Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin
|
Jakarta (CAKAPLAH) - Pemerintah resmi membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) untuk mengoptimalkan nilai investasi jangka panjang guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin menilai pentingnya kesiapan tata kelola yang memadai agar mendukung peran LPI dalam menjamin pembiayaan pembangunan yang berkualitas.
“Kami tentu optimis atas peran LPI dalam mengelola dan memperbaiki iklim investasi tanah air. Oleh karenanya, LPI perlu didukung dengan suatu peta jalan komprehensif yang memandu langkah ke depan. Perlu dijabarkan kebutuhan, target, sektor prioritas pembangunan hingga strategi pembiayaan, baik untuk jangka menengah maupun panjang. Sehingga, fleksibilitas yang dimiliki LPI dalam mengelola dana investasi dapat dilaksanakan dengan terarah dan terukur,” tutur Puteri dalam keterangan persnya, Selasa (2/2/2021).
Pemerintah telah menyetorkan modal awal LPI melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp15 triliun sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 Tahun 2020 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN) TA 2020 lalu.
Tetapi, jumlah tersebut masih kurang dari total modal LPI yang mencapai Rp75 triliun dan rencananya akan dipenuhi secara bertahap di 2021. Atas hal tersebut, Puteri meminta pemerintah untuk merinci skema penambahan modal LPI.
“Sebagai bagian dari aset LPI, skema dan timeline penambahan modal awal ini perlu dijabarkan lebih lanjut. Sehingga, kita dapat memperkirakan kebutuhan dana kedepan. Pemenuhan modal awal ini penting karena menjadi bantalan LPI dalam mengelola risiko investasi, yaitu melalui cadangan wajib,” ungkap Puteri.
Lebih jauh, Puteri juga menyoroti rencana perlakuan insentif perpajakan atas transaksi investasi LPI.
Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI pada Senin (25/01) lalu, Kementerian Keuangan telah menyepakati bahwa rancangan peraturan pemerintah terkait perlakukan perpajakan juga akan disampaikan pada Komisi XI.
“Insentif ini dapat menjadi daya tarik bagi investor asing untuk bekerja sama dengan LPI. Tetapi, mengingat penerimaan perpajakan yang masih tertekan, kita tetap perlu pertimbangkan potensinya terhadap kas negara. Karenanya, jangka waktu pemberian insentif ini maupun proyeksi peningkatan nilai investasi yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan perlakuan perpajakan tersebut. Jangan sampai kita melepaskan penerimaan pajak yang potensial,” jelas Puteri.
Puteri memandang aspek kepatuhan, tata kelola yang baik, dan mitigasi risiko atas pengelolaan investasi juga perlu mendapat perhatian utama dalam pembentukan LPI.
Dalam hal audit, Undang-Undang Cipta Kerja mengatur bahwa laporan keuangan LPI diperiksa oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“KAP yang terpilih harus mampu melakukan audit secara komprehensif dan dengan kualitas yang memadai. Termasuk misalnya, mampu menangkap indikasi kerugian atas nilai investasi yang mungkin terjadi. Begitu pula dengan penerapan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas yang wajib dijalankan dengan baik agar dapat mencegah moral hazards.”
Menutup keterangannya, Puteri mengingatkan pentingnya perbaikan angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia untuk mendukung kiprah LPI dalam meningkatkan daya saing investasi nasional.
“ICOR kita yang masih berada dikisaran level 6. Artinya, pengelolaan investasi kita masih belum efisien. Dimana, meski investasi masuk dalam jumlah yang cukup besar, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih belum sejalan. Hal inilah yang menjadi tantangan kedepan agar perlu terus dilakukan perbaikan dari sisi kualitas SDM, sistem logistik, maupun birokrasi perizinan agar investasi yang masuk dapat diserap dengan berkualitas,” tutup Puteri.