(CAKAPLAH) - Kelapa sawit sudah menjadi isu sentral, terkhusus setelah diberlakukannya B-30 (bauran/blending) 30% minyak sawit dengan 70% solar. Dampaknya adalah sangat mempesona, harga CPO (minyak sawit mentah) dunia melambung tinggi (tertinggi pada periode 20 tahun terakhir).
Tidak ada teori lain mengapa harga CPO sampai melambung tinggi kecuali hanya satu, serapan domestik CPO adalah control harga CPO dunia. Harga TBS Petani sawit yang mengelola 42% perkebunan sawit Indonesia pun terpapar positif. Dua kali penghujung bulan Ramadan pun berbuah senyum bagi petani sawit di 22 Provinsi Perwakilan APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia). Padahal Biosolar masih di 30 persen, belum lagi jika ke B40 sampai B100, Biobensin, dan bio-Avtur, dan banyak lagi boi-bio Energi Baru Terbarukan (EBT), jadi hutan dunia terselamatkan dengan tanaman kelapa sawit, maka itu Sawit Indonesia adalah Anugerah untuk Dunia, semakin terpesona.
Dengan asumsi-asumsi yang terjadi pada dua tahun terakhir dan masih moratoriumnya korporasi dalam pembukaan lahan baru (Inpres No 8 Tahun 2018), semakin menambah prospek perkebunan kelapa sawit rakyat. Namun timbul gejolak, karena ingin disebut sebagai Petani Sawit Terpesona dan tergiur dengan kenaikan harga TBS tadi, membuat masyarakat banyak gelap mata membeli kebun sawit atau tanah kosong untuk dijadikan kebun sawi. Dan sedihnya kebanyakan berujung terperosok (bukan terpesona), sebagian ke rumah sakit dan sebagian lagi ke aparat hukum. Mengapa demikian? Karena kebun atau tanah yang dibeli tersebut bukan panen TBS tapi panen masalah.
Nah untuk itu, jika ingin membeli kebun sawit atau membeli lahan untuk dijadikan kebun sawit, dan supaya menjadi Petani yang terpesona. Untuk keinginan membeli kebun sawit siap panen ini tipsnya, harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
Pertama, Konflik Vertikal, yaitu status kawasan kebun sawit tersebut, kebun yang akan kita beli apakah kawasan hutan atau tidak (non-kawasan hutan). Konflik vertikal ini adalah konflik dengan negara sebagai pemangku kawasan hutan. Untuk mengetahuinya mudah sekali, dengan mendowload aplikasi pintar GPS di HP Android yang saat ini sangat banyak, semisal aplikasi Avenza. Atau bisa berkordinasi ke Dinas Kehutanan/Perkebunan setempat atau bisa langsung menghubungi perwakilan DPD APKASINDO yang tersebar di 144 Kabupaten Kota di 22 DPW Provinsi APKASINDO, kami siap membantu. Memang saat ini sudah terakomodir untuk sawit dalam Kawasan hutan atas dasar keterlanjuran, didenda melalui PP UU Cipta Kerja (UU Omnibuslaw), namun tetap saja menambah biaya karena harus kena denda sekian rupiah per hektare (jika penanaman sebelum Oktober 2020).
Kedua, Konflik Horizontal. Konflik Horizontal ini adalah konflik antara petani dengan petani, petani dengan masyarakat adat, dan petani dengan pemegang izin Kawasan konsesi/HGU/HPH. Konflik horizontal ini lebih pelik dan ribet dibanding dengan konflik Vertikal, apalagi dengan konflik pemegang izin konsesi HGU atau HPH, pembeli akan nompang bengkak saja. Untuk mensiasati jangan sampai kejadian membeli kebun yang berkonflik horizontal ini sebaiknya bertanya ke aparat desa atau tetangga kebun yang akan dibeli. Dan untuk menghindari konflik dengan pemegang konsesi harus bertanya ke Dinas Perkebunan atau Kehutanan, jangan bertanya ke tetangga kebun, sebab jawabannya akan selalu bias (mencari teman sependeritaan).
Ketiga, Cek lokasi kebun ke akses jalan umum. Kebun yang berlokasi jauh di pedalaman cenderung menambah biaya. Seperti biaya pembuatan jalan, perawatan jalan dan Apalagi jika harus melewati jalan perkampungan, ini akan lain lagi ceritanya. Keempat, Jarak kebun dengan PKS. PKS (pabrik kelapa sawit) adalah tujuan dari kita berkebun sawit. Jika jarak kebun ke PKS jauh (melebihi 10-20 km) maka akan menambah biaya produksi yang cukup lumayan. Idealnya ongkos memindahkan TBS sampai ke PKS maksimum Rp. 150/kg TBS.
