Jakarta (CAKAPLAH) - Ahli epidemiologi (wabah) Pandu Riono meragukan sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah masih perlu untuk tetap diwaspadai.
Ia menyebut banyak daerah yang ditetapkan sebagai zonasi hijau bukan karena kasus covid-19 rendah, melainkan karena terbatasnya testing massal.
Ia menyebut sebuah wilayah administratif hanya dapat dinyatakan zona hijau jika telah melakukan testing massal dan terbukti angka positif memang rendah. Namun, jika belum dilakukan testing, daerah tersebut tak dapat mengklaim menjadi zona hijau.
"Zonasi tidak akurat, jangan percaya," katanya diskusi daring 'Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi COVID-19', Sabtu (29/8/2020).
Lebih lanjut, ia berarguman bahwa zonasi tidak dapat digunakan sebagai dasar pemerintah membuka kegiatan ekonomi sosial sebuah daerah, apalagi sekolah. Sebab, data tersebut tidak akurat.
"Kenapa tidak ada kasus, ini dipengaruhi testing. Testing rendah tidak relevan dan dipakai oleh policy maker (pemerintah) untuk membuka kegiatan sosial ekonomi. Yang lebih parah mau membuka sekolah," terangnya.
Pandu mengklaim bahwa dari data pergerakan atau mobilitas penduduk yang bersumber dari Facebook Disease Prevention Map menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Namun, ia tak menjabarkan data lebih rinci dari tingginya pergerakan masyarakat yang ia maksud.
Lebih lanjut, Pandu menilai bahwa akan lebih bijak jika pemerintah menegakkan PSBB berbasis komunitas daripada menggelontorkan dana untuk program-program yang tak terukur.
"Lebih efektif kalau PSBB berbasis komunitas karena kekuatan kita ada di komunitas. Ketahanan sosial masyarakat jauh lebuh besar nilainya dibandingkan uang pemerintah," katanya.
Namun, ia setuju kalau pengendalian virus corona tak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi bergerak dua arah dengan masyarakat.
Pengendalian penyebaran Covid-19 hanya akan efektif jika dikerjakan oleh seluruh komponen masyarakat. Cara yang efektif pun tak sulit atau mahal, hanya perlu disiplin menegakkan 3M; mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
Jika tidak fokus, ia memprediksikan puncak kasus virus corona RI baru akan terjadi pada awal semester pertama hingga pertengahan 2021. Sementara, tingkat penularan lalu baru akan mulai melandai pada akhir 2021 hingga 2022.
Menurutnya, proyeksi tersebut memungkinkan jika penanganan pandemi virus corona masih lambat seperti saat ini, karena melihat kurva penyebaran sejak awal Maret, belum ada tanda-tanda kurva akan melandai.
"Kecepatan penularan dilihat bertahap, dari beta statistik percepatan transmisi, wow kaget. Kalau tidak melakukan penanganan secara serius, kemungkinan akan terus sampai 2021, pertengahan atau awal semester pertama baru sampai puncaknya," kata dia.
Editor | : | Jef Syahrul |
Sumber | : | cnnindonesia.com |
Kategori | : | Nasional |