Rahmad Rahim
|
Suatu hari di pertengahan Juni 2020, di Gedung DPRD Provinsi Riau saya berdiskusi dengan salah satu pimpinan DPRD terkait Policy Paper yang sedang saya susun untuk memenuhi persyaratan Bappenas, terkait uji kompetensi menjadi Perencana Ahli Utama. Di sela-sela diskusi, saya iseng bertanya, di regulasi mana ada yang menyatakan bahwa DPRD itu Lembaga Legislatif? Sepanjang regulasi yang saya baca, baik itu Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan DPRD adalah Lembaga Legislatif.
Selanjutnya di dalam UUD 1945 disebutkan, bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya terdapat 1 lembaga legislatif, yaitu DPR RI. Merujuk kepada Pasal (322) Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MD3, Hak Anggota DPRD (Provinsi) adalah sebagai berikut: (a) mengajukan rancangan Peraturan Daerah Provinsi; (b) mengajukan pertanyaan; (c) menyampaikan usul dan pendapat; (d) memilih dan dipilih; (e) membela diri; (f) imunitas; (g) mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; (h) protokoler; dan (i) keuangan dan administratif.
Jika dikembalikan kepada definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa Legislatif itu adalah membuat Undang-Undang, maka kewenangan ini secara murni hanya dimiliki oleh Lembaga DPR RI, bukan DPRD. DPRD tidak bisa berdiri sendiri dalam menetapkan regulasi, kecuali bersama sama Pemerintah Daerah.
Di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal (1) ayat 4 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pada Pasal 95 ayat (1) dinyatakan DPRD Provinsi merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi. Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat, untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Peraturan Daerah (Perda), Anggaran dan Pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan Kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan Kepala Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.
Fungsi Anggota DPRD tercantum pada Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu: (a) Pembentukan Perda Provinsi; (b) Anggaran; dan (c) Pengawasan. Selanjutnya pada Pasal 97 disebutkan bahwa Fungsi pembentukan Perda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf (a) dilaksanakan dengan cara: (1) membahas bersama Gubernur dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda Provinsi; (2) mengajukan usul rancangan Perda Provinsi; dan (3) menyusun program pembentukan Perda bersama Gubernur. Didalam Pasal (97) ini kembali dipertegas bahwa berbagai produk regulasi daerah, baik yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah maupun insiatif DPRD, tidak bisa hanya sepihak diputuskan oleh DPRD, melainkan harus dikonsultasikan, dikoordinasikan dan dibahas bersama sama Pemerintah Daerah. Selanjutnya pada Pasal 98 Ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menetapkan program pembentukan Perda Provinsi, DPRD Provinsi melakukan koordinasi dengan Gubernur. Hal ini yang juga membedakan “Legislatif” nya DPRD dengan DPR.
Menurut Sunanda Haizel Fitri (UNRI, 2015), Jika DPRD dikatakan sebagai legislatif tidaklah tepat, sebab DPRD bukanlah lembaga mutlak yang memiliki kekuasaan lembaga legislatif seperti DPR RI. Dalam ciri-ciri Negara Kesatuan telah disebutkan bahwa hanya terdapat Pemerintah Pusat yang memiliki kedaulatan baik ke dalam maupun keluar negeri, terdapat satu Undang-Undang Dasar yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara, terdapat satu Kepala Negara atau Pemerintahan dan terdapat satu badan perwakilan rakyat yaitu DPR RI. Akan tetapi pada kenyataannya di daerah, DPRD memiliki fungsi yang sama seperti DPR-RI. Inilah yang menjadi polemik saat ini. Jika merujuk kepada Undang-Udang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penerapan kedudukan DPRD bukanlah sebagai eksekutif maupun legislatif, melainkan mitra kerja dari Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah serta membantu Kepala Daerah dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya revisi atau perubahan terhadap Undang-Undang No.: 23 Tahun 2014.
