Pilih orang pintar atau jujur? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada diri kita untuk memilih mitra atau teman, maka saya yakin kita akan memilih orang yang jujur. Meskipun saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi seakan menjadi kunci utama kesuksesan pribadi ataupun suatu bangsa, namun krisis kepercayaan hari ini merupakan persoalan yang tidak dapat disepelekan. Bahwa kejujuran lebih utama dari pada kepintaran merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Orang pintar yang tidak jujur akan membawa kerusakan lebih besar karena kepintarannya. Maka tepat yang dikatakan Bung Hatta tempo dulu: “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur sulit diperbaiki.”
Lihatlah negeri ini. Fakar dan ahli berserakan. Tapi banyak persoalan tidak mendapatkan solusi dan jawaban. Politik yang berkecamuk, hukum yang diragukan, ekonomi jalan di tempat, korupsi makin menjadi, dan banyak lagi persoalan yang antri butuh penyelesaian. Sehingga, terjadi krisis kepercayaan baik terhadap individu tokoh maupun terhadap instansi. Cobalah tunjuk hidung sendiri. Siapa sekarang yang bisa kita percaya? Instansi apa sekarang yang benar-benar tanpa cela? KPK saja yang dipercaya sangat ketat dalam hal integritas, masih saja kecolongan. Di awal tahun ini sudah beberapa oknum pegawai KPK yang diproses hukum dan etik. Belum lagi polemik yang belum usai di balik puluhan pegawai senior yang tidak lulus TWK (Tes Wawasan Kebangsaan).
Rekrutmen berbagai bidang hari ini menuntut integritas. Namun, jika nilai integritas seseorang ditentukan dari hasil subjektifitas tanpa parameter yang jelas dan mengingkari nilai objektif keadilan, maka pribadi yang berintegritas tidak akan ditemukan alias tersingkir ke pinggiran. Tidak hanya itu, lambat laun negeri ini menuju pada kepunahan integritas.
Jika kita amati, integritas lebih dekat dengan sifat jujur. Namun integritas memiliki makna yang lebih luas berupa kesatuan kebaikan secara integral. Pribadi yang berintegritas bukanlah gelar akademik atau pangkat dan jabatan. Integritas merupakan sematan dari banyak orang yang bersumber dari nurani yang murni dan melalui interaksi yang panjang. Tidak ujuk-ujuk beberapa hari muncul ke permukaan atau lulus tes multiple choice, lalu dicap sebagai orang yang berintegritas.
Tidak sulit kita mencari contoh. Tidak asing terdengar banyak kisah teladan yang menyejarah. Pada zaman Tabi’in, Khalifah (Penguasa Negara) Umar bin Abdul Aziz memadamkan lampu ruangan kerja ketika anaknya datang