Kelima, Surat Kepemilikan Kebun. Surat tanah di tengah masyarakat seperti SKGR (surat keterangan ganti rugi) atau SKT (surat keterangan tanah), kedua surat ini adalah sah karena diteken para sempadan tanah dan diketahui/diverifikasi oleh aparat desa/kelurahan melalui tanda tangan masing-masing. Alangkah lebih baik memang jika sudah sertifikat hak milik. Yang perlu diperhatikan di SKT dan SKGR adalah letak posisi tanah, sering terjadi salah meletak posisi tanah.
Keenam. Jenis tanah. Jika bisa memilih, tentu kita harus memilih tanah yang sangat subur (S1), atau paling tidak S2 (subur dengan sedikit faktor pembatas). Ketujuh adalah Tidak rawan banjir. Menentukan tidak rawan banjir harus menggunakan GPS (leveling), atau dapat juga dilihat dari jenis vegetasi yang dominan ditanah yang akan kita beli.
Kedelapan, Luasan Tanah Yang dibeli. Idealnya jika kita berkebun sawit dengan tujuan pekerjaan utama, atau menambah penghasilan atau tabungan masa tua/pensiun dan kita tidak tinggal diseputaran kebun, idealnya luas yang dibeli adalah 6-25 hektar. Namun jika kita mengerjakan sendiri kebun yang kita beli tersebut dan domisili di sekitar kebun, luasan 4 ha sudah cukuplah, dengan asumsi penghasilan bersih 1,2 juta/ha/bulan (jika memenuhi kriteria GAP, good agricultural practices).
Kesembilan, Asal dan jenis bibit sawit yang sudah tertanam. Untuk memastikan sumber bibit sawit memang hal yang rumit karena pemilik kebun yang akan dibeli tersebut pasti berdalih ASLI. Jika pemilik kebun masih memiliki sertifikat sumber bibit/kecambah, maka dapat menghubungi produsen bahan tanaman tersebut (jika arsip masih ada), semisal PPKS Medan, Damimas atau dapat menghubungi perwakilan APKSINDO setempat untuk memastikan kebenarannya. Bagaimana jika samasekali tidak memiliki dokumen sertifikat bibit? Nah jika tanamannya sudah berumur panen (TM=Tanaman Menghasilkan), maka dapat dilihat dari brondolan TBS, jika daging buahnya tebal dan cangkangnya kecil (jenis Tenera) maka dapat di indikasikan pohon sawit nya adalah hasil persilangan DxP (hybrid). Cara pengambilan brondolan ini harus diambil secara acak, minimum sampel brondolan yang diambil hasilnya 80% jenis Tenera (DxP). Misalnya jika 2 Ha (260 batang), maka Brondolan yang diambil harus 25% dari total populasi (65 pohon). Bibit yang tidak hybrid, hasil panennya hanya 30% dari produksi normal selama 25 tahun masa produktif sawit.
Kesepuluh. Aspek Agronomis. Kebun yang akan kita beli harus kita perhatikan juga aspek perawatan kebun oleh pemilik sebelumnya. Pernahkah dipupuk, ditunas, jarak tanam, populasi tanaman per hektar, badan jalan panen dan batas sempadan. Yang perlu disoroti adalah jarak tanam, banyak yang mengasumsikan semakin banyak populasi per hektar maka semakin banyak hasilnya. Hal ini salah dan fatal. Pada umumnya jarak tanam kelapa sawit adalah 8x9m atau 9x9 m, namun dengan menggunakan metode tertentu dapat juga 7,8 x 9m. Jika kecil dari jarak tanam ini sebaiknya jangan dibeli, sekalipun bibitnya hybrid (DxP), dengan jarak tanam yang terlampau sempit maka tidak akan pernah menghasilkan panen yang optimum. Populasi per hektar nya juga harus juga kita cermati. Kadang-kadang luas kebun 10 ha, namun populasinya hanya setara dengan luasan 6 hektar, karena sawitnya banyak yang mati atau rusak, sementara ketika membeli kebun tersebut yang dihitung luasnya tetap 10 hektar.
Inilah Tipsnya jika ingin membeli kebun yang sudah ada sawitnya, Namun Jika membeli tanah Kosong untuk kemudian ditanami sawit, cukup fokus ke nomor 1 sampai 8. Agribinis kelapa sawit adalah investasi jangka Panjang (20-25 tahun), jangan terburu-buru memutuskan, jika tidak hati-hati maka panen permasalahanpun akan datang, sekalipun tanpa dipupuk.
Penulis | : | Dr (cn) Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi |