ilustrasi
|
JAKARTA (CAKAPLAH) - Pemerintah diminta untuk meninjau ulang kebijakan pembukaan sekolah di zona kuning, melainkan diminta fokus pada pengendalian penyebaran Covid-19 terlebih dahulu. Jika hal itu telah berhasil dilakukan, barulah kebijakan pembukaan sekolah dianggap tepat.
Demikian diungkapkan Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Bramantyo Suwondo, sebagai respon dari pengumuman Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang memperbolehkan sekolah di zona hijau dan kuning untuk kembali dibuka melaksanakan pembelajaran tatap muka. Kebijakan ini berdasarkan revisi surat keputusan bersama (SKB) empat menteri, yakni Mendikbud, Menteri Agama (Menag), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Kesehatan (Menkes).
"Pemerintah seharusnya fokus dalam mengendalikan penyebaran Covid-19 terlebih dahulu, agar situasi aman dapat tercapai dan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka bisa kembali dilakukan," ungkap Bramantyo dalam keterangan persnya, Sabtu (8/8/2020) di Jakarta.
Hal itu diungkapkannya, dengan alasan perkantoran yang diharapkan bisa menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin saja justru melahirkan klaster baru. Sehingga bagaimana dengan lingkungan sekolah yang dinilai jauh lebih beresiko dibandingkan dengan lingkungan perkantoran, dimana para pekerja terdiri dari kelompok orang dewasa.
"Keputusan ini sangat berisiko. Perbandingannya perkantoran saja yang para pekerjanya adalah orang dewasa, masih bisa menjadi kluster baru. Bagaimana dengan sekolah yang dihuni oleh anak-anak? Harusnya, pemerintah bekerja lebih cepat dan tepat agar jumlah zona hijau semakin banyak, bukannya justru memaksakan relaksasi pembukaan sekolah di zona kuning,” tegasnya.
Menurut data dari Satgas Penanganan Covid-19, proporsi anak Indonesia usia 6-18 tahun yang menderita Covid-19 sebanyak 6,8 persen, dengan tingkat kematian 1,1 persen. Secara global, baru-baru ini WHO mengumumkan proporsi orang berusia 15-24 yang menderita Covid-19 naik dari 4,5 persen pada Februari menjadi 15 persen pada Juli 2020.
Ketua Satgas Covid-19 IDAI bahkan mengatakan, ada 8.000-an anak yang terkonfirmasi positif Covid-19, dengan mayoritas tertular dari orang dewasa di sekitarnya. Artinya, anak-anak usia sekolah pun sangat rentan tertular Covid-19.
Bramantyo menyayangkan revisi SKB 4 Menteri dilaksanakan tanpa evaluasi yang jelas terhadap sekolah di zona hijau yang telah menjalankan KBM tatap muka terlebih dahulu. Nyatanya, di zona hijau pun KBM tatap muka masih berkendala dan berisiko tinggi. Di Kalimantan Barat, KBM tatap muka akhirnya ditunda karena tiga orang guru dinyatakan positif Covid-19.
Di Sumatera Barat, seorang guru dan operator sekolah diketahui positif setelah sekolah terlanjur dibuka, akibatnya sekolah pun ditutup kembali. Di Bengkulu, 17 orang anak menderita Covid-19 karena tertular dari orang tua dan teman, sehingga sekolah diliburkan. Zona hijau di Bengkulu yang membuka sekolah pada 20 Juli 2020 pun berubah menjadi zona merah hanya dalam dua pekan.
Bramantyo mengungkapkan pengumuman revisi SKB 4 Menteri kemarin meninggalkan banyak kejanggalan dan pertanyaan.
“Contohnya, jarak tempuh dan transportasi siswa serta guru dari rumah ke sekolah tidak diatur. Apakah yang tinggal di zona merah atau oranye tetap boleh masuk ke sekolah di zona kuning? Apakah boleh naik kendaraan umum? Apakah akan dilaksanakan tes massal sebelum sekolah dibuka? Zonasi Covid-19 ini bersifat sangat dinamis dan selama tidak ada pembatasan mobilitas, risiko penyebaran akan terus meningkat. Jumlah zona kuning dan hijau dalam paparan Mendikbud dan Ketua BNPB pada konferensi kemarin saja berbeda. Seharusnya pemerintah mengevaluasi sekolah di zona hijau terlebih dahulu, kemudian mengidentifikasi kendala dan praktik baiknya, sebelum memutuskan relaksasi ini,” ujar Bramantyo.
Ia menyadari bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) hingga kini masih belum dilaksanakan secara optimal, banyak permasalahan yang muncul mulai dari beban tugas siswa hingga keterbatasan akses dan kemampuan finansial untuk mendukung PJJ. Namun demikian, pembukaan sekolah kembali bukan solusi ideal saat ini dan tidak boleh diputuskan dengan buru-buru.
“Jika permasalahan utamanya adalah PJJ, sebaiknya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih untuk membantu PJJ. Cukup banyak dari anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejumlah Rp 695,2 triliun itu yang belum terserap secara maksimal. Pemerintah bisa mengalokasikan sebagian anggaran tersebut untuk mendukung pendidikan di masa pandemi dan meningkatkan kualitas PJJ," terangnya.
Penulis | : | Edyson |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Nasional, Pendidikan |