Ustaz Abdul Somad
|
Ustaz kok ikut-ikutan berpolitik? Pandangan "minor" ini sering muncul dan dihadapkan kepada para muballigh yang berurusan dengan politik.
Yang perlu diluruskan adalah tujuan politiknya. Kalau tujuannya partisan, untuk sekedar mendapat amplop, atau bantuan buat pesantren, tentu ini sama dengan "jualan agama" . Para politisi, juga parpol, demen dengan ustaz model seperti ini. Bisa diatur, disetel, didesign dan bersedia menyiapkan banyak dalil sesuai kebutuhan pemberi amplop.
Anda masih ingat seorang menteri atau pejabat kasih amplop kiai? Videonya sempat viral. Kalau itu amplop dukungan, tentu publik akan mempertanyakan integritas kiai yang terima amplop itu.
Fenomena kiai terima amplop jelang pemilu adalah hal umum. Biasa dan wajar. Tapi, bukan berarti bermoral. Tidak semua yang wajar itu bermoral. Korupsi dianggap wajar, tapi tak bermoral.
Sedikit kiai yang paham bahwa amplop dukungan itu sumber korupsi dan berpotensi memecah belah umat. Tafsirnya tafsir amplop. Ta'wilnya ta'wil amplop. Pendapatnya bergantung seberapa tebal amplop yang diterima. Dasar negeri amplop, sindir K.H. Mustofa Bisri dalam puisinya.
Menolak amplop itu juga sikap politik. Ustaz yang menolak amplop tak terikat dengan dukung mendukung paslon. Yang mereka dukung adalah integritas, kapasitas, gagasan dan komitmen keumatan/kerakyatan. Ustaz punya standar. Dan standarnya bukan amplop. Pernyataannya tak bisa ditukar amplop.
Siapapun calonnya, itu tak penting. Siapapun personnya, itu tak penting. Siapapun individu calon, sekali lagi, itu gak penting. Selama dia terbaik integritas, kapasitas dan komitmennya, kiai akan mendukung.
Kiai, ustaz atau muballigh yang berani tolak amplop seringkali dianggap radikal, garis keras dan gak toleran. Padahal, itu pilihan politik. Politik berbasis moral.
Habib Rizieq, UAS, Ustaz Arifin Ilham adalah tipologi muballigh yang selalu tegas menolak amplop jika terkait dengan dukung mendukung paslon. Ini pilihan politik berbasis integritas. Mereka punya standar.
Dalam setiap pilkada, saya pasti mendukung salah satu paslon. Terang-terangan. Saya gak pernah netral. Begitu kata Ustaz Arifin Ilham al-marhum.
Selain Arifin Ilham, ada Ustaz Abdussomad. Bukan ustaz kaleng-kaleng, kata Fadli Zon. Bukan sekedar bisa mimpin tahlil dan doa, UAS juga terlibat dalam pilpres 2019. Di pilkada 2020 ini, UAS juga mendukung sejumlah paslon di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kalimantan Selatan. Dalam road show dakwahnya, UAS berkampanye. Bukan personnya yang UAS kampanyekan, tapi integritas, kapasitas dan komitmennya.
Tak ada cek kosong. UAS mendukung paslon di pilkada 2020 dengan 12 pasal sebagai komitmen. Pasal-pasal itu tak berkaitan sama sekali dengan kepentingan individu dan kelompok. Tapi semata-mata untuk kepentingan umat, rakyat dan bangsa.
Diantara yang menjadi komitmen bersama itu adalah soal perbaikan pendidikan, perbaikan ekonomi umat dan perbaikan moral politik.
Dalam konteks ini, UAS dan para muballigh yang punya standar moral seperti itu layak jadi model. Hadir sebagai muballigh tak saja amar ma'ruf, tapi juga berani ambil risiko dengan bersikap tegas dalam pilihan politiknya. Menolak amplop dan siap terima stigma macam-macam dari pihak yang kontra. Begitulah semestinya seorang muballigh, jelas jenis kelaminnya.
Jakarta, 8 Desember 2020
Penulis | : | Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |