PEKANBARU (CAKAPLAH) - Peraturan Pemerintah (PP) No 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang dimotori oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini masih menuai polemik.
Tak hanya para pelaku usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Perkebunan Kelapa Sawit saja yang merasa dirugikan, namun Kementerian Industri RI merilis dampak besar perekonomian dan sosial jika aturan tersebut tetap dipaksakan.
Dari data Kementerian Perindustrian, total investasi industri hulu dan hilir usaha kehutanan dan investasi industri hulu dan hilir usaha perkebunan dibiayai oleh pinjaman dalam negeri senilai Rp83,75 triliun dan luar negeri senilai Rp193,57 triliun
Hasil dari investasi itu, kedua sektor ini bisa memberikan kontribusi langsung dan tak langsung bagi negara. Seperti industri HTI atau Pulp (kertas) memberikan kontribusi berupa Pendapatan Negara Berupa Pajak (PNBP) yang mencapai Rp42,5 Triliun. Selain itu, HTI juga berkontribusi memberikan efek ganda pada karyawan dan kegiatan ekonomi masyarakat Rp36,3 Triliun dan investasi usaha termasuk UMKM sebesar Rp442 Triliun.
Begitu juga industri perkebunan kelapa sawit yang menyumbang Rp79,5 triliun untuk PNBP, Rp9,4 triliun untuk efek ganda pada karyawan dan kegiatan ekonomi masyarakat dan Rp112 triliun bagi investasi usaha termasuk UMKM di Indonesia.
Direktur Impartial Mediator Network, Ahmad Zazali mengatakan, dalam forum diskusi yang dihadiri Kementerian Perindustrian dan Badan Restorasi Gambut (BRG) 18 Mei lalu, memang perlu ada pembahasan serius oleh pemerintah terkait PP 57 2016 ini.
Menurut mantan aktivis lingkungan ini, ada beberapa hal yang harus dijawab oleh pemerintah dan pemangku kepentingan sebelum PP ini diterapkan. Salah satunya, dampak yang terjadi, terutama petani dan pekerja yang bakal kehilangan pekerjaan jika PP ini diberlakukan.
"Harus ada mitigasi dampak, seperti para petani dan pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan, setelah tidak lagi bertani dan di PHK, apa pekerjaan yang disiapkan oleh pemerintah, kalau tidak akan jadi masalah baru, pengangguran akan bertambah," ucapnya.
Selanjutnya kata Zazali, program tata kelola gambut harus bisa menjamin bencana kabut asap yang terjadi 2015 lalu di Indonesia tidak terjadi lagi. "Apakah ada jaminan PP ini berlaku bencana asap tidak terjadi lagi kedepannya," pungkasnya.
Yang paling krusial dari pemberlakuan PP tersebut katanya, penyediaan lahan pengganti bagi perusahaan ataupun petani. "Ini harus terjawab dulu, kalau lahan baru ini digarap tentu bisa terjadi lagi aktifitas ilegal logging. Kompensasinya juga, itu harus dihitung secara matang. Jika itu terjawab silahkan berlakukan PP gambut itu, " tukasnya.
Disisi lain, potensi kerugian cukup besar tengah menanti jika PP ini diberlakukan. "Potensi kredit macet dalam dan luar negeri yang dapat menurunkan rating investasi kearah negatif bisa mencapai Rp277 triliun," ungkap Ahmad Zazali saat berbincang dengan CAKAPLAH.com, Rabu (24/5/2017).
Disamping itu potensi dan ancaman PHK juga menanti 600 ribu pekerja sebagai dampak langsung aturan ini. Begitu juga dengan dampak tak langsung yang dirasakan pelaku UMKM yang selama ini hidup dari industri Pulp dan Kelapa Sawit yang berjumlah 6,2 juta orang.
"Dan lebih 20 juta orang yang menjadi tanggungan pekerja akan ikut terkena dampak dari kebijakan ini. Begitu juga dampak kerugian investasi yang didalamnya juga terdapat UMKM bisa mencapai Rp554 Triliun. Dampak ini tentunya tersebab lebih 50 persen pasokan bahan baku kedua industri ini hilang, perusahaan memangkas biaya operasional karena merugi, dan jumlah karyawan pasti akan dikurangi," tandasnya.
Belum cukup sampai disitu kata Ahmad Zazali, Indonesia harus siap kehilangan Rp371 triliun pendapatan dari nilai ekspor kertas dan kelapa sawit yang selama ini memberikan kontribusi besar kepada negara.
"Dampak lain juga berkurangnya nilai ekspor kedua industri ini yang nilai cukup besar, dimana tahun lalu itu mencapai Rp371,5 triliun," tegasnya.
Zazali mengakui, bencana kabut asap disejumlah daerah di Kalimantan dan Sumatera tahun 2015 lalu memang sangat parah. Tidak hanya melumpuhkan ekonomi, juga mencatat jatuhnya korban jiwa akibat terpapar asap.
Dari catatannya, kerugian ?nansial akibat bencana asap 2015 mencapai Rp221 triliun atau setara 1,5% PDB Nasional (Juni - Okt 2015). Sementara dari segi korban, 24 orang meninggal, 600 ribu jiwa ISPA serta sekolah di Tujuh Provinsi terpaksa diliburkan.
"Dari 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar hanya 33 persen gambut,67 mineral," tukasnya.
Sementara itu, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto dalam diskusi beberapa waktu lalu menyebut, industri kertas dan industry sawit merupakan dua sektor yang terdampak langsung dari pemberlakuan PP Gambut dan peraturan turunannya. Padahal, dua sektor ini memberikan kontribusi besar pada devisa dan penyediaan lapangan kerja.
Karena itu, Kementerian Perindustrian memberikan beberapa masukan kepada Kementerian LHK untuk bisa jadi bahan pertimbangan, terutama dalam kebijakan yang dibutuhkan dalam menyelamatkan pasokan bahan baku sektor industri kertas dan hilir kelapa sawit
1.Pemegang izin HTI dan Kebun Kelapa Sawit diatas areal gambut masih diizinkan untuk melakukan aktifitas budidaya dengan syarat mengimplementasikan/menerapkan teknologi terbaru atas tata kelola air gambut yang meminimalisasi emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan.
2. Revisi PP nomor 71 tahun 2014 jo PP nomor 57 tahun 2016, Pasal 9 ayat (3) menjadi "Menteri wajib menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut seluas 30% dari luasan setiap kubah gambut yang letaknya dimulai dari Puncak Kubah Gambut".
• Pasal 9 ayat (4) agar dihapuskan, telah diatur di usulan Pasal 9 ayat (3) . Pasal 23 ayat (3) menjadi "Ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila tinggi muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,8 (nol koma delapan) meter di bawah permukaan gambut pada titik penataan,"
3. Mengevaluasi seperangkat Peraturan Menteri LHK yang tidak sejalan dengan PP yang telah diterbitkan
4. Implementasi perubahan fungsi budidaya menjadi fungsi lindung gambut agar dilaksanakan setelah dapat dipastikan tersedia 'Land Swap' yang telah terverifikasi.
5. Regulasi terkait lahan gambut ini hendaknya tidak bersifat retroaktif dan dapat diterapkan hanya untuk para investor baru.
Jika sudah begini, pelaku industri terntu berharap dari sikap bijak dari pemerintah dalam menyikapi pro kontra PP gambut ini. Apakah memenuhi permintaan NGO dan pencitraan di dunia internasional dalam rangka restorasi gambut, atau sebaliknya.
Editor | : | Hadi |
Kategori | : | Lingkungan |