ANGGOTA Dewan Yang Terhormat (YTH) Ribka Tjiptaning boleh berbicara apa saja dalam sidang parlemen. Itu memiliki kekebalan hukum. Namun sebagai penonton panggung politik dari kejauhan, ada yang terasa agak kurang pas.
Pertama, pada awalnya vaksin Sinovac memang diragukan keamanan dan kehalalannya, tapi kemudian Badan POM yang memiliki otoritas telah mengeluarkan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization - EUA) vaksin Sinovac setelah melalui serangkaian uji medis.
MUI pun sudah resmi menyatakan vaksin itu suci dan halal untuk disuntikkan.
Kalau kedua otoritas yang diakui memiliki kapasitas (dalam aspek legalitas dan kompetensi) ini tidak dipercaya, lembaga mana lagi yang kita percaya? Apalagi kemudian ada pula asumsi, vaksin yang disuntikkan kepada Presiden Jokowi diragukannya bukan Sinovac. Kemana common sense-nya?
Bukankah pengelola vaksin dan penyelenggara vaksinasi itu
adalah orang-orang terbilang yang memiliki kode etik profesi?
Hal lain yang agak kurang pas adalah cara Anggota Dewan YTH Bu Ribka Tjiptaning mengumbar secara demonstratif penolakannya untuk disuntik vaksin. Bahkan banyak pihak yang menyebutnya terlalu arogan.
Kita percaya dia mampu membayar denda Rp 5 juta per kepala untuk keluarganya atas penolakan itu. Denda yang lebih besar pun mungkin bisa dibayar.
Masalahnya, bukan pada mampu atau tidak mampu bayar denda, masalahnya adalah kewajiban untuk patuh kepada Undang-Undang. Rakyat biasa mungkin wajar melakukan penolakan atas dasar ketidaktahuannya.
Tapi bagaimana dengan Anggota Dewan YTH, sang pembentuk undang-undang? Bukankah fungsi pembentukan undang-undang yang melekat pada DPR diberikan lebih kuat oleh konstitusi kita UUD 1945 pasca amandemen? Maka, kepatuhan Anggota Dewan YTH terhadap undang-undang harus menjadi contoh teladan bagi rakyat biasa.
Anggota parlemen boleh berdebat dalam pembahasan sebuah RUU, tetapi ketika RUU disetujui menjadi UU semua harus tunduk termasuk anggota DPR itu sendiri. Di sini berlaku postulat: hukum dibentuk oleh politik, tetapi sekali hukum terbentuk, politik harus tunduk pada hukum. Hanya kedunguan politiklah bila ada politisi yang menyebut, hukum itu lupa kacang akan kulitnya. Hukum memang harus lupa akan kulitnya. Hukum itu imparsial.
Lupakah Anggota Dewan YTH Bu Ribka Tjiptaning UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang belum lama dibentuk oleh DPR? Ibarat kuburan, masih merah tanah timbunannya. Pasal 9 UU Nomor 6 tahun 2018 yang dibentuk oleh DPR (pada periode ini Anggota Dewan YTH Bu Ribka Tjiptaning juga telah duduk sebagai Anggota), menyebut: ayat (1) Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan; (2) Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
Apa yang dimaksud dengan Kekarantinaan Kesehatan? Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Hal ketiga yang rasanya kurang pas sebagai tontonan publik adalah sikap Anggota Dewan YTH Bu Ribka Tjiptaning yang menolak kebijakan Pemerintah. Boleh. Anggota Dewan memang boleh menolak kebijakan pemerintah (ini adalah bagian dari fungsi pengawasan yang melekat pada DPR), terutama bila kebijakan pemerintah dianggap merugikan rakyat. Justru jadi masalah bila Anggota Dewannya bersikap yesmen.
Tapi sikap kritis yang cantik dan manis adalah sikap kritis yang konstruktif dan objektif. Bukan sikap kritis destruktif apalagi membabi buta, apriori tanpa etika. Sebagian besar masyarakat kita paham, bahwa vaksinasi itu diperlukan untuk menanggulangi wabah. Masyarakat hanya minta penjelasan keamanan penggunaan vaksin serta kesucian dan kehalalannya. Masyarakat tidak usahlah diprovokasi dengan isu populis.
Apalagi Presiden Jokowi yang memimpin pemerintahan adalah Presiden yang notabene berasal dari partai darimana Anggota Dewan YTH Bu Ribka Tjiptaning berasal. Tidak ada yang bisa menyangkal dalam sistem politik yang dianut bangsa kita, Presiden Jokowi di parlemen didukung oleh partai dari mana Anggota Dewan YTH Bu Ribka Tjiptaning berasal bersama partai politik koalisinya.
Maka dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti ini, partai koalisi pendukung pemerintah harus pandai-pandai menempatkan diri dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Presiden bukan tidak boleh dikritik, bahkan akan lebih bagus bila ada otokritik dari kalangan internal partai pendukung. Tapi tetap harus mengedepankan etika.
Dari kejauhan kami menonton kegaduhan pertunjukan di panggung politik nasional. Namun sejak kecil kami selalu didongengi budaya lliterasi, diingatkan tetua perihal tutur bahasa, seperti tertulis dalam Pasal Kelima Gurindam 12 Raja Ali Haji, “Jika hendak mengenal orang yang berbangsa, lihatlah pada budi bahasa.” Beberapa ratus tahun kemudian pakar komunikasi Dale Cargnegie mengelaborasinya, “you judge everyday by your speech” (kamu dinilai setiap hari dari ucapanmu). Bahasa menunjukkan bangsa. Dah gitu aja. Tabik.***
Penulis | : | Dr drh Chaidir MM, Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) |
Editor | : | Azzumar |
Kategori | : | Nasional, Cakap Rakyat |