SETENGAH abad lampau, adagium ini viral. Viralnya bukan di media sosial (mana ada medsos berbasis IT ketika itu), melainkan dalam bentuk lain. Pada masa itu seringkali para pembicara dalam berbagai seminar atau para petinggi dalam pidatonya menyebut jampi-jampi sakti Herakleitos: “Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.” Artinya, perubahan itu tak pernah berhenti, mengalir seperti air sungai. Kita tidak akan pernah menyentuh air yang sama pada sungai yang sama untuk kedua kalinya, karena airnya terus mengalir dan berlalu.
Tesis Herakleitos itu kita alami sekarang. Masa empat bulan (Maret-April-Mei-Juni) pandemi COVID-19 di negeri ini, membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan itu bisa jadi permanen, karena menyangkut perubahan perilaku masyarakat secara umum. Kita dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan baru yang senantiasa berubah.
Pandemi Covid-19 telah menghadirkan kesengsaraan di tengah masyarakat; sosial, ekonomi, psikologis dan sebagainya. Banyak yang kehilangan orang-orang tercinta dan tulang punggung keluarga. Kehidupan susah karena terbatasnya gerak langkah, produktivitas masyarakat menurun. Resesi ekonomi tak terelakkan. Pertumbuhan ekonomi minus dalam jangka waktu yang panjang. Tidak ada investasi, total produksi domestik menurun, daya beli menurun, bahkan beberapa industri menurunkan skala usahanya, akibatnya terjadi PHK. Dan berbagai kesengsaraan lainnya seperti tak bisa saling mengunjungi di antara kerabat dekat terutama yang tinggal di lain kota, apalagi di lain negara.
Namun kesengsaraan itu telah menyadarkan kita bahwa manusia itu oleh Sang Pencipta dibedakan dari hewan. Manusia diberi akal budi, manusia diciptakan menjadi makhluk pemikir, homo sapiens. Sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Di tengah kesengsaraan sosial itu kini masyarakat tumbuh menjadi masyarakat kreatif menggunakan akal pikirannya.
Kesengsaraan sosial yang terjadi menyebabkan kita berpikir keras. Bahwa komunikasi misalnya, tidak melulu harus bertatap muka, komunikasi bisa virtual. Seminar-seminar nasional yang dulu menghabiskan biaya besar untuk mendatangkan pembicara handal, biaya akomodasi dan konsumsi peserta ternyata bisa disiasati dengan webinar. Dengan webinar, biaya sangat hemat. Orang-orang yang belum move-on akan mengatakan webinar tidak efektif. Tak masalah, lambat laun akan menumbuhkan kesadaran baru.
Banyak pegawai yang ternyata bisa bekerja dari rumah (work from home), berapa banyak biaya BBM dan biaya makan siang yang bisa dihemat kantor. Berapa banyak polusi udara berkurang karena berkurangnya kendaraan di jalan raya. Orangtua yang selama ini menyerahkan bulat-bulat pendidikan anaknya kepada guru di sekolah (dan marah bila guru menjentik telinga anaknya yang bandel), sekarang harus menyisihkan waktu untuk mendampingi buah hatinya belajar di rumah (dan berlatih sabar).
Orang-orang tua dipaksa untuk memahami IT, tidak hanya untuk kepentingan pendidikan anak-anaknya, tetapi juga untuk keperluan komunikasi dan keperluan lainnya. Berapa banyak uang belanja yang bisa dihemat karena berkurangnya frekuensi kumpul-kumpul di kedai kopi. Budaya hidup stay home (tinggal di rumah, hanya keluar bila ada hal-hal yang sangat perlu) membuat keluarga hidup lebih hemat.
Banyak ibu rumah tangga yang kreatif memanfaatkan industri kuliner online. Semula mereka tidak menyadari bahwa mereka ternyata punya naluri memasak menyiapkan berbagai menu yang mereka bisa kirim melalui jasa go-food dan go-send. Jasa go-food dan go-send pun bertumbuh dalam simbiose mutualistik dengan ibu-ibu yang mendadak berkembang menjadi pebisnis baru kuliner online.
Banyak ibu-ibu yang terkejut dengan capaian bisnis kuliner online mereka sendiri, selama ini mereka rupanya terperangkap dalam sebuah kwadran Johari Window, “mereka tidak tahu bahwa mereka tahu”. Sekarang kesengsaraan sosial membuat mereka menyadari potensi mereka yang selama ini tersembunyi di dasar sungai. Sekarang mereka sontak masuk ke kwadran pertama, “mereka tahu bahwa mereka tahu”.
Tidak hanya ibu-ibu yang jadi pebisnis baru, makanan-makanan tradisional pun kini memperoleh panggung. Kejenuhan terhadap makanan-makanan cepat saji membuat masyarakat mencari sesuatu yang baru mencoba menu-menu tradisional yang ternyata juga cukup menjanjikan.
Pedagang-pedang sayur dan ikan di pasar-pasar rakyat pun kini sudah mulai memanfaatkan era digital. Selama ini mereka hanya diam di tempat menjaga lapaknya, sekarang mereka proaktif menghubungi ibu-ibu yang menjadi pelanggannya. Mereka berani menawarkan jasa untuk mengantarkan belanjaan sayur mayur ke rumah. Harga tetap normal. Ibu-ibu yang stay home hanya menambah sedikit pengganti minyak dan tip seribu dua ribu rupiah. Ibu-ibu tidak perlu ke pasar, otomatis terhindar dari kerumunan.
Agaknya inilah salah satu rahasia di balik kesengsaraan sosial yang mendera. Kita ternyata makhluk sempurna yang memiliki akal budi dan kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Kita tak mungkin menyetop air sungai mengalir. Kitalah yang harus akomodatif terhadap perubahan itu. Dan kita ternyata bisa kreatif, inovatif dan tetap produktif. Jangan habiskan waktu dan energi untuk cari kambing hitam. Suai? Suailah.**
Penulis | : | Dr. drh. H. Chaidir, MM |
Editor | : | Ali Azumar |
Kategori | : | Cakap Rakyat |