Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
|
(CAKAPLAH) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai keputusan pemerintah untuk menarik royalti putar lagu di restoran, kafe, hotel, dan tempat usaha lainnya tidak pas dilakukan saat ini.
Sekretaris Jendral PHRI Maulana Yusran mengungkap masih banyak usaha, terutama perhotelan dan restoran, yang belum pulih dari dampak pandemi.
"Pungutan itu kalau sasarannya hotel restoran ya enggak pas di situasi sekarang, bukan masalah besar kecil. Kalau bicara pariwisata, hotel dan resto situasi sekarang lebih besar pengeluaran dari pendapatan," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/4).
Untuk pungutan hotel, ia menyebut sebetulnya aturan bukan barang baru. Sejak 2016, ia menyebut pihaknya sudah memiliki kesepakatan dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Pembayaran royalti dihitung sejumlah kamar yang dimiliki hotel. Walau tak dapat merinci lebih jauh terkait mekanisme pungutan yang dilakukan LMKN, namun ia menyebut masih banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah sebelum memungut royalti.
Misalnya saja, ia menyebut ada masalah internal kala dilakukan transisi kelembagaan pemungut royalti dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) menjadi LMKN pada 2014 menuju 2016.
Dari pengalamannya, mekanisme penarikan royalti tidak sederhana, dari merumuskan kewenangan lembaga pemerintah, persetujuan dengan pemilik cipta, hingga pungutan ke dunia usaha yang mungkin memiliki dampak ke pelanggan.
Dia mengingatkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan hingga terperinci, jangan sampai memberatkan usaha yang sebetulnya tidak mendatangkan pendapatan dari pemutaran lagu.
Maulana menyebut berbagai fasilitas hiburan hotel yang disediakan biasanya sudah membayarkan royalti karena menggunakan penyedia jasa legal. Sehingga, ia tidak setuju jika hotel harus membayar dua kali.
"Kami sampaikan lagu diputar itu kan lagu yang dibeli bukan bajakan, yang dibeli sudah melalui kanal tertentu yang berbayar. Itu harus dipikirkan karena memberatkan," kata dia.
Ia menilai pemerintah tidak boleh memukul rata semua usaha, untuk usaha yang tidak mendatangkan pendapatan (revenue) dari pemutaran lagu, seharusnya tidak mendapat perlakuan sama dengan bentuk usaha yang mengandalkan musik, seperti karaoke dan konser.
Seperti restoran dan hotel, ia menyebut pemutaran lagu hanya pelengkap guna menghidupkan suasana dan bukan lagu yang dijual kepada pelanggan.
Jika nanti akan mulai memungut royalti hingga ke restoran kecil, ia menyebut tidak boleh ada diskriminasi terhadap usaha lain. Taksi misalnya yang juga memutar lagu juga seharusnya membayarkan royalti.
"Dulu yang disasar hotel besar saja, sekarang restoran, bagaimana dengan taksi? Apa itu sudah konkret?" ujarnya.
Idealnya, ia menyebut memang pemilik cipta karya seni mendapatkan royalti dari pemakaian karya mereka, namun hingga saat ini dia menilai masih banyak yang harus dibenahi pemerintah secara internal sebelum ketentuan diberlakukan.
Ketua Badan Pengurus Daerah PHRI Sutrisno Iwantono menyebut pada prinsipnya PHRI mengikuti peraturan yang ditetapkan pemerintah. Soal royalti, ia menyatakan masih mempelajari hal tersebut.
Tapi ia menyayangkan keputusan diambil saat ini, ketika usaha masih susah, bila dipaksakan ia khawatir usaha bakal kian terpuruk. Ia meminta pemerintah untuk mencari waktu yang lebih tepat ketika usaha sudah pulih dari dampak virus corona.
"Kurang tepat dari sisi waktu walau karena kami memutar lagu orang ya ada kewajiban itu (bayar). Cuma sekarang lagi susah, pandemi, ekonomi masih terpuruk," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatur pembayaran royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait yang digunakan para pengguna lagu atau musik di karaoke, bioskop, restoran, kafe, pub, kelab malam dan diskotek.
Kewajiban ia tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Musik. Dalam beleid yang diteken Jokowi pada 30 Maret lalu tersebut, kewajiban tertuang dalam Pasal 3 ayat 1.
"Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak," kata beleid tersebut seperti dikutip.
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Cnnindonesia.com |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Serba Serbi |