PEKANBARU (CAKAPLAH) - Dalam kegiatan acara Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Universitas Andalas Provinsi Sumatera Barat dan Forum Transparansi untuk Anggaran (Fitra) Riau, Kamis (27/8/2020) membahas berbagai permasalahan politik dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Riau tahun 2018 lalu.
FGD tersebut adalah merupakan salah satu rangkaian kegiatan Riset Anti-Corruption Summit tahun 2020 yang bertema “Analisis Biaya Politik dan Relasi Klientelistik dalam Pilkada: Studi Kasus Pilgub Provinsi Riau Tahun 2018”.
Ichsan, dosen Fisip Universitas Andalas menjelaskan dalam FGD tersebut berdasarkan hasil studi yang dilakukannya diketahui biaya politik yang dikeluarkan tergolong sangat besar, diantaranya untuk mahar politik. Tak main-main angka untuk mahar politik sendiri mencapai 50 persen.
"Konsep itu abu-abu, bisa jadi lebih tinggi jika peserta maju dari non partai dan juga bisa lebih terjangkau ketika maju dari partai," cakapnya, Kamis (27/08/2020).
Jika mahar terlalu tinggi hal tersebut akan tergolong sangat berbahaya, Ichan menegaskan jika mahar partai terlalu tinggi dan ketika calon kepala daerah tersebut juga terpilih maka akan timbul kepemerintahan yang cenderung akan melakukan korupsi.
Lanjut Ichsan saat ini permasalahan tersebar ada di partai politik, ia menjelaskan jika mekanisme kandidasi dilakukan secara transfusional maka akan menjebak kepala daerah terpilih nantinya untuk berperilaku koruptif. Dari itu ia meminta agar partai politik mau untuk terbuka dan lebih mendengar suara masyarakat.
"Beberapa persoalan di partai politik, yang pertama mekanisme kandidasi kepala daerah ini ditentukan 100 persen oleh pengurus pusat dan itu akan menjadi persoalan karena menyampingkan aspirasi. Dan di beberapa kasus pusat melakukan intervensi, dan jika hal tersebut dianggap demokratis dengan mengabaikan aspirasi daerah kenapa ikut partai politik. Terlalu kuat intervensi pusat dalam mekanisme kandidasi justru akan melanggengkan kasus korupsi," jelasnya.
Selanjutnya yang kedua, dalam mekanisme kandidasi di Indonesia tidak dilakukan secara terstruktur. Contohnya adalah Barack Obama yang dicalonkan oleh Partai Demokrat pada Pilpres Amerika beberapa tahun yang lalu, secara tiba-tiba Obama dicalonkan menjadi Capres melalui mekanisme konferensi.
"Dari situ orang bisa membandingkan sosok terbaik di Partai Demokrat, begitu juga dengan Donald Trump yang dari Partai Republik. Di Indonesia tidak, tiba-tiba ada tokoh yang tidak pernah didengar tetapi maju. Padahal selama ini tidak ada terdengar rekam jejaknya dan juga termasuk dalam pengalaman birokrasi," bebernya.
Dari itu ia berharap pucuk kepemimpinan dipilih dengan tidak melalui proses yang tertutup, dan dari dua persoalan mendasar tersebut dapat segera diselesaikan oleh partai politik.