DR. drh. H. Chaidir, MM
|
IBARAT pertandingan sepakbola, Sri Barat membuat pertandingan jadi seru dan menarik. Penonton semakin bergairah. Begitulah ibaratnya. Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di sembilan kabupaten dan kota di Riau, awalnya terasa monoton. Menjemukan. Biasa-biasa saja. Isunya belum beranjak, masih seputar politik transaksional. Pemainnya masih “4L” (lu lagi lu lagi). Dia ke dia, macam tak ada yang lain. Publik sudah tahu track record para bakal calon.
Sri Barat membuat peta politik berubah. PKB misalnya, langsung putar haluan, dengan pertimbangan Sri Barat adalah kader murni mereka. Apapun pertimbangannya, mendukung atau tidak, mengalihkan dukungan atau tidak, semua sah-sah saja. Sebelum “janur melengkung” (penetapan KPU), semua kemungkinan masih bisa terjadi, termasuk gonta-ganti pasangan.
Munculnya Sri Barat yang lebih populer dengan nama panggung Iyeth Bustami sebagai bakal calon wakil bupati Bengkalis mendampingi bakal calon Bupati Kaderismanto, yang diusung oleh PDIP dan PKB terus terang sedikit-banyak mengejutkan. Siapa sangka Iyeth Bustami serius terjun ke panggung politik dari panggung seni yang selama ini digelutinya.
Iyeth Bustami, siapa tak kenal di rantau ini, bahkan sampai ke semenanjung di seberang sana Iyeth Bustami sangat populer. Wajar. Sebab Iyeth Bustami adalah selebritis, seorang artis penyanyi Melayu-dangdut papan atas, dan khusus dalam genre musik pop Melayu, Iyeth Bustami sulit dicari tandingannya. Iyeth Bustami telah memberi warna tersendiri dalam dunia panggung musik Melayu-dangdut, ia terkenal dengan suara khas cengkok Melayunya. Namanya semakin melejit sejak menyanyikan lagu Laksmana Raja di Laut pada tahun 2003. Begitu populernya lagu ini, Iyeth Bustami dijuluki Queen of Dangdut Melayu. Ahai..
Keberadaan artis di panggung politik? Biasa. Sri Barat tidak sendiri. Sebelumnya sudah ada beberapa artis yang menerjuni panggung politik dan sukses memenangkan pemilihan, sebut saja misalnya Rano Karno (Wagub Banten), Dede Yusuf (Wagub Jabar), Zumi Yola (Gubernur Jambi), Deddy Miswar (Wagub Jabar), dan Pasha Ungu (nama asli Sigit Purnomo Syamsuddin Said Wakil Wali Kota Palu). Pasha Ungu dalam pilkada serentak 2020 ini ikut bertarung dalam posisi Calon Wagub Sulawesi Tengah mendampingi cagub Anwar Hafid. Artis Ibu Kota lainnya Aldi Taher maju sebagai calon Wagub Sulawesi Tengah digandeng oleh Wakil Gubernur Sulteng Rusli Baco Daeng Palabbi (yang sekarang maju sebagai calon gubernur). Ada pula pasangan Yesi Larya Lianti - Adly Fairuz (artis) untuk Pilkada Kabupaten Karawang dan pasangan Nia Agustina Bachtiar - Lucky Hakim (artis) di Pilkada Kabupaten Indramayu.
Diberitakan beberapa media, Raffi Ahmad juga digoda untuk maju di Tangerang Selatan, Banten mendampingi Calon Walikota Siti Nur Azizah. Artis Syahrul Gunawan maju sebagai bakal calon wakil bupati Bandung. Artis David Chalik ikut kontestasi Pilkada Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Ahmad Dhani, pentolan Dewa 19 konon maju di Pilkada Kota Surabaya.
Wah. Pokoknya seru. Beberapa kalangan memandang sebelah mata terhadap artis yang terjun ke panggung politik. Namun demikian tidak ada yang bisa menghalangi. Artis ganti panggung karena bertemunya dua kehendak. Kehendak pertama, artisnya mau; kehendak kedua, parpolnya mau. Habis perkara. Tidak ada parpol yang tidak ingin memenangkan kontestasi pilkada. Inilah alasan utama. Artis memiliki popularitas sehingga relatif mudah meraup dukungan pemilih. Dan ini menjanjikan. Beberapa pilkada sebelumnya membuktikan artis yang terpilih adalah mereka yang memiliki nama mentereng atau masuk jajaran papan atas selebritas. Seorang artis memiliki ketenaran. Wajah mereka sering tampil di televisi dan layar lebar. Dan jangan lupa, para selebritas ini adalah kekasih media. Diam jadi berita melangkah jadi berita.
Namun tetap saja ini menjadi fenomena. Mengapa artis selebritis tertarik panggung politik, tidakkah panggung seni artis berbasis talenta lebih indah dan lebih glamour? Tidakkah selebritis mencium aroma sangit panggung politik yang menyengat hidung karena seringkali terpapar virus koruptif dan kolutif? Atau tergiur menggenggam pedang kekuasaan?
Bila dibaca di media, alasan para artis tersebut ikut kontestasi pilkada relatif seirama, klasik, yakni ingin menyumbangkan tenaga dan pikiran membangun kampung halaman. Iyeth misalnya menyebut, salah satu motivasinya adalah ingin mengembangkan Bengkalis khususnya dalam melestarikan kesenian tradisional Melayu. Iyeth agaknya sependapat dengan pemegang Nobel Sastra dari Irlandia, William Butler Yeats. Sebuah negeri betapa makmur dan rapi pun sistem pemerintahannya, akan terasa gersang dan hambar tanpa kehadiran seni. Sebab seni memperhalus akal budi. Yeats mencita-citakan negeri yang tersembuhkan, sebuah negeri yang manis dengan lagu, puisi dan balada. Dan Bengkalis? Bengkalis ‘Negeri Junjungan’ itu sedang dirundung malang ketika satu demi satu anak negerinya dimangsa oleh pembangunan yang diciptakannya sendiri. Iyeth galau melihat kampung halamannya makin teruk akibat salah urus. Dia tidak mau berpangku tangan menikmati zona nyaman sebagai artis.
Memenangkan kontestasi pasti berat, yang tidak kalah beratnya adalah menghadapi tantangan pasca pilkada. Di era normal saja sudah berat apalagi dalam era new normal, keadaan menjadi lebih berat. Sebab, Pandemi belum usai. Ikhtiar peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat terbatas. Kita berada pula dalam era resesi. Ekonomi terpuruk. Pertumbuhan ekonomi minus, daya beli menurun, produksi menurun, PHK, dan seterusnya.
Bagaimana peluang Iyeth bersama Kade pasangannya? Bermodal popularitasnya, Iyeth berpeluang menggarap dukungan milenial, emak-emak, dan umumnya masyarakat negeri junjungan itu, seperti diberitakan media. Sri Barat kini menjadi idola dan perbincangan hangat saban hari. Sri Barat belum tentu mampu memenangkan timnya, tapi tak bisa dipungkiri setidaknya ia telah menghadirkan pesona dan telah mengangkat semangat tim untuk memenangkan pertandingan. Dan penonton kini bersorak-sorai. ***
Penulis | : | DR. drh. H. Chaidir, MM |
Editor | : | Ali Azumar |
Kategori | : | Cakap Rakyat |