Hendri Anakrahman
|
Bagi Ustadz Abdul Somad, kalah menang bukanlah target utama dalam mendukung pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah. Yang diusung UAS adalah gerakan moral dalam membangun sistem politik yang Islami, di luar kebiasaan yang sudah lazim terjadi selama ini. Sikap itu jugalah yang membuat UAS santai saja dalam melihat hasil akhir pemilihan kepala daerah.
Ada beberapa poin penting yang perlu kita pahami dalam membaca sikap politik UAS dalam Pilkada.
Pertama, bahwa Allah hanya menilai perjuangan, bukan hasilnya. Bagi UAS, menang atau kalah, itu bukan lagi urusannya. Sebab semua sudah tertulis di lauhul mahfudz. Yang dilakukan seorang hamba hanya sebuah ikhtiar, sebuah usaha dengan cara-cara yang baik dan tidak menggunakan segala cara untuk memang apalagi berlaku curang.
Kedua, UAS sudah menang sebelum pencoblosan. Kok bisa? Disinilah letak substansi dukungan yang diberikannya. Bahwa UAS menang melawan godaan uang, mobil dan jabatan. UAS menang melawan sikap diam hanya untuk mencari selamat. UAS menang melawan pesan-pesan dari Jakarta, untuk tidak berpihak! “Begini cara saya melawan,” kata UAS dalam sebuah kesempatan.
Ketiga, bagi UAS, Pilkada ini adalah ajang mengaplikasikan ceramah yang selama ini beliau sampaikan, bagaimana pentingnya memperbaiki 3 aspek dalam kehidupan, yakni perbaikan dalam bidang pendidikan, perbaikan dalam aspek ekonomi dan perbaikan dalam aspek politik.
Mendukung pasangan calon dalam Pilkada ini merupakan ijtihad politik yang ditunjukkan UAS. Mulai dari memilih pasangan calon, meminta komitmen mereka dan kemudian mendukungnya.
Keempat, bagi UAS, Pilkada ini ajang ujian hati. Bagaimana mengelola hati supaya tidak terjebak dalam kemuliaan yang semu, kemuliaan yang sifatnya duniawi. Dipuji, disanjung, dihormati, dimuliakan dan sebagainya.
UAS tidak mau itu. UAS ingin mengendalikan hatinya. “Kalau terus dipuji, disanjung, dihormati dan dimuliakan, dan lupa diri, lama-lama bisa jadi fir'aun,” kata UAS dalam sebuah candanya.
Selama ini, disetiap UAS datang mengisi ceramah atau tabligh akbar, jemaah selalu berdesakan untuk bersalaman dan mencium tangannya.
Namun saat masuk pasar, bukan jemaah yang datang menyalami UAS, tapi UAS yang mendatangi mereka, menyalami mereka, berselfi dengan mereka. Dan tentu, UAS juga berpesan kepada mereka supaya ikut memilih pasangan yang diusungnya. “Jangan lupa ya pak, bu, nanti coblos nomor ...".
Dibully, dihina, dicaci maki di media sosial adalah sesuatu yang lazim menimpa siapa saja. Dan bagi UAS, semua itu menyadarkannya bahwa UAS bukanlah siapa-siapa.
Jadi, keberpihakan UAS dalam Pilkada, bahkan ikut mengkampanyekan pasangan calon yang didukungnya, bukan karena tergiur syahwat dunia. Kalau ingin mencari keuntungan dunia, bagi UAS tidak perlu melalui ajang Pilkada.
Fakta sudah membuktikan, berapa unit mobil mewah yang sudah ditolak UAS. Berapa hektar tanah yang ingin diserahkan tapi tidak diterimanya. Bahkan ada yang siap menyerahkan lahan lengkap dengan bangunannya. Semuanya ditolak.
Disini kita melihat, UAS ingin mengajarkan sebuah sikap bahwa politik transaksional itu tidak baik dalam membangun akhlak masyarakat yang Islami. Apalagi kalau sikap politik transaksional itu dilakukan oleh seorang ustadz.
Penulis | : | Hendri Anakrahman (Sahabat UAS) |
Editor | : | Ali Azumar |
Kategori | : | Cakap Rakyat |