(CAKAPLAH) - Tahun 2020 mungkin menjadi tahun yang tidak begitu baik untuk banyak orang. Pandemi Covid-19 (coronavirus disease 2019) telah mengubah banyak aspek mendasar kehidupan manusia pada aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan, wisata, hingga budaya yang menjadi kian terbatas. Perubahan itu menuntut tiap orang dapat adaptif dan bertahan agar dapat mencegah penularan virus korona yang begitu masif di Indonesia, bahkan dunia.
Di tengah ketidakpastian akan masa depan, manusia pun dihadapkan dengan tsunami informasi dari media massa, media baru, hingga media sosial. Beberapa informasi barangkali bermanfaat, tapi beberapa informasi lainnya mungkin malah menimbulkan ketakutan, kecemasan, bahkan gangguan kesehatan mental bagi pembacanya. Belum lagi, oknum-oknum yang menyebarkan berita hoaks yang semakin menambah kekeruhan di tengah masyarakat.
Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah munculnya istilah bahasa asing di tengah pemberitaan Covid-19. Seperti suspect (terduga), droplet (butiran ludah), social distancing (pembatasan sosial), physical distancing (pembatasan jarak fisik), lockdown (penguncian), rapid test (tes cepat), swab test (tes usap), local transmission (transmisi lokal), imported case (kasus impor), hand sanitizer (penyanitasi tangan), thermo gun (pistol termometer), work form home (bekerja dari rumah), dan lainnya. Bahkan baru-baru ini, istilah new normal (kenormalan baru) pun tengah digaungkan sebagai sosialisasi skenario untuk mempercepat penanganan Covid-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi.
Menurut hemat penulis, istilah-istilah asing di atas masih mendominasi ruang-ruang pemberitaan Covid-19 di Indonesia. Oleh karena paparan informasi yang terus-menerus diberikan oleh media massa tersebut, pembicaraan di media sosial atau pun percakapan informal masyarakat banyak menggunakan istilah asing karena dianggap lebih familier.
Padahal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009, tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 39 ayat 1 menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa. Hal ini menunjukkan konstitusi kita telah mengamanatkan pentingnya mengutamakan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara kita.
Sebenarnya bertebarnya istilah asing tentu tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan selama penggunaannya disesuaikan dengan kaidah penggunaan istilah dalam Bahasa Indonesia. Namun sayangnya, fakta lapangan menunjukkan istilah bahasa asing tersebut lebih sering digunakan dibandingkan istilah Bahasa Indonesia. Untuk itu, hal ini pula yang perlu diwaspadai.
Penulis memiliki beberapa analisa yang menjadi penyebab penggunaan istilah bahasa asing ini mendominasi dalam pemberitaan Covid-19. Pertama, isu ini dibicarakan oleh berbagai dunia dalam taraf internasional, maka dari itu istilah asing pun menjadi lebih populer dan dijadikan rujukan oleh banyak orang, tak terkecuali media massa nasional dan lokal. Kedua, tidak semua orang mengetahui bahwasanya ada landasan hukum yang mengatur penggunaan dan pengutamaan Bahasa Indonesia di media massa. Ketiga, tidak semua jurnalis, yang menjadi ujung tombak pemberitaan media, memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap bahasa jurnalistik yang menyesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Poin ketiga ini juga diperparah dengan kondisi tidak semua media memiliki penyelaras bahasa yang tersertifikasi. Apalagi dinamika media lokal yang memiliki sumber daya yang terbatas namun, masih harus terus mengejar berbagai liputan agar segera naik tayang.
Sejatinya, media memiliki peran untuk menunjukkan pentingnya pengutamaan Bahasa Indonesia dalam pemberitaan Covid-19 yang menjadi sorotan global dan sering diakses oleh masyarakat. Media memiliki kekuatan untuk menjangkau audiens yang heterogen di berbagai wilayah dalam satu waktu sekaligus secara cepat. Media pun memiliki andil untuk mempengaruhi dan membentuk cara pandang masyarakat, termasuk penggunaan Bahasa Indonesia terhadap topik, yang hampir tiap hari selalu dibicarakan, yakni pandemi Covid-19.
Seorang jurnalis, yang bertugas meliput berita di lapangan, sudah selayaknya memiliki perhatian dan kesadaran penuh untuk selalu mengutamakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena jurnalis dan media tidak hanya melaporkan peristiwa terkini namun, juga mengedukasi masyarakat lewat penggunaan bahasa yang mereka pilih.
Tidak hanya itu, pemerintah lewat badan khusus (misalnya Balai Bahasa) pun juga harus proaktif membangun komunikasi untuk memberikan edukasi terkait pengutamaan Bahasa Indonesia dalam pemberitaan Covid-19. Pengawasan pun harus terus dilakukan agar semangat membela bahasa negara tetap terjaga, bahkan tidak ada salahnya memberikan apresiasi secara formal mau pun informal terhadap media yang memiliki komitmen mengutamakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di setiap produk jurnalistik mereka.
Pengutamaan Bahasa Indonesia di media massa menunjukkan bagaimana suatu bangsa memperlakukan bahasa negaranya sendiri. Semakin cinta dan bangga suatu bangsa terhadap bahasanya maka, hal ini dapat meningkatkan prestise Bahasa Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berwibawa di mata dunia. Semoga saja.
Penulis | : | Michiko Frizdew, Pendiri MF Communications jasa konsultan dan pelatihan komunikasi |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |