Nugroho Noto Susanto
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Pilkada serentak 2020 mau tidak mau diselenggarakan ditengah ancaman Covid-19. Sudah disepakati bahwa Pilkada serentak se Indonesia akan digelar pada Desember 2020 mendatang.
Komisioner KPU Riau, Nugroho Noto Susanto menjelaskan, Perppu 2/2020 memberi mandat kepada KPU untuk merancang tata cara penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi dengan menyesuaikan protokol kesehatan. Dan kesepakatan 27 Mei 2020 lalu, DPR RI memerintahkan kepada KPU, Bawaslu dan DKPP untuk mengusulkan anggaran Pilkada lanjutan 2020. Tentu saja, penyesuaian protokol kesehatan berdampak pada kenaikan kebutuhan anggaran di era kenormalan baru.
Terhadap hal itu, kata Nugroho, KPU tengah mempersiapkan berbagai inovasi terkait teknis penyelenggaraan pemilihan lanjutan. Skenario pengurangan jumlah pemilih di TPS perlu diperhatikan. Saat ini, pemilih di TPS sebanyak maksimal 800 orang.
"Saya kira, jumlah itu bisa dikurangi menjadi 500 pemilih saja per TPS. Pertimbangannya mengurangi jumlah pemilih, pertimbangan anggaran lebih murah dibanding 300 pemilih. Kalau dikurangi menjadi 300 pemilih per TPS, konsekwensi anggaran bisa membengkak. Kecuali jika anggaran kita memang memadai. Kalau 500 pemilih di TPS, tinggal diatur protokol kesehatannya. Misalnya dibuat upaya pencegahan (tidak wajib, tapi diutamakan) berupa penjadwalan waktu pencoblosan berdasar urutan abjad dari pukul 07.00 pagi sampai ditutupnya waktu pencoblosan. Mirip undangan pernikahan, agar tidak mengumpul di satu waktu, dibuat pengaturan jadwal. Umumnya potensi kerumunan massa terjadi di pagi hari atau saat mau tutup waktu pemungutan suara," papar Nugroho.
Inovasi lainnya, cakap Nugi adalah bagaimana logistik untuk hari pemungutan suara mengadaptasi protokol kesehatan.
"Sejak dari produksi logistik di pabrik juga harus mempertimbangkan protokol kesehatan. Pihak perusahaan harus mengecek kondisi pekerjanya, apakah benar-benar sehat atau ada yang berpotensi terpapar virus. Termasuk juga pihak-pihak yang terlibat di distribusi logistik pemilihan. Tak ketinggalan panitia yang melakukan sortir logistik di daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilihan," cakap Nugi.
Selanjutnya, inovasi logistik juga menjadi perhatian KPU. Alat pencoblos misalnya, bisa saja satu pemilih satu alat coblos. Tinta yang selama ini dicelup, diubah menjadi diteteskan. Posisi kotak suara, meja KPPS, PTPS, kursi tunggu pemilih dibuat berjarak, penyediaan sabun dan air pencuci tangan, hand sanitizer, pengukur suhu tubuh, penyediaan sarung tangan plastik setiap pemilih, kotak sampah, kehadiran tim medis, dan seterusnya.
"Medio Juni 2020, tahapan pemilihan yang sedang menanti adalah pelantikan PPS, verifikasi faktual bakal calon perseorangan, dan nanti dilanjutkan dengan seleksi Petugas pemutakhiran data pemilih, pencocokan dan penelitian (Coklit) data pemilih. Pada tahapan ini, pertemuan menjadi sulit dihindari. Adaptasi yang dimungkinkan adalah pelaksanaan protokol kesehatan tadi. Pelantikan PPS dilakukan berjarak, mengenakan masker, cek suhu tubuh, dan cuci tangan. Begitupun verifikasi factual, dan Coklit," kata Nugi.
Tak hanya itu, tahapan berikutnya yang berpotensi menciptakan kerumunan massa juga adalah sosialisasi dan kampanye.Terkait tahapan-tahapan tersebut, KPU sudah pasti akan menerapkan protokol kesehatan.
"Tentu saja, sosialisasi pemilihan akan banyak menggunakan media digital. Begitupun tahapan kampanye. Hanya saja, menghilangkan sama sekali pertemuan tentu tidak mungkin. Terdapat basis-basis pemilih yang harus dijemput secara langsung seperti pemilih marginal di pedalaman, kaum disabilitas, dan sebagainya. Berkaca dari pengalaman sosialisasi pemilu 2019, tidak ada rasanya basis pemilih yang kita tinggalkan. Harapan kita, di pemilihan 2020 juga demikian. Jangan sampai ada warga yang merasa ditinggalkan di tengah pesta demokrasi karena demokrasi itu adalah tentang mereka, tentang rakyat, termasuk rakyat marginal," cakapnya lagi.
Lebih lanjut, Nugroho mengatakan, pihaknya berharap perencanaan yang dirancang oleh KPU benar-benar didukung oleh anggaran pemerintah yang memadai. Tanpa daya dukung anggaran, maka berbagai keperluan penyesuaian protokol kesehatan itu menjadi sulit dilakukan.
"Kita tidak hendak mendengar penyelamatan demokrasi berujung tragedi. Mengingat ruhnya demokrasi itu terletak di manusia, demos, atau rakyat, maka sejatinya tujuan penyelamatan demokrasi adalah menyelamatkan kehidupan manusia itu sendiri," tukasnya.