agama lain. Malah ada kawan yang ingin mencoba ikut berpuasa juga. Saya katakan coba saja setengah hari terlebih dahulu, kalau dirasa kuat baru lanjutkan sampai sekuatnya (saya tidak mau kawan saya malah jadi trauma). Singkat kata, orang-orang Jerman yang non-muslim justru memberi respek kepada kita bila mereka tahu kita berpuasa.
Tantangan terberat bagi saya, mungkin juga bagi teman-teman se Tanah Air yang berpuasa di Jerman, bukan pada lamanya siang, melainkan mencerna dan berdamai dengan suasana yang terasa begitu hampa tanpa suara adzan, tanpa masjid yang ceria, tanpa teriakan para pejuang sahur, teriakan para penjual takjil, suara kerumunan manusia yang sedang berburu takjil, berlomba-lomba ke masjid, dan takbir beralun-alun di penghujung Ramadan.
Hidup jauh dari bumi pertiwi mengajarkan saya untuk lebih menghargai hal-hal yang sering tersepelekan, yakni saat ketika kita berada dekat dengan orang tua dan kerabat sanak saudara, nyaman dengan suasana penuh rasa kekeluargaan. Mungkin berangkat dari rasa yang sama, membuat saya dan beberapa teman di Dresden terpanggil bergotong royong tanda kepedulian, berkirim takjil seujung kuku, selama puasa Ramadan, melalui aplikasi kerabat di Pekanbaru. Setidaknya, rasa yang hilang dapat sedikit terobati. Salam takzim dari Dresden.***
Penulis | : | Hanna Rauda Eureka, bermukim di Jerman sejak memulai studi lanjutannya pada tahun 2013 hingga sekarang. |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Internasional, Serba Serbi |