Dr. Apriyan D Rakhmat
|
(CAKAPLAH) - Setiap berjalan pagi di sekitar lingkungan perumahan, saya sering teringat dan terbayangkan berjalan kaki di pagi hari di pedestrian Pantai Sanur, Bali. Mengapa? Karena keseronokannya yang sering terbayang dan terlintas dalam ingatan. Jalur pedestriannya yang ramah lingkungan, ramah ekonomi, ramah sosial dan ramah budaya. Berbagai latar belakang manusia dapat dijumpai memanfaatkan dan menikmati jalur pedestrian di sepanjang pantai, dari pagi hingga menjelang malam. Khususnya di pagi hari di penghujung pekan (weekend), suasana menjadi lebih meriah karena juga ditambah dengan warga tempatan, selain tentunya para wisatawan domestik dan mancanegara yang senantiasa berkunjung ke Pulau Dewata, Pulau Cinta (love island), dan gelar lain laginya yang sudah melekat dan membekas bagi Bali. Selain berjalan kaki, juga ramai pengunjung yang jogging, lari pagi dan naik sepeda. Sepanjang pedestrian juga ditutup untuk pengendara kenderaan bermotor, sehingga terasa selesa, aman dan nyaman.
Suasana seperti ini tentu tidak akan ditemukan dalam empat bulan terakhir di sepanjang Pantai Sanur Bali, akibat pandemi Covid 19 yang melanda hampir seluruh penjuru dunia. Jikapun ada pejalan kaki atau pesepeda, bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Bahkan ketika diterapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) beberapa waktu lalu, semua destinasi wisata di-lockdown, termasuk Pantai Sanur.
Bagaimana halnya dengan di Kota Pekanbaru dan kota lainnya di Riau? Apakah terdapat jalur pejalan kaki (pedestrian) yang dapat dibanggakan dan dapat dinikmati oleh warga kota dan pengunjung? Dapat dijadikan hotspot dan ikon warga kota dan pengunjung untuk berjalan kaki, jogging, lari pagi, dengan selesa, nyaman dan aman di pagi hari dan waktu lainnya? Pedestrian yang dapat dibanggakan dan sekaligus memiliki nilai jual untuk menarik pendatang untuk memanfaatkandan menikmatinya? Sehingga tanpa dimintapun warga dan pengunjung sudah kepincut duluan, saking penasarannya untuk melakukannya.
New Life Style
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk di Riau dan Kota Pekanbaru serta kota lainnya telah melahirkan suatu gaya hidup baru warga kota. Kini, semakin banyak warga kota yang menggunakan sepeda di saentero kota dalam masa pandemi Covid 19, yang masih belum lagi reda. Penjualan sepeda di toko toko sepeda meningkat secara signifikan.
Group-group baru para pengguna sepeda bermunculan. Termasuk juga yang bersepeda secara individu dan kelompok kecil. Mulai dari anak-anak yang semakin ramai bersepeda di lingkungan perumahan. Para remaja dan milenial, hingga orang dewasa dan lanjut usia semakin banyak dijumpai bersepeda di jalanan di masa pandemi Covid-19. Ditambah lagi dengan diterapkannya PSBB sehingga banyak waktu senggang dan libur kantor bagi pekerja kantoran dan anak sekolah/kuliah. Waktu libur panjang ini banyak diisi dengan kegiatan bersepeda di saentero kota. Tidak hanya di Kota Pekanbaru, tapi juga kota lainnya di Riau.
New normal telah menghasilkan new life style bagi warga Kota Pekanbaru dan kota lainnya di Riau. Walaupun tidak sepenuhnya baru, karena tren bersepeda warga kota juga sudah muncul dalam dua dekade belakangan. Namun, tidak dipungkiri di era new normal tren bersepeda warga kota semakin meningkat. Semoga tren positif gaya hidup warga kota ini dapat berlanjut setelah pandemi Covid 19 berakhir.
Pemerintah harus cepat merespon tren gaya hidup ini, yang akan dapat memantik warga lainnya yang akhirnya secara berjemaah menjadi budaya baru di perkotaan, seperti halnya budaya bersepeda di perkotaan negara maju. Bersepeda tidak hanya sekedar berolahraga, gaya, imej, dan citra. Berlomba lomba dan pamer dengan sepeda mahal yang harganya lebih mahal dari harga sepeda motor. Baju, celana, helm dan aksesoris lainnya yang digunakan lebih cenderung eksklusif yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Hanya dapat dinikmati oleh orang-orang berduit tebal; pejabat, elit politik, pengusaha, sebagian dosen berkantong tebal, dan kaum borjuis lainnya.Pengguna sepeda murahan secara rapi dan perlahan mundur teratur, tak berani tampil dan mati kutu.
Mengapa? Karena bersepeda di era new normal ini baru hanya sebatas gaya hidup baru (new life style), belum lagi meningkat menjadi budaya baru (new culture). Walaupun ini sebenarnya sudah ada kemajuan selangkah. Tinggal lagi untuk meningkatkannya menjadi suatu budaya baru seperti halnya di negara maju.
