(CAKAPLAH) - Di tengah pandemi, kehadiran Idul Fitri sebagai momentum kembali ke fitrah begitu berarti. Harapan kita, semoga hadir kehidupan baru lebih baik. Bagi pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat dan bernegara. Menyinggung kehidupan baru, Presiden Jokowi telah memutuskan menggelar protokol beradaptasi dengan kehidupan normal yang baru (new normal) secara bertahap. Ditandai terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Pemprov Riau juga berencana terapkan di 9 daerah.
Penerapan adaptasi new normal saat ini mungkin berangkat dari narasi “berdamai dengan corona” dulu digaungkan Presiden. Sayangnya, new normal yang digaungkan pemerintah tak jelas. Setakad ini belum ada kajian dan framework yang dipaparkan. Padahal publik sebagai objek kebijakan perlu tahu. Agar kebijakan ini tak dinilai untuk pemulihan ekonomi semata tapi abai dengan protokol pencegahan dan penularan. Ini jelas beresiko. Sebagaimana pernah saya sampaikan pada tulisan “Wabah yang Berujung Pasrah” yang dimuat di Cakap Rakyat (22/5/2020). Ketika kurva pandemi nasional belum landai, memulihkan rutinitas dan aktivitas ekonomi dinilai gegabah. Seumpama orang terjun payung, masih di ketinggian tapi parasut sudah dicampakkan.
Presiden baiknya hindari keputusan dengan memakai sudut pandang politik. Sudah lupakah Januari-awal Maret 2020? Saat para menteri dan orang sekeliling Presiden mengampanyekan Indonesia bebas corona. Pihak yang mengingatkan ancaman wabah malah dipojokan. Tujuannya supaya rutinitas dan ekonomi terus berjalan. Presiden pun terpengaruh. Memasuki minggu kedua Maret muncul kasus dan terus bertambah. Pemerintah gagap nyaris tanpa contingency plan. Dalam situasi kian sulit, Presiden sering muncul sendiri menjawab persoalan. Sementara orang sekelilingnya seolah meninggalkannya.
Contoh lain tak kalah fatal adalah politik memoles kondisi ekonomi dan keuangan Negara agar tampak baik. Saat pandemi terkuak keadaan sebenarnya. Sampai-sampai untuk urusan wajib saja pemerintah pusat keteteran. Lihat saja penyaluran kurang bayar DBH TA 2019 ke daerah. BPK sampai menyurati Kementerian Keuangan karena keputusan aneh pusat meminta DBH kurang bayar daerah dipakai menanggulangi pandemi. Padahal DBH TA 2019 harusnya sesuai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun anggaran sama 2019. Sementara pandemi terjadi di 2020.
Saatnya Politik beralih ke Saintifik
Menarik menyimak bagaimana Pemerintah Prancis memutuskan kebijakan terkait pandemi Covid-19. Walau kurva pandemi mereka telah landai, namun berhati-hati memilih opsi new normal. Padahal Prancis terancam resesi terburuk sejak PD II. Ditambah kehilangan kontribusi sektor pariwisata selama pandemi. Namun Pemerintahnya mengikuti rekomendasi Komisi Dewan Kajian Ilmiah (The Conseil Scientifique) dalam menentukan langkah penanganan pandemi. Di sana “kekuasaan” seakan beralih dari politisi ke saintis.
Alokasi pencegahan, penanganan dan kesehatan diprioritaskan. Menteri Keuangan Bruno Le Maire dalam wawancara dengan media Inggris Independent berkata: “sebelum memulihkan perekonomian, kondisi warga perlu dipulihkan terlebih dahulu”. Maka, kucuran dana penanganan dan pelayanan kesehatan berikut insentif dan bonus bagi tenaga kesehatan dan profesi lain yang jadi garda terdepan selama pandemi. Dan, alokasi tersebut tak diambil dari pajak tetapi dari pertumbuhan ekonomi. Sedang Indonesia kewalahan untuk penanganan wabah andalkan pajak, sementara ekonomi sejak 2015 trennya mentok di “angka natural” 5 %.
Kembali bicara new normal, perlu kajian dan perencanaan agar pemerintah tak salah langkah dan latah meniru negara lain. Korea Selatan sudah memulai New Normal. Namun terpaksa mengkaji ulang new normal karena terjadi lonjakan kasus. Itu Korea Selatan yang termasuk baik segi penanganan. Indonesia? Data terakhir, recovered rate masih rendah 25.40 % dan death rate masih tinggi 6.18 % (www.coronavirus.thebaselab.com). Jika kebijakan protokol beradaptasi new normal dipaksakan atas pertimbangan ekonomi dan politik, maka jelas targetnya: warga kembali berpenghasilan, roda ekonomi bergerak dan keuangan negara terselamatkan. Tapi apa sepadan dengan konsekuensi ke depan?
Bukan sekedar membangun
Sibuk mengusung new normal tapi miskin perencanaan. Jangan salahkan banyak pihak skeptis dengan new normal pemerintah. Padahal new normal kesempatan langka. Butuh roadmap dan rencana ke depan. Bukan untuk gagah-gagahan. Bukan pula sekedar “membangun” tetapi “membangun” kehidupan lebih baik. Artinya ada komitmen yang harus ditagih dari pemangku kepentingan. Khususnya terhadap isu-isu yang muncul selama pandemi.
Pertama, Sektor pemerintahan. Pengambilan keputusan Pemerintah RI paling disorot selama pandemi. Survei kolaboratif universitas ternama dunia termasuk Harvard, merilis indeks persepsi kecukupan pemerintah penanganan Covid-19. Pemerintah RI mendapat persepsi terburuk dibanding negara tetangga. Ditambah pusat kurang terbuka mengadopsi ide-ide perbaikan. Bahkan gagap ketika ada Pemda yang inisiatif dan inovatif. Contoh Pemda DKI dan Jawa Barat berlomba bangun database dan pemetaan sebaran corona dengan update lebih cepat, yang sangat membantu strategi penanganan. Namun pusat malah defensif. Pemda DKI pernah ditegur gara-gara data disajikan berbeda dengan situs Kemenkes. Sayangnya, situs Kemenkes justru diprotes banyak pihak karena lemot dan kejanggalan penyajian data. Di era smart government dan smart governance dan warga makin lekat dengan teknologi plus makin populernya Work From Home (WFH), pemerintah pusat dituntut transaparan dan jadi contoh ke Pemda, bukan sebaliknya. Ke depan, pemerintah yang aware terhadap teknologi, bukan sebatas pengguna tetapi inovasi, lebih cepat merespon tantangan dan bangkit dari pandemi daripada yang gagap.
Kedua, Kelemahan tata kelola sektor kesehatan. Alokasi kesehatan tak memadai dibayar mahal dengan layanan kesehatan warga dan perlindungan terhadap tenaga kesehatan yang serba terbatas. Jangankan di pelosok, sekelas ibukota negara dan provinsi saja gelagapan. Ditambah BPJS yang amburadul. Sarana dan prasarana kesehatan, keberadaan fasilitas penanganan wabah, laboratorium pengujian dan ketersediaan alat medis adalah PR terbesar. Seiring status Indonesia tak lagi negara berkembang, harapannya bisa berkontribusi bagi dunia. Terutama penelitian dan produksi vaksin. Kita berpengalaman menangani kasus flu burung (H5N1) dan punya banyak ahli termasuk mantan Menkes yang revolusioner Siti Fadilah. Alokasi anggaran kesehatan memadai adalah faktor kunci. Termasuk memaksimal kampanye kesehatan. Himbauan menjaga kebersihan dan kesehatan selama pandemi contoh sukses. Bukti masyarakat mampu berdisiplin, mengikuti anjuran dan prosedur kesehatan jika disosialisasikan secara benar dan tepat.
Ketiga, isu sosial dan ekonomi. Pelaku usaha ekonomi menengah ke bawah, pekerja informal, profesi di garda terdepan dan golongan tak mampu. Saat pandemi flu Spanyol 1918 membawa perubahan besar regulasi dan kebijakan di negara-negara terdampak. Pemerintah pun memperbaiki kesejahteraan sejumlah profesi seperti pengantar bahan kebutuhan pokok, pekerja informal, buruh, tenaga kesehatan, petani, peternak dan mereka yang terdampak pandemi. Pandemi Covid-19 juga. SDM kesehatan, perawat hingga dokter banyak masih tidak jelas masa depannya. Sampai-sampai di debat Capres di Pilpres 2019 keluar celutukan gaji dokter kalah besar dari juru parkir, yang diamini Perwakilan IDI bahwa dokter di daerah masih banyak bergaji Rp3 juta. Begitu juga usaha ekonomi menengah ke bawah, perlu recovery berupa insentif dari kebijakan, pekerja informal dan yang selama pandemi terdampak, dan buruh yang makin tak terproteksi dari segi regulasi. Celakanya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditolak karena tak adil terhadap para pekerja, malah digesa pembahasannya selama pandemi. Bikin new normal makin tak jelas.
Keempat, Defisit ketahanan pangan jadi mimpi buruk. Organisasi PBB untuk urusan pangan dan pertanian FAO sudah mengingatkan potensi krisis pangan. Menanggapi kondisi tersebut, pertengahan April 2020 Presiden Jokowi buat pernyataan bahwa ini momentum reformasi sektor pangan. Gagasan patut dihargai meski sudah sangat terlambat. Sekarang tentu butuh kerja ekstra plus mukjizat untuk mengeksekusinya. Di akar rumput, petani dan peternak sudah lama menjerit dan hilang kepercayaan akibat kebijakan impor pangan jor-joran 5 tahun belakangan. Data Bank Indonesia (BI) Februari 2020, faktor impor barang konsumsi non migas seperti produk pertanian dan peternakan berkontribusi besar terhadap tekornya neraca perdagangan. Apabila pemerintah benar-benar serius reformasi pangan, paparkan tahapan mulai sekarang hingga ke depan. Serius batasi impor, bangun regulasi berpihak kepada komoditas lokal dan petani lokal, serta perkuat kampanye ketahanan pangan ke masyarakat luas.
Demikian pemaparan sederhana dari sekian banyak gagasan yang bisa ditambahkan. Kita ingin, keputusan pemerintah RI beradaptasi dengan new normal bukan ikut-ikutan. Tapi ada kajian apakah sudah pantas diberlakukan? Terus, apa gagasan perubahan ke depan? Jika new normal hanya untuk menggenjot produktivitas perekonomian di tengah keuangan negara bermasalah dan diputuskan atas pertimbangan politik elit dan kekuasaan, wajar jika banyak mempertanyakan.***
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab LC MM, Anggota DPRD Provinsi Riau, Komisi III |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |