Ilustrasi buzzer. (Istockphoto/ijeab)
|
(CAKAPLAH) - Pengamat media dari Astramaya, Tomi Satryatomo, menilai pelaksanaan kampanye daring dalam Pilkada Serentak 2020 berpeluang menyuburkan aktivitas buzzer untuk memberikan informasi yang bias.
Buzzer itu bisa merupakan kelompok yang dibayar atau simpatisan pasangan calon (paslon).
Bias informasi ini dikhawatirkan akan membuat perang informasi di antara paslon, dan juga memberikan informasi tak akurat bagi masyarakat, sehingga akan berdampak pada perolehan suara dalam proses pemilihan pada 9 Desember mendatang.
"Karena kampanye terbuka secara tatap muka dilarang, karena merupakan pelanggaran pemilu. Maka kemudian aktivitas buzzer bisa diperkirakan akan semakin besar. Karena masing-masing calon ini pasti akan pakai buzzer untuk menyuarakan kampanyenya," kata Tomi dalam kajian online LP3ES, Rabu (30/9).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan peraturan anyar yang termaktub dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam Virus Covid-19. Dalam beleid itu KPU membatasi kuota maksimal 50 orang dalam acara kampanye atau pertemuan terbuka paslon.
Oleh karenanya, PKPU yang memiliki sisi positif untuk menekan laju penyebaran Covid-19 ini juga dikhawatirkan memberikan efek samping terhadap pelaksanaan kampanye di tanah air. Menurut Tomi, buzzer yang terbiasa 'hidup' dalam isu-isu nasional, akan semakin berkembang sistematis dan masif hingga menjarah isu daerah.
"Dampak buzzing itu kan tidak baik, dalam pengertian ketika itu menerpa orang-orang tidak punya kemampuan berpikir kritis. Maka kemudian mereka menjadi terbiaskan, mereka tidak lagi bisa memilih berdasarkan akal sehat, tapi berdasarkan informasi bias yang masuk ke mereka," jelas Tomi.
Lebih lanjut, Tomi juga mengungkapkan hasil analisis media sosial dan online yang dilakukan oleh Astramaya dalam kurun waktu sebulan dengan kata pencarian Pilkada di Twitter dan Instagram. Hasilnya, muncul pertarungan narasi antara tunda pilkada serentak 2020 dan lanjutkan pilkada oleh publik.
Terhitung, sebanyak 32 persen datang dari kelompok yang menginginkan pilkada ditunda dan 55 persen lainnya sepakat untuk melanjutkan pilkada. Kendati demikian, ia juga menilai akun-akun yang mendukung pilkada mayoritas datang dari akun non-organik atau akun 'bodong' yang tidak memiliki identitas jelas dalam kepemilikan sosial medianya.
"Ada upaya cukup sistematis dan masif untuk merekayasa opini publik tentang melanjutkan pilkada di tengah pandemi," kata dia.
Oleh sebab itu, Tomi mengajak publik untuk serius dalam mengawal pesta rakyat mendatang. Menurutnya seluruh pihak harus berpartisipasi aktif dalam momen ini, sebab pilkada tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Tomi bilang, dalam pilkada ini ada jutaan nyawa yang dipertaruhkan demi menetapkan seseorang duduk di kursi kepala daerah.
"Mengawasi dan mengkritisi karena bukan lagi soal politik siapa yg terpilih. tapi soal kesehatan masyarakatnya atau kasarnya siapa yang akan mati kalau penyebaran semakin luas kalau dipicu kegiatan dalam pilkada," pungkasnya.
Pemerintah telah resmi memutuskan Pilkada serentak 2020 tetap digelar di tengah pandemi. Sebanyak 270 wilayah akan mengikuti gelaran pemilu lokal lima tahunan tersebut pada 9 Desember mendatang.
Merespons itu, Kapolri Jenderal Idham Aziz telah menerbitkan Maklumat terkait kepatuhan terhadap protokol pencegahan virus Covid-19 dalam melaksanakan Pilkada Serentak 2020. Salah satu isi maklumat adalah setiap anggota kepolisian bisa menindak pihak yang melanggar protokol tersebut.