Petugas Manggala Agni Daops Pekanbaru berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di perkebunan sawit milik warga di Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, Riau, Rabu (4/9/2019). ANTARA FOTO/Rony Muharrman/wsj.
|
(CAKAPLAH) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut fase kritis pertama kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia pada 2020 ini sudah berlalu.
Penggunaan teknologi modifikasi cuaca (TMC) sejak dini disebut berperan banyak dalam menurunkan jumlah titik api hingga 39 persen dibanding tahun sebelumnya.
"Kita sudah melewati fase kritis pertama di Riau. Ini penting karena fase pertama krisis itu ada Covid, sudah gitu ada lebaran. Maka kita coba atasi. Pak presiden perintahkan jangan ada masalah di hari lebaran," katanya, usai rapat terbatas terkait pencegahan karhutla, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/6).
Siti menjelaskan sejumlah wilayah rawan karhutla tiap tahun, misalnya Aceh, sebagian Sumatera Utara, dan Riau yang biasanya melalui dua fase kritis.
Fase pertama karhutla di wilayah itu, kata dia, pada Maret-April. Sementara fase kedua terjadi pada Juni, Juli, dengan prediksi puncak pada Agustus akhir sampai September.
Dikutip dari siaran persnya, fase kritis pertama itu terlewati berkat upaya pencegahan dini karhutla dengan berbekal analisis dan rekomendasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Bahwa, musim kemarau 2020 dimulai sejak Juni dan mencapai puncaknya pada Agustus.
Upayanya dilakukan lewat rekayasa jumlah hari hujan untuk pembasahan gambut yang rentan terbakar melalui TMC di provinsi-provinsi rawan karhutla, seperti Riau, Sumatra Selatan, Jambi.
Selain untuk membasahi gambut yang rawan terbakar, rekayasa jumlah hari hujan ini dimaksudkan untuk mengisi embung dan kanal, dengan memanfaatkan potensi awan hujan.
Siti melanjutkan modifikasi cuaca ini dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan didukung pesawat TNI AU, di sejumlah titik di Sumatra, 13 hingga 31 Mei.
"Modifikasi cuaca itu bisa berpengaruh membasahi gambut, memberi air untuk embung-embung yang dibangun. Dengan yang sudah kita lalui di Riau itu basah gambutnya sehingga kita enggak dapat asap-asap itu," jelas dia.
Mantan Sekjen DPD RI ini juga memastikan akan melanjutkan teknologi modifikasi cuaca ini di Kalimantan yang diprediksi akan mengalami puncak musim kemarau pada Juli-Agustus.
"Kita akan lakukan lagi di Kalimantan. Ini sudah disiapkan dan akan didukung BNPB, BPPT, BMKG, TNI, dengan arahan Pak Menko (Polhukam)," katanya.
Kepala BPPT Hammam Riza menyatakan rekayasa hari hujan melalui TMC, pada periode Maret-Mei, dapat mempertahankan ketiadaan hotspot atau titik api serta dapat meningkatkan Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan gambut.
"TMC mampu menghasilkan air dalam jumlah yang sangat banyak sampai jutaan m3 per hari jika dilakukan pada saat yang tepat. Operasi ini sangat tergantung dari ketersediaan awan dan memperhatikan level air gambut," kata dia, dalam siaran pers KLHK.
Perbandingan total jumlah titik api tahun 2019 dan 2020 per tanggal 1 Januari-9 Juni, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA), dengan Level kepercayaan = 80% sebanyak 837 titik.
Sementara, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah titik api mencapai 1.381 titik. Artinya, ada penurunan jumlah hotspot sebanyak 544 titik atau 39,39 persen.
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Cnnindonesia.com |
Kategori | : | Lingkungan |