Dr. drh. H. Chaidir, MM.
|
IBARAT pertandingan sepakbola, gawang kita memang hanya menunggu waktu saja untuk kebobolan, karena sudah dibombardir dari segala penjuru. Dan akhirnya kebobolan. Gubernur Riau Syamsuar dan istri dinyatakan positif terjangkit Covid-19, demikian pula beberapa pejabat tinggi provinsi.
Di tengah berkecamuknya wabah Covid-19 di Riau, Gubri beserta istri dan beberapa jajaran terkait memang tetap memenuhi agenda kegiatan yang padat termasuk upaya penanggulangan Covid-19. Kegiatan tersebut mengharuskan mereka kontak dengan berbagai pihak, dan tentulah rawan terpapar.
Upaya tracking (pelacakan), tracing (penelusuran) dan testing (pengujian) dalam mendeteksi sebaran kasus Covid-19 tentu harus dilakukan menyusul terpaparnya Gubri beserta istri dan beberapa pejabat, tapi bukan untuk mencari siapa yang salah. Upaya itu dilakukan semata untuk mendeteksi penyebaran dan kemudian mengambil langkah-langkah mengurangi risiko penyebaran lebih luas. Sebab orang tanpa gejala tak bisa diketahui dengan cepat dan tepat kecuali melalui tes swab. Pada saatnya pun, beberapa hari sebelum Gubri dan istri dikonfirmasi positif tertular, tentulah mereka termasuk OTG. Sebab mereka tidak tahu bahwa mereka sudah terpapar Covid-19. Begitulah. Mungkin orang lain atau bahkan mungkin kita juga OTG.
Dari kasus terpaparnya gubri beserta istri dan beberapa pejabat tinggi termasuk gubernur dan wakil gunernur DKI Jakarta, memberi alarm kencang, sedikit saja kita lengah atau cuai, bersiaplah terpapar dan masuk ruang isolasi. Tingkat penularan Covid-19 ini memang sangat tinggi, alias mudah sekali menular. Namun peluang untuk sembuh besar, sebab Covid-19 sebenarnya bukan penyakit menular yang mematikan. Banyak yang terpapar Covid-19 berhasil sembuh. Data yang diperoleh, total keseluruhan kasus terkonfirmasi positif di Riau sampai tanggal 30 November mencapai 20.034 orang, dari jumlah ttersebut, pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 17.602 orang, sisasnya masih dalam perawatan (sumber: Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nasir, 30/11/20).
Namun demikian, masalahnya menjadi serius, bahkan bisa fatal, bila orang yang terpapar Covid-19 memiliki riwayat penyakit lain seperti gula darah tinggi, gangguan jantung dan paru-paru, serta berbagai penyakit lain yang menurunkan daya tahan tubuh. Hal inilah sebenarnya yang menimbulkan kekhawatiran.
Kejadian demi kejadian terasa sangat dramatis. Dalam kondisi demikian, tak ada pilihan lain, pihak pemerintah yang memiliki otoritas terpaksa bekerja keras melaksanakan berbagai program penanggulangan dengan mengerahkan segenap kemampuan. Tenaga, waktu dan pikiran, habis tersita. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit jumlahnya, bahkan menguras pos-pos anggaran lain untuk difokuskan ke ikhtiar penanggulangan Covid-19. Konsekuensinya, kondisi ini sudah barang tentu menurunkan kapasitas anggaraan pembangunan. Dilema. Serba salah.
Belum tertanggulanginya pandemi Covid-19 dengan maksimal sebagaimana diharapkan berbagai pihak, menempatkan pemerintah selalu berada pada posisi “sasaran tembak”. Mengapa begini, mengapa begitu, kenapa tidak begini, kenapa tidak begitu, dan seterusnya. Di tengah keterbukaan media informasi yang tak bertepi dewasa ini, persepsi masyarakat seringkali liar, viral tak terkendali. Padahal sebenarnya, kita sangat yakin, pemerintah telah berbuat maksimal sejauh yang bisa mereka lakukan. Tidak ada yang tidak serius. Semua serius.
Lantas, apa yang salah? Pertanyaan awam yang sering nyaring, mengapa kasus positif terpapar Covid-19 di Riau tetap tinggi? Bahkan hampir setiap hari dalam empat bulan terakhir ini Riau selalu menempati jumlah kasus terbesar di luar Pulau Jawa. Beberapa kali, Riau bahkan menempati rangking empat jumlah kasus tertinggi setelah DKI Jakarta, Jatim dan Jabar.
Juru Bicara Penanganan Covid-19 Riau dr Indra Yovi menjelaskan, angka kasus terkonfirmasi Covid-19 di Riau saat ini semakin menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyebut kasus Covid-19 memburuk. Tito mendesak lagi keseriusan kepala daerah untuk tegas dalam menerapkan protokol kesehatan. Baiklah. Semua kita sudah paham angka-angka kasus. Semua kita sudah paham protokol kesehatan (pakai masker, jaga jarak, sering cuci tangan, dan hindari kerumunan).
Peraturan tak kurang (ketentuan cambuk rotan yang belum; satgas ada, pemburu teking juga ada), himbauan bertalu-talu. Belum cukup. Kita dengan mudah menyaksikan betapa rendahnya disiplin masyarakat kita. Maka, kelihatannya, yang diperlukan saat ini adalah pemahaman dan komitmen bersama bahwa urusan keselamatan kita dan keluarga kita tak sepenuhnya bisa kita serahkan pada pemerintah. Masyarakat juga harus dengan penuh kesadaran menegakkan disiplin.
Urusan pemerintah? Urusan pemerintah adalah membangun kolaborasi lebih serius. Gunakan pedekatan pentahelix (segilima sama sisi) dengan bersama-sama bahu-membahu, isi-mengisi antara lima sisi yakni unsur akademisi, korporasi bisnis, komunitas (berbagai macam paguyuban dan organisasi), media, dan unsur pemerintah itu sendiri (termasuk di sini TNI dan POLRI). Bila lima sisi ini berkolaborasi dan bersinergi dengan sepenuh hati, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, semua kerja pasti menjadi.***
Penulis | : | Dr. drh. H. Chaidir, MM. |
Editor | : | Ali Azumar |
Kategori | : | Cakap Rakyat |