JAKARTA (CAKAPLAH) - Sidang pledoi (Pembelaan) atas terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte yang menolak dituntut hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, atas penerimaan suap Rp6,1 miliar dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi, pada perkara penghapusan daftar pencarian orang (DPO) atau penghapusan red notice, digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021).
Pada pledoinya Jenderal bintang dua itu menyatakan menolak tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) secara keseluruhan karena dirinya mengaku hanya sebatas korban kriminalisasi yang menyebabkan malapraktik dalam penegakan hukum.
"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum," ucap Napoleon dalam pembelaannya kepada Majelis Hakim.
Kriminalisasi yang terjadi kepadanya, diungkapkan Napoleon Bonaparte, sebagai bentuk malapraktik yang harus dilakukan demi menjaga citra institusi penegak hukum di Indonesia. Oleh karena tekanan pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan.
"Masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan yang telah menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat gibah. Sehingga memicu malapraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," ungkapnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte selama 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta, karena dinilai terbukti menerima suap senilai SGD200 ribu dan USD270 ribu atau senilai Rp 6,1 miliar dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Suap tersebut sebagai imbalan Napoleon Bonaparte atas perbuatannya menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Menuntut Majelis Hakim untuk mempidana terdakwa atas nama Napoleon Bonaparte, selama 3 tahun penjara, denda Rp100 juta dan 6 bulan kurungan penjara," ujar JPU membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).**
01
02
03
04
05
Indeks Berita