Bersepeda tidak hanya untuk gagah-gagahan, tampil beda, jaga imej, ikut-ikutan, apalagi pamer sepeda, tapi dijadikan kebiasaan sehari hari warga kota. Bersepeda untuk ke tempat kerja (bike to work), pasar, sekolah, kampus, masjid, gereja, dan kebiasaan hidup warga kota lainnya.
Perlunya Contoh Teladan
Peran sentral pemerintah dan stakeholder pembangunan kota sangat dibutuhkan dalam menyambut tren baru di kalangan warga kota. Bagaimana untuk dapat memfasilitasi dan mendorong budaya bersepeda di perkotaan, khususnya di Kota Pekanbaru sebagai barometer pembangunan di Riau.
Pertama, pemerintah kota (Pemko) harus menyediakan jalur bersepeda yang representatif di Kota Pekanbaru. Jalur pesepeda yang nyaman dan aman. Jalur pesepeda yang berkualitas. Tidak dipungkiri jalur pesepeda ini sudah ada dibuat, namun mungkin jumlahnya perlu diperbanyak, disamping kualitasnya yang terus dipertingkatkan, khususnya dari aspek keselamatan (safety) dan kenyamanan. Begitu juga kampus, harus dapat menyediakan jalur pesepeda yang refresentatif bagi civitas akademika.
Selain itu, pemko dan juga pihak kampus harus menyediakan tempat parkir khusus untuk sepeda, sehingga ini juga akan membantu keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna sepeda. Parkir sepeda ini begitu populer dan mudah dijumpai di kota kota negara maju. Jadi, tidak hanya parkir kenderaan bermotor yang kita kenal selama ini.
Negara kita beriklim tropis dan panas, maka harus dapat menciptakan jalur sepeda yang bisa memberikan kenyamanan bagi warga kota. Jalur sepeda yang kiri kanannya terdapat kehijauaan pepohonan dan pemandangan menarik lainnya. Ini merupakan tantangan tersendiri untuk merealisasikannya.
Kedua, walikota dan para stafnya harus dapat memberikan teladan. Tidak hanya sekedar lipstik dan seremonial belaka, seperti yang terjadi selama ini. Kalaupun tidak semua pejabat yang mampu dan bisa melaksanakannya secara berterusan, setidaknya ada di antara para pejabat yang bisa dijadikan teladan di dalam kehidupan seharian. Termasuk juga contoh dan teladan dari aparatur sipil negara (ASN).
Ketiga, teladan dari para wakil rakyat (anggota parlemen/DPRD) yang akan dapat menjadi dorongan dan motivasi bagi masyarakat yang diwakilinya. Ini juga tantangan tersendiri bagi para wakil rakyat.
Keempat, teladan dari para tokoh masyarakat di Kota Pekanbaru. Siapa saja yang sudah ditokohkan oleh warga kota, baik secara informal maupun formal, hendaknya dapat dijadikan teladan dalam memulai dan membudayakan bersepeda. Jika kita sebutkan sebagiannya, seperti: tokoh agama, tokoh lintas etnis (Melayu, Minang, Jawa, Batak, Sunda, Tionghoa, dan etnis lainnya), tokoh budaya dan adat.
Kelima, teladan dari para pengusaha. Ini juga penting, khususnya pengusaha yang mempunyai karyawan yang banyak, akan dapat disosialisasikan kepada para karyawan. Setidaknya para pengusaha pro dan peduli kepada budaya bersepeda. Jika dia turut langsung mempraktekkan dalam kehidupan seharian, itu akan lebih bagus. Bahkan para pengusaha bisa memberikan insentif kepada para karyawan yang bersepeda ke tempat kerja.
Keenam, teladan dari para guru dan dosen. Sebagaimana dahulunya, kebiasaan bersepeda ke sekolah bisa untuk dibudayakan kembali, termasuk bersepeda ke kampus. Tentu disini teladan dan contoh nyata oleh para guru dan dosen, khususnya kepala sekolah dan para rektor serta direktur Perguruan Tinggi mempunyai peran sentral. Sebagai contoh, di banyak kampus di negara maju, seperti National University of Singapore (NUS), atau Nanyang Technology University (NTU) tidak dibolehkannya mahasiswa menggunakan sepeda motor ke kampus. Di sebagian kampus di Tanah Air, juga mengenakan bayaran masuk kampus bagi pengguna sepeda motor, dan tidak dikenakan biaya untuk pesepeda. Ini namanya insentif dan disinsentif di dalam konteks mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan (sustainable urban development). Bagaimana dengan kampus yang ada di Pekanbaru? Apakah ada insentif untuk pengguna sepeda ke kampus, dan sebaliknya pemberian disinsentif bagi pengguna kendaraan bermotor? Perlu untuk direnungkan oleh para pimpinan Perguruan Tinggi ke depannya, dalam rangka turut serta membudayakan bersepeda ke kampus. Semoga. Wallahu a’lam.***
Penulis | : | Dr. Apriyan D Rakhmat, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Riau Pekanbaru |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |