
![]() |
(CAKAPLAH) - Sejak Junta Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil pimpinan Daw Aung Saan Suu Kyi, kekerasan semakin meningkat terhadap demontran yang menentang militer menggulingkan pemerintahan sipil. Sudah tercatat lebih kurang 600 demontran dan warga sipil meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Namun seiring perkembangan yang terjadi di Myanmar, militer Myanmar tidak lagi berhadapan dengan warga sipil yang menentang Junta Militer, namun juga berhadapan dengan tentara tentara pemberontak yang menentang pemerintahan militer yang dikuasai oleh Jenderal Min Aung Hlaing. Hampir 10 tahun pemerintahan sipil berjalan hingga akhirnya Junta melakukan kudeta militer pada 1 Februari 2021 yang lalu.
Konflik yang terjadi saat ini tidak lagi melibatkan warga sipil dengan Junta Militer, tapi sudah bergeser yang melibatkan tentara pemberontak yang selama ini ingin memperjuangkan kemerdekaan dari pemerintahan pusat (Naypyidaw). Di Myanmar, banyak etnis-etnis yang selama ini ingin dan telah berjuang untuk kemerdekaan seperti etnis Karen yang terus melakukan pemberontakan terhadap militer Myanmar yang umumnya dikuasai dari etnis Burma. Kelompok minoritas Karen sejak tahun 2010 melakukan perlawanan terhadap militer Myanmar di perbatasan Thailand-Myanmar. Terbaru pasca kudeta militer, etnis minoritas yang menentang Junta militer telah mulai melakukan perlawanan terhadap kekuatan Junta militer.
Di negara bagian Shan, kantor polisi diserang oleh aliansi tentara etnik yang menolak dilakukannya kudeta militer. Akibat penyerangan tersebut 14 polisi Myanmar tewas. Aliansi tentara etnis tersebut terdiri dari tentara Arakan, tentara pembebasan Nasional Ta’ang dan tentara aliansi demokratik Nasional Myanmar yang bergabung menentang kudeta militer di Myanmar.
Ancaman perang saudara sangat dikhawatirkan akan terjadi, jika kelompok-kelompok etnis yang ada di Myanmar bergabung dan menentang kekuasaan Junta militer. Anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Daw Aung Saan Suu Kyi di pengasingan telah mengumumkan rencana membentuk pemerintahan bersatu nasional yang terdiri dari kekuatan etnis-etnis minoritas yang selama ini menentang kekuasaan pemerintahan di Naypyidaw, Myanmar.
Dalam hal Rekonsiliasi Nasional, pemerintahan militer belum dapat menemukan jalan yang terbaik dengan etnis-etnis yang ada di Myanmar dan terus memperjuangkan kemerdekaan dan minimal perjuangan otonomi khusus. Etnis-etnis minoritas yang ada di Myanmar seperti etnis Karen, Rohingya, Shan, Mon dan Kachen masih tetap menginginkan kemerdekaan terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat di Naypyidaw. Dominasi etnis Burma yang menguasai pemerintahan di Myanmar telah menimbulkan disharmonisasi hubungan diantara etnis-etnis yang ada.
Sebutan Burma oleh rezim Junta Militer yang berganti nama dengan Myanmar didasarkan agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari negara Myanmar. Etnis Burma berasal dari Tibet yang merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Selain etnis Burma yang mayoritas, juga terdapat etnis-etnis seperti Karen, Rohingya, Kachen, Arakan, Naga, Mon dan Shan (Siam dalam bahasa Thailand). Saat penjajahan Inggris, etnis-etnis yang ada di Myanmar berjuang untuk satu tujuan yaitu mencapai kemerdekaan.
Jendral Aung San bersama U Nu adalah tokoh utama dalam memperjuangkan Kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar) dari penjajahan Inggris. Sebagaimana diketahui bahwa, Burma merdeka pada 4 Januari 1948 dari jajahan Inggris. Sebutan Burma yang selama ini dikenal, oleh rezim Junta Militer diganti nama dengan sebutan Myanmar. Militer Myanmar tidak hanya berhadapan dengan pemerintahan sipil yang telah di kudeta pada awal Februari 2021 yang lalu, juga Junta militer berhadapan dengan kelompok-kelompok seperatis yang menginginkan kemerdekaan dan pisah dari kekuasaan Myanmar.
Selain etnis Burma yang mayoritas di negara tersebut, juga terdapat etnis-etnis lainnya seperti Bamar, Karen, Kayah, Rohingya, Kachin, Chin, Arakan, Naga, Mon dan Shan (Siam dalam bahasa Thailand) serta etnis Rohingya yang menempati wilayah di Provinsi Rakhine, Myanmar Barat. Saat penjajahan Inggris, etnis-etnis yang ada di Burma berjuang untuk satu tujuan yaitu mencapai kemerdekaan dari koloni Inggris, tidak terkecuali dari etnis Rohingya.
Menurut versi pemerintah Myanmar yang berkuasa, etnis Rohingya tak diakui sebagai salah satu etnis yang sah di Myanmar, walaupun sebelum kemerdekaan Burma (Myanmar), etnis Rohingya juga turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan negara tersebut. Rekonsiliasi nasional di Myanmar masih belum berjalan dengan baik dan boleh dikatakan gagal semenjak kudeta militer tersebut.
Etnis Rohingya tidak memiliki sejarah memberontak terhadap pemerintah pusat di Naypyidaw, berbeda dengan etnis-etnis lainnya seperti halnya etnis Karen yang selalu menentang pemerintah pusat dan hingga kini masih terus berjuang dengan mengangkat senjata serta menginginkan otonomi khusus yang didominasi oleh etnis Burma yang mayoritas. Perjuangan dari etnis minoritas seperti Karen ini lebih bertumpu disepanjang perbatasan antara Thailand dan Myanmar.
Etnis Rohingya di Myanmar termasuk etnis yang tidak pernah menuntut otonomi khusus, apalagi menginginkan kemerdekaan terpisah dari pemerintah pusat di Rangoon ibu kota lama Burma (sekarang Naypyidaw). Berbeda dengan etnis-etnis lainnya, katakanlah seperti etnis Karen, Kachin yang minoritas dan selalu mengangkat senjata untuk memperjuangkan otonomi khusus maupun kemerdekaan dari pemerintah pusat. Dalam perkembangan sejarah modern Myanmar (Burma), etnis Rohingya bukanlah etnis yang baru mendiami wilayah Myanmar Barat (penduduk illegal seperti pengakuan dari pemerintah Myanmar).
Etnis Rohingya menempati di negara bagian (Provinsi) Rakhine, Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Teluk Benggala Bangladesh dan dipisahkan oleh sungai Naf yang memisahkan antara negara Myanmar dan Bangladesh. Secara kultural, etnis Rohingya berasal dari India dan Bangladesh yang umumnya beragama Islam, berbeda dengan etnis mayoritas Burma yang beragama Buddha.
Oleh sebab itu, Junta Myanmar selain berhadapan dengan kelompok sipil yang tidak bersenjata, namun saat ini pula Junta Militer akan berhadapan dengan apa yang dinamakan sebagai Pemerintahan Bersatu Nasional yang di dalamnya bergabung beberapa kelompok bersenjata yang terdiri dari beberapa etnis yang ada di Myanmar yang selama ini menentang kekuasaan militer Myanmar dan menginginkan kemerdekaan pisah dari Myanmar.
Ancaman perang saudara tidak dapat dihindari jika Junta Militer Myanmar masih mengedepankan pendekatan militer terhadap para demontran yang menentang kudeta militer terhadap Pemerintahan Sipil. Rekonsiliasi Nasional merupakan suatu keniscayaan menuju perdamaian di Myanmar.
Penulis | : | Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA, alumni Ekonomi-Politik Internasional, UKM/Widyaiswara di BPSDM Provinsi Riau |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Internasional |










































01
02
03
04
05