Selanjutnya Andi Sandi (2019), dalam penelitiannya menyimpulkan DPRD apabila ditelaah dalam konsep trias politika merupakan lembaga legislatif tapi tidak penuh. Dikatakan lembaga legislatif karena diberikannya kewenangan kepada DPRD untuk membuat produk hukum, dan juga mekanisme pengisian jabatannya yang dilakukan melalui pemilihan secara langsung, dan menjadi legislatif tidak penuh karena fungsi pokok dari sebuah lembaga perwakilan tidak diberikan secara penuh. Kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia tidak di sebutkan secara tegas, peranan DPRD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif, membuat produk hukum, dan menjalankan fungsi anggaran di daerah. Berdasarkan kedudukan dan peranannya, maka konsekuensi hukum terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia adalah kekaburan antara DPRD sebagai lembaga eksekutif dengan DPRD sebagai lembaga legislatif, dan hal tersebut bermuara pada lemahnya beberapa fungsi yang dimiliki oleh DPRD.
DPRD, Perencana Pembangunan Daerah Sesungguhnya
Dimana peran DPRD dalam perencanaan pembangunan daerah? Hal ini dapat dilihat dari Pasal 264 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Artinya peran DPRD sangat menentukan arah kebijakan dan pelaksanaan pembangunan jangka panjang (25 Tahun) dan bersama-sama Kepala Daerah menentukan arah kebijakan dan pelaksanaan pembangunan jangka menengah (5 Tahun). Tanpa 2 (dua) dokumen tersebut, mustahil pembangunan daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan Visi dan Misi Daerah. Perda tentang RPJPD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah RPJPD periode sebelumnya berakhir, sedangkan Perda tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik. Selanjutnya pada Pasal (272) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa RPJMD merupakan pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Perangkat Daerah untuk 5 tahun.
Dalam hal perencanaan pembangunan jangka pendek 1 tahun, atau lebih dikenal dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dan Program Strategis Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Walaupun RKPD sesuai regulasi ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada), namun Peran DPRD dalam penyusunan RKPD sesungguhnya telah dimulai sejak penyusunan Rancangan Awal (Ranwal) RKPD itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Permendagri No. 86 Tahun 2017 pada Pasal (77) yang menyebutkan bahwa Rancangan Awal (Ranwal) RKPD sudah memuat penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD. Dengan demikian, pada awal penyusunan perencanaan pembangunan daerah, DPRD seharusnya sudah terlibat secara aktif, terutama dalam menyampaikan berbagai aspirasi yang disampaikan masyarakat pada saat reses. Mencermati keterlibatan DPRD di dalam perencanaan pembangunan, baik jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek, yang dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, maka sulit untuk mengatakan bahwa DPRD adalah sebuah lembaga Legislatif murni. Lebih tepat menyatakan bahwa DPRD adalah Lembaga Perencanaan Pembangunan Daerah yang sesungguhnya.
Jika melihat keterlibatan DPRD dari awal proses perencanaan pembangunan daerah, maka menjadi keniscayaan untuk mereformulasi kembali berbagai regulasi yang mengatur sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan, terutama perencanaan pembangunan tahunan daerah yang ada saat ini. Dokumen perencanaan RKPD yang disusun “sendiri” oleh Pemerintah Daerah selama ini tidak disertai dengan alokasi pendanaan yang pasti, sehingga pada saat pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) antara Badan Anggaran (Banggar) DRPD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sering berlarut-larut dan tidak efektif. Oleh sebab itu, untuk menjamin konsistensi perencanaan dan penganggaran, maka menurut hemat kami penyusunan RKPD dan KUA-PPAS perlu dilakukan secara sinergi dan paralel, mulai dari Rancangan Awal hingga Rancangan Akhir RKPD. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) Pasal (2) Ayat 4 Butir (c) yang menyatakan bahwa “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran”. Penandatanganan Berita Acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) RKPD seharusnya disertai pula dengan penandatanganan Nota Kesepakatan KUA dan PPAS antara Kepala Daerah dan Unsur Pimpinan DPRD. Dengan demikian, Peraturan Kepala Daerah tentang RKPD benar-benar dapat dijadikan pedoman dalam menyusun Nota Keuangan tentang RAPBD. Hal ini sesuai pula dengan amanah Undang-Undang (UU) No. 25 tentang SPPN Pasal 25 Ayat (2) yang menyatakan RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.
Penulis | : | Rahmad Rahim, Perencana Utama – Bappedalitbang Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik, Cakap Rakyat |