DI UJUNG tahun 2020 ini, sebuah opini yang ditulis oleh Ubedilah Badrun, analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di sebuah link berita online, viral di medsos. Judulnya provokatif, “Kejahatan Besar Sedang Terjadi di Indonesia”. Badrun antara lain menulis adanya ”Kejahatan Sumber Daya Alam”. Opini di media massa itu sifatnya subyektif. Pandangan pribadi penulisnya. Tergantung sudut pandang penulisnya dalam melihat sebuah permasalahan.
Namun demikian, sebuah opini apalagi ditulis oleh kalangan akademisi tetap saja harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan analisisnya harus argumentatif. Argumentasi penulis menjadi poin penting dalam sebuah tulisan opini. Sebab opini sebagaimana disebut oleh Sri Hartati Samhadi, Redaktur Senior Opini Kompas, diartikan sebagai wadah intellectual exercise yakni tempat aktualisasi diri, sharing, serta tempat menyumbangkan saran, pemikiran dan pengalaman. Selain itu, opini juga menjadi wadah menyampaikan kritik yang membangun terhadap pengambilan kebijakan. (www.its.ac.id 8/12/2017)
Fenomena Kutukan
Ada Kejahatan sumber daya alam? Iyekah? Moh kita cermati. Tentu dari sudut pandang beda pula. Dialektika. Sebab dalam eksplorasi dan eksploitasi SDA ini, para pakar biasanya menggunakan terminologi “kutukan sumber daya alam”, bukan “kejahatan sumber daya alam”.
SDA yang berlimpah merupakan anugerah. Namun, inilah sebuah fenomena ironis. Ada teori kutukan sumber daya alam (resource curse theory) yang diperkenalkan oleh ekonom Jeffrey Sachs dan Andrew Warner seperti ditulis Michael L. Ross dalam bukunya The Oil Curse atau “Kutukan Minyak” (Rhenald Kasali, 2015). Fenomena kutukan SDA ini menyebut, negara-negara yang kaya SDA justru mengalami tingkat kemiskinan tinggi, pertumbuhan ekonomi lambat, korupsi, dan konflik-konflik kekerasan sesama warga.
Namun seperti ditulis Ross, bagaimana dengan Norwegia dan Kanada yang sama-sama memiliki SDA berlimpah? Kedua negara itu nyatanya tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang baik, angka kemiskinan yang rendah dan demokrasi yang baik. Kenapa bisa? Dijawab sendiri oleh Ross, karena birokrasinya bersih, dan tatakelola pemerintahannya berjalan dengan baik.
Dalam kasus Riau? Provinsi ini dikenal sebagai daerah kaya, memiliki SDA berlimpah. Perut buminya kaya bahan tambang. Permukaan buminya subur alang kepalang. Produksi migasnya memberikan kontribusi besar (35% migas nasional dipasok dari Riau). Riau juga memiliki wilayah hutan produksi (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan sawit terluas di Indonesia (40 persen ekspor Crude Palm Oil – minyak sawit mentah nasional berasal dari Riau). Perkebunan kelapa terluas di Indonesia.
Tapi Riau bukan Norwegia atau Kanada. Di sini ada ironi. Tingkat kemiskinan masih tinggi (sekitar 7 persen), terdapat kesenjangan pendapatan masyarakat yang sangat mencolok, angka pengangguran yang tinggi, masih tertinggalnya pembangunan infrastruktur, kebun-kebun illegal yang sangat luas merambah kawasan hutan, kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang semakin meluas. Pesisir pantai dan pulau-pulau terluar di sepanjang Selat Melaka didera pula oleh abrasi yang semakin parah. Narkoba masih merajalela. Kasus positif Covid-19 sering tertinggi di luar Pulau Jawa. Riau seperti digempur masalah dari berbagai front.
Dan persoalan minyak di perut bumi? Agaknya persis seperti ditulis Michael L. Ross itu, di atas permukaan ladang minyak, produksi minyak memang menyejahterakan suatu bangsa, tetapi secara politis di bawahnya ada banyak masalah. Buktinya di Riau, sampai hari ini kita masih terus bertengkar berebut kesempatan dan perhatian. Pasca reformasi, masyarakat Riau tak pernah jeda menggugat pusat tentang keberpihakan terhadap daerah, transparansi lifting minyak, DBH migas, kemitraan dengan entitas bisnis lokal, peluang kerja, dan sebagainya.
Collaborative Governance
Di sinilah letak masalahnya. Dengan sistem demokrasi yang belum optimal, birokrasi yang belum tertata baik, budaya korupsi, pergulatan tak henti berebut kekayaan SDA di bawah perut dan di permukaan perut bumi, menyebabkan semua menjadi banal. Kontestasi pilkada tak terlepas dari perebutan konsesi SDA tersebut. Terasa ada kesengsaraan sosial multidimensi. Ini lebih tepat disebut kutukan, bukan kejahatan. Semua kepentingan berbancuh dalam sebuah emulsi tak teruraikan. Kita mestinya tak azab dirubung semut bila tak dilamun gula.
Lihatlah, ketika otonomi daerah mulai berbuah, tinggal menunggu saat-saat panen, lahirlah UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Salah satu pasal perubahan dalam UU Minerba tersebut adalah soal kewenangan izin. Pemerintah dan DPR menyepakati bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Artinya, semua perizinan penambangan minerba kembali jadi kewenangan pusat. Perizinan yang mungkin didelegasikan ke daerah hanya menyisakan izin batuan berskala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Ini kutukan.
Namun sesungguhnyalah, kewenangan pusat atau daerah tak masalah. Kuncinya adalah pada terbentuknya birokrasi yang bersih (clean government) dan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance). Ini merupakan conditio sine qua non. Tidak boleh tidak harus terwujud untuk melawan kutukan SDA itu. Bahkan itu saja tidak cukup. Pendekatan collaborative governance (tatakelola yang berkolaborasi) dengan mengajak berbagai stakeholder menurut teori Anshel dan Gash (2008) merupakan solusi atas kegagalan-kegagalan yang dialami pemerintah dalam pelaksanaan program akibat politisasi yang berlebihan.
Konsep dasar integrasi dan sinergi dalam collaborative governance itu adalah ketika para stakeholder secara bersama-sama melakukan kerjasama bahu-membahu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Semangatnya, di sini senang di sana senang. Begitu saja koq repot.***
Penulis | : | DR. drh. H. Chaidir. MM |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |