ROHUL (CAKAPLAH) - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Rokan Hulu mendesak Pemerintah Pusat segera merevisi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. SPKS Rohul menilai Undang-Undang ini tersebut belum menunjukan keberpihakan pemerintah pusat kepada daerah penghasil sawit.
"Undang-Undang ini harus segera direvisi karena daerah penghasil sawit seperti Rohul selama ini hanya gigit jari melihat daerah mereka kaya sawit tapi tidak ada kontribusi yang bisa ditarik untuk pembangunan daerah," cakap Ketua SPKS Rohul Yusro Fadli Kepada CAKAPLAH.COM, Kamis (21/1/2021).
Menurut Fadli, selama ini daerah penghasil sawit seperti Riau, tidak bisa menikmati Bagi Hasil Pajak dari hasil perkebunan dawit ataupun produk-produk turunannya seperti CPO. Padahal Riau adalah daerah dengan luasan perkebunan sawit terbesar di Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 833 Tahun 2019, tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Tahun 2019, dari 26 provinsi yang memiliki potensi perkebunan kelapa sawit, Propinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki perkebunan sawit paling luas, dengan luas 3.387.206 Ha atau 20,68 % dari total luas perkebunan sawit di Indonesia.
Dari luasan perkebunan sawit di Riau tersebut, Kabupaten Rokan Hulu menjadi daerah dengan luas kebun sawit terluas yakni 535.000 hektare dimana 41 persen areal perkebunan rakyat dan 59 persen HGU perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, Dldengan meningkatnya ekspor CPO serta kebijakan pemerintah mengembangkan B30 menjadikan sektor perkebunan sawit sebagai sektor primadona penyumbang devisa negara selain migas pariwisata, dan lainnya.
"Namun ironisnya daerah-daerah penghasil sawit seperti Rohul hanya bisa merasakan asap dan limbah industri sawit. Bahkan infrastruktur yang seharusnya dinikmati rakyat rusak karena aktivitas perusahaan kelapa sawit. Contohnya ruas jalan yang rusak karena aktivitas pengangkutan sawit dan CPO. Ini tentunya tidak adil bagi rakyat Rohul," tegasnya.
Untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Riau sesuai amanah UUD 1945 dan Sila ke 5 Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Revisi Undang-undang 33 Tahun 2004 menjadi suatu hal yang urgens saat ini sehingga tidak menimbulkan ketimpangan pembangunan di daerah penghasil sawit dengan daerah lainya.
"Ketimpangan pembangunan ini justru akan bermuara kepada permasalahan lainnya seperti ketimpangan sosial yang akan makin lebar sehingga ini dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah stabilitas nasional ke depannya,"
Fadli menambahkan, melalui Revisi Undang-Undang 33 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat membuka ruang bagi daerah penghasil sawit untuk mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) sektor Perkebunan Kelapa Sawit baik dalam DBH pajak sumber daya alam seperti halnya DBH Sektor Migas.
"Revisi Undang-undang 33 Tahun 2004 dengan memasukkan klausal pemberian DBH Sektor Perkebunan dan DBH Pajak SDA kepada daerah penghasil Sawit tentunya akan makin menegaskan political will Pemerintah Pusat kepada daerah. Melalui DBH ini daerah tentunya bisa berbuat lebih banyak untuk penyediaan infrastruktur bagi rakyatnya," ujarnya.
Selain merevisi UU Nomor 33 Tahun 2004 pemerintah juga bisa melakukan alternatif lain yaitu dengan menerbitkan Perpres terkait dengan DBH sektor perkebunan sawit ini.
SPKS Rohul juga berharap Pemerintah Provinsi yang memiliki perkebunan sawit yang luas juga bisa sama-sama menyuarakan tuntutan kepada pemerintah pusat terkait revisi Undang-Undang 23 Tahun 2004 ini.
Penulis | : | Ari |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Riau |