Ilustrasi patroli siber. (Istockphoto/ South_agency).
|
(CAKAPLAH) - Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai kebijakan polisi siber yang akan diterapkan pada 2021 mendatang membuat kebebasan berekspresi semakin terbatas.
Dia yakin kebijakan tersebut akan banyak masyarakat yang sungkan mengkritisi pemerintah di media sosial.
"Orang-orang akan enggan berkomentar tentang kebijakan negara, itu akan semakin minim ke depan, karena kalau mengkritisi negara itu kerap kali dituduh melawan negara atau di stigma menjadi kelompok tertentu," kata Rivan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/12/2020).
Rivan juga menganggap keberadaan polisi siber bisa membuat aparat keamanan menjadi lebih represif. Terutama di dunia maya atau media sosial.
Padahal, menurut Rivan, ukuran penilaian yang digunakan polisi siber juga bakal sarat subjektivitas.
Oleh karena itu, perlu ada kajian matang untuk membuat indikator mengenai pernyataan yang salah atau benar di media sosial demi menjamin keadilan serta hak asasi warga dalam berpendapat.
"Patroli siber harus bekerja secara terukur, ada legalitasnya, ada proporsionalitas, harus ada ukuran jelas dan tegas di situ, supaya tidak subjektif," jelas Rivan.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa polisi siber akan lebih masif mengawasi media sosial pada 2021 mendatang. Hal itu dilakukan guna menyikapi hoaks yang marak di media sosial.
"Jadi saya katakan kita aktifkan polisi siber, bukan membentuk, (tapi) aktifkan, karena polisi siber kita gampang, kok," kata Mahfud seperti dikutip dari kanal YouTube Dewan Pakar KAHMI Official, Senin (28/12).
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Cnnindonesia.com |
Kategori | : | Pemerintahan, Hukum |