PEKANBARU (CAKAPLAH) - Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Donna Fitria di persidangan perkara dugaan korupsi anggaran rutin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak tahun 2013-2017 dengan terdakwa Yan Prana Jaya Indra Rasyid, Senin (31/5/2021). Donna disebut sebagai saksi kunci perkara yang merugikan negara Rp2,8 miliar itu.
Donna merupakan mantan Bendahara Pengeluaran di Bappeda Siak. Namanya berulang kali diungkap para saksi karena dirinya yang melakukan pemotongan 10 persen pada setiap perjalanan dinas yang dilakukan pegawai Bappeda Siak di masa kepemimpinan Yan Prana.
Donna yang hadir di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru mengatakan, Yan Prana menjadi Kepala Bappeda Siak sejak 2012 hingga akhir 2017. "Ketika itu saya jadi bendahara," kata Donna di hadapan majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina.
Donna mengatakan, pemotongan uang perjalanan dinas sudah ada sebelum Yan Prana jadi Kepala Bappeda Siak. Ketika itu, Donna belum menjadi bendahara, dan uang perjalanan dinasnya juga ikut dipotong. "Saya mengalaminya, saat melakukan perjalanan dinas," kata Donna.
Hakim menyentil Donna terkait pemotongan dana perjalanan dinas, di masa Yan Prana. Menurut Donna, adanya pemotongan 10 persen disampaikan pada rapat di tahun 2012, juga di 2014. Rapat itu dihadiri seluruh pegawai Bappeda.
Namun pada 2012, Donna belum menjabat sebagai bendahara tapi jabatan itu dipegang Rio Arta. Ia menjadi bendahara pada 2013. "Pemotongan itu, melanjutkan sebelumnya," ucap Donna.
"Ketika ada pemotongan, ada yang keberatan?" kata hakim.
Donna menyatakan tidak ada yang bertanya, maupun menyatakan keberatan secara langsung. "Saat itu ada keberatan tapi keberatannya ngomong-ngomong gitu aja di luar rapat," ungkap Donna.
Dana perjalanan dinas yang dipotong 10 persen dipegang oleh Donna selaku bendahara. Setiap bulan, dana itu diminta oleh Yan Prana dengan jumlah bervariasi, ada Rp5 juta atau Rp10 juta.
Untuk apa uang itu diminta oleh Yan Prana, Donna menyatakan tidak mengetahuinya. "Tidak tahu saya untuk apa uang itu yang mulia," tutur Donna.
Ketika Donna tidak lagi menjabat sebagai bendahara, dana perjalanan dinas yang dipotong diserahkan kepada Yan Prana. "Ada catatannya?" kata hakim.
Donna menyatakan semua perjalanan dinas dicatat dan disimpan dalam komputer. Rekapan dana itu yang setiap tahun diserahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tapi tidak disertai pemotongan 10 persen.
Terkait pemotongan 10 persen, dicatat dalam sebuah buku. "Bukunya ada?" kata hakim lagi.
Donna menyatakan, buku itu tidak lagi ada pada dirinya karena sudah dimusnahkan. Menurutnya, Yan Prana memerintah agar dirinya membuang catatan tersebut setalah tidak lagi menjabat bendahara. "Sudah dibuang," ucap Donna.
Mendengar itu, hakim jadi penasaran dan mempertanyakan kenapa sampai dibuang. "Kata Pak Yan, kalau sudah selesai dibuang saja," ucap Donna.
Hakim mempertanyakan bagaimana cara Donna membuang catatan tersebut. "Disobek-sobek gitu yang mulia," tegas Donna.
Terkait rekapitulasi biaya perjalanan dinas yang tersimpan di dalam komputer. "Itu rekapan saya sendiri selama setahun. Yang di komputer tidak ada pemotongan 10 persen," ucap Donna.
Dalam persidangan itu, seseorang bernama Suhartini dihadirkan untuk membuka file rekapan perjalanan dinas di komputer yang dibawa jaksa sebagai barang bukti. Suhartini merupakan staf Donna tapi data di komputer itu tidak bisa dibuka.
Donna mengatakan rekapan itu ada setiap tahun. Donna mengaku membuat kembali catatan pemotongan dinas setelah adanya penyelidikan dari pihak kejaksaan. Pemotongan itu berdasarkan catatan yang di komputer.
Berdasarkan BAP total uang pemotongan perjalanan dinas yang diberikan ke Yan Prana totalnya Rp400 juta lebih. "Uang pemotongan itu, dikatakan Pak Yan, untuk MTQ, untuk THR honorer dan CS. Ini saya tahunya dari Kabid-kabid yang mulia," jelas Donna
Sempat terjadi ketegangan antara ketika penasehat hukum Yan Prana mempertanyakan tentang rekapan tahun 2013-2015 yang kembali dibuat Donna saat penyidikan di Kejaksaan Tinggi Riau. Donna menyatakan rekapan itu dibuat atas permintaan penyidik.
Penasehat hukum (PH) terdakwa, Alhemdri, menyatakan keberatan kalau rekapan itu disertakan sebagai bukti di pengadilan karena dinilai tidak orisinil. Akhirnya hakim meminta tim penasehat hukum menyampaikan keberatan tersebut dalam pledoi.
Penasehat hukum juga menyatakan Donna bisa terjerat dalam kasus tersebut. "Saya memang sudah jadi tersangka dalam kasus ini," tegasnya.
Selain Donna, JPU juga menghadirkan saksi Ade Kusendang yang juga merupakan bendahara di Bappeda Siak. Dia mengaku adanya pemotongan 10 persen.
Setiap pemotongan itu, dicatat dalam sebuah buku. Ketika ditanya apakah buku tersebut ada, Ade menyatakan sudah memusnahkannya. "Sudah tidak ada. Sudah dibakar atas perintah terdakwa," kata Ade.
Ade juga menyebutkan, dirinya membuat rekap perjalanan dinas setiap tahunnya. Rekap itu yang diserahkan ke BPK tanpa ada pemotongan 10 persen. "Di penyidik, ditambah kolom pemotongan 10 persen," ungkap Ade.
Atas keterangan saksi, hakim meminta tanggapan dari Yan Prana. Sekdaprov Riau non aktif itu menyampaikan beberapa keberadaan. "Saya banyak keberatan," tegas Yan Prana.
Keberatan pertama, kata Yan Prana, dirinya tidak ada melakukan rapat terkait pemotongan perjalanan dinas pada 2012 dan 2014. Pada 2014, ia menyatakan hanya menyampaikan usulan dari Donna terkait pemotongan.
"Saya hanya menyampaikan usulan dari Donna terkait pemotongan. Saya yang diminta sampaikan karena dia kan hanya menjabat bendahara," tutur Yan Prana.
Yan Prana juga membantah menerima uang dari pemotongan perjalanan dinas dari Donna. Begitu juga uang sisa makan minum atau ATK. "Saya tidak pernah terima uang. penggunaannya juga tidak pernah tahu," kata Yan Prana.
Sementara itu, Donna menyatakan tetap pada keterangan. "Saya tetap pada keterangan saya yang mulia," tegas Donna.
Pada persidangan itu, jaksa juga menghadirkan 6 saksi lain. Mereka merupakan staf dan pegawai honorer di Bappeda Siak.
Berdasarkan dakwaan JPU disebutkan, Yan Prana Jaya bersama-sama Donna Fitria (perkaranya diajukan dalam berkas perkara terpisah) dan Ade Kusendang, serta Erita, sekitar Januari 2013 hingga Desember 2017 melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain sebesar Rp2.896.349.844,37.
Berawal pada Januari 2013, saat terjadi pergantian bendahara pengeluaran dari Rio Arta kepada Donna, terdakwa Yan Prana mengarahkan untuk melakukan pemotongan biaya sebesar 10 persen dari setiap pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas.
Donna Fitria sebagai bendahara pengeluaran, lantas melakukan pemotongan anggaran perjalanan dinas Bappeda Kabupaten Siak tahun anggaran 2013 sampai dengan Maret 2015 pada saat pencairan anggaran SPPD setiap pelaksanaan kegiatan.
Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat dalam Surat Pertanggungjawaban (SPj) perjalanan dinas sebesar 10 persen. Uang yang diterima masing-masing pelaksana kegiatan, tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas.
Pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen tersebut dilakukan setiap pencairan. Uang dikumpulkan dan disimpan Donna selaku bendahara pengeluaran di brangkas bendahara, Kantor Bappeda Kabupaten Siak
Donna, mencatat dan menyerahkan kepada terdakwa Yan Prana secara bertahap sesuai dengan permintaannya. Akibat perbuatan terdakwa Yan Prana negara dirugikan Rp2.895.349.844,37.
Tidak hanya perjalanan dinas, dalam kasus ini juga terjadi penyimpangan dalam mengelola anggaran atas kegiatan pegadaan alat tulis kantor (ATK) pada Bappeda Kabupaten Siak TA 2015 sampai dengan TA 2017 dan melakukan pengelolaan anggaran makan minum pada Bappeda Kabupaten Siak TA 2013 - 2017.
Atas kasus itu, JPU menjerat Yan Prana dengan Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3, Pasal 10 huruf (b), Pasal 12 huruf (f) Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis | : | CK2 |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Kabupaten Siak |