Dr drh Chaidir MM
|
Ustadz Abdul Somad (UAS) turun gunung ikut kampanye. UAS secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap salah satu pasangan calon di beberapa kabupaten dan kota di Riau dalam pilkada serentak 9 Desember 2020. Video kampanye UAS itu dalam beberapa hari ini viral di media. Tidak hanya di Riau, UAS juga secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap salah satu pasangan calon wali kota dan wakil wali Kota Medan, Sumatera Utara.
UAS adalah seorang ustadz kondang, banyak pemujanya. Namanya harum semerbak. Demikian hebatnya UAS sehingga pernah ditawari sebagai calon Wakil Presiden RI mendampingi salah seorang bakal calon Presiden dalam pilpres 2019. Tinggal selangkah lagi ketika itu. Tapi semua dibuat terpesona: UAS menolak. Tapi UAS kemudian ikut kampanye, tampil bersama sang Capres melalui sebuah dialog di televisi dan disiarkan secara luas ke seluruh pelosok, baik melalui media mainstream maupun melalui medsos. Hasil pilpres kita sudah sama-sama tahu.
Maka, ketika UAS ikut kampanye pilkada, tentu tak mengejutkan. UAS juga manusia biasa. Sama seperti manusia lain, ada kelebihan ada kekurangannya. UAS punya hati punya rasa, tentu bisa tergoda bujuk rayu yang sifatnya duniawi, ajakan untuk ikut kampanye bagi paslon tertentu. Kalau pun misalnya tak ada bisikan orang lain yang mengajak (mungkin saja orang yang diseganinya), UAS juga bisa mendengar bisikan suara hatinya, sampai kemudian ia memutuskan: “yes aku ikut kampanye”. Semua orang punya hak asasi, tak terkecuali UAS.
Masalahnya, kampanye pilpres dan pilkada itu adalah wilayah politik praktis, suatu wilayah abu-abu yang sarat tarik-ulur kepentingan. UAS pasti paham adagium usang yang masih belum basi sampai sekarang, bahwa “dalam politik tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan”. Ketika kepentingannya sama maka mereka akan berkawan, tetapi ketika kepentingannya berbeda atau bertentangan, mereka menjadi lawan. Dan ketika berada pada posisi lawan, maka berlakulah adagium usang lainnya (yang juga belum basi), “to kill or to be killed” (membunuh atau dibunuh).
Sesungguhnyalah, politik seperti adagium tersebut, adalah politik kotor, kejam, politik yang menghalalkan segala cara. Mungkin mereka penganut paham politik seperti disebut Harold Lasswell, bahwa politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how). Atau barangkali seperti disebut Peter Merkl bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfish, grab for power, glory and riches). Singkatnya, dalam wajah yang paling buruk, politik adalah perebutan kekuasaan, takhta, dan harta.
Pernyataan-pernyataan seperti itu sering kita dengar dan banyak pengikutnya, setuju atau tidak setuju. Dan ini sangat memprihatinkan sekaligus membahayakan. Sebab orang akan berpikir, perilaku politik kotor seperti itu dianggap sebagai suatu yang lazim dan sah-sah saja. Implikasi pandangan seperti itu bisa menjadi liar. Bisa jadi orang yang jujur, lurus dan santun dalam berpolitik malah dianggap aneh dan bodoh.
Suka atau tak suka, rela atau tak rela, panggung politik kita dewasa ini masih akrab dengan pandangan dan lakon politik seperti itu. Maka ketika UAS turun gunung ke ranah politik praktis, yang sarat kepentingan itu, dan berlumuran lumpur-lumpur kotor politik, langsung disikapi pro-kontra berbagai pihak.
Seperti pernah disebut UAS dan beberapa ulama kondang lainnya, agama dan politik tak bisa dipisahkan. Agama, apalagi agama Islam, pasti tidak menghalalkan cara-cara politik kotor itu. Dalam lapangan kehidupan apapun, akhlak mulia harus menjadi acuannya. Islam harus selalu hadir (omnipresent) menjadi nafas dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kecurangan, penipuan, pembohongan, kemunafikan dan saudara-saudaranya, adalah sesuatu yang terlarang, termasuk di panggung politik. Kehidupan politik yang kotor itu perlu dibimbing dengan moralitas agama.
Jadi, panggung politik harus senantiasa diselimuti moralitas Islam. Hubungan agama (Islam) dan politik sesungguhnya bersifat substantif bukan kepentingan sempit kontestasi. Dan dalam konteks itu, ulamalah yang menjadi sitawar sidingin. Ulama berperan membimbing, membina dan menjaga orang-orang Islam agar selalu berjalan di atas jalan yang lurus dan benar, menjaga orang-orang Islam dari tindak kejahatan, pembodohan, pembohongan dan penyesatan. Ulamalah yang berperan besar dalam memberi muatan moralitas Islam ke dalam proses-proses politik.
Lantas bagaimana? Dilematis memang. UAS sudah turun gunung, maka posisinya seperti “MKMK” (Maju Kena Mundur Kena). Yang namanya kontestasi politik, pilihannya hanya kalah atau menang. Bila paslon yang didukung kalah, akan terbentuk opini publik, UAS sudah kehilangan mantra saktinya, tak lagi punya pengaruh, masa keemasannya sudah lewat. UAS kini berada dalam fase meredup (declining), sejalan teori siklus dinasti legenda intelektual muslim Ibnu Khaldun. Ada fase tumbuh, ada fase berkembang, ada fase keemasan di puncak singgasana, fase berikutnya fase meredup, dan fase selanjutnya hilang ditelan bumi.
Bila paslon yang didukung menang, akan terbentuk opini publik: UAS memang sakti. Tapi di sana menanti jebakan batman, beban moral sangat berat bagi UAS. Sebab selama lima tahun paslon yang menang menjabat, bila paslon tersebut tidak amanah, maka UAS akan ikut bertanggung jawab secara moral. Runyamnya, bila menang, maka yang berkuasa tidak hanya paslon, tapi juga koalisi parpol pendukung, timses, dan kroni-kroninya. Tapi agaknya, UAS pasti punya dalil-dalil pembenaran.
Penulis | : | Dr drh Chaidir MM |
Editor | : | Ali Azumar |
Kategori | : | Cakap Rakyat |