ilustrasi
|
JAKARTA (CAKAPLAH) - Kalangan wakil rakyat di DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) Riau, memandang perlu ada kebijakan dari pemerintah pusat atas pemberian Participating Interest (PI) dalam pengelolaan sumur minyak di Blok Rokan, Riau.
DPR menilai angka Participating Interest (PI) 10 persen yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi Riau, adalah angka yang sangat kecil dan tidak pantas.
Hal itu disampaikan sebagai masukan yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, dalam rapat kerja (Panja) Migas yang akan digelar Komisi VII DPR, bersama Gubernur Riau, LAM, PT. Chevron Pasific Indonesia, PT. Pertamina dan PT. PGN pada Selasa (9/2/2021) besok.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Syamsurizal menegaskan ketentuan PI 10 persen untuk Pemerintah Daerah (Pemda) Riau melalui BUMD, bukanlah aturan yang menutup kemungkinan pemda Riau atau masyarakat Riau bisa mendapatkan hak kelola yang lebih besar.
Menurutnya, catatan sejarah sejak dimulainya kegiatan mengeksplorasi minyak di Blok Rokan oleh PT. Chevron Pasific Indonesia pada tahun 1930 hingga hari ini yang telah berusia 90 tahun, sudah seharusnya memaksa pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang berpihak bagi daerah Riau, dengan menyerahkan hak kelola Blok Rokan sebesar 30 persen.
"Memang aturannya dalam bentuk participating interest hanya 10 persen bagi BUMD, tapi itu tidak pantas selayaknya itu 30 persen. Untuk itu harus ada kebijakan jika hanya 10 persen tidak perlu Gubernur Riau lakukan perundingan selama ini karena tidak ada kebijakan yang dihasilkan," cakap Syamsurizal.
Karena besarnya sumbangsih yang telah diberikan oleh bumi Riau kepada pemerintah selama ini, dari hasil eksplorasi minyak di Blok Rokan selama ini, jika dibandingkan dengan apa yang diterima oleh Riau dari kegiatan tersebut. Terlebih lagi mengingat dana bagi hasil yang baru didapatkan pemda Riau pada tahun 1999 silam, hingga hari ini hanya sebesar 15 persen yang masih sangat jauh dari kategori pantas atau layak bagi daerah penghasil.
"Banyak alasan untuk bisa mendapatkan kebijakan itu, salah satunya mengingat hasil eksplorasi minyak yang selama ini diterima pemerintah pusat sebagai sumbangsih bumi Riau. Ditambah lagi alasan 69 tahun sejak tahun 1930 sampai 1999 Riau tidak menerima sedikitpun hasil dari minyak di Blok Rokan dalam bentuk DBH," jelasnya.
Senada dengan itu, anggota Komisi VII DPR Abdul Wahid yang membidangi langsung masalah peralihan Blok Rokan itu, mengatakan peluang bagi pemda Riau untuk mendapatkan participating interest di atas 10 persen bahkan 30 persen sangat mungkin. Melalui upaya mengedepankan pola bisnis to bisnis, tidak hanya berpegang kepada hak sebagai daerah penghasil semata.
"Kalau memang pemerintah daerah mau share yang lebih besar dari angka Participating Interest 10 persen ya harus bisnis to bisnis, artinya penguatan terhadap BUMD Riau yang harus dilakukan karena pemerintah tidak bisa masuk dalam skema bisnis. Jadi BUMD yang maju langsung, dengan dukungan pemda, minta share 30 persen dengan sistem bisnis to bisnis tadi kepada Pertamina," ujarnya.
Sedangkan terhadap kemampuan pemda Riau baik masyarakat Riau umumnya terhadap pengelolaan Blok Rokan itu, diyakini tidak perlu diragukan. Sehingga dapat dipastikan tidak ada alasan bagi daerah Riau untuk menerima begitu saja Participating Interest 10 persen atas alih kelola sumur minyak di Blok Rokan itu.
Demikian disampaikan anggota Komisi IV DPR Effendy Sianipar yang mendorong agar kesempatan tersebut tidak berlalu begitu saja.
"Tidak pantaslah kalau hanya 10 persen, karena peluang untuk mendapatkan hak kelola lebih besar itu ada. Kemungkinannya pemerintah melalui pertamina juga bisa memberikannya. Jadi harusnya tidak ada alasan untuk menerima begitu saja 10 persen, baik itu pemda Riau ataupun masyarakat Riau dalam hal SDM maupun finansial kita yakin mampu mengelolanya," ungkap Effendy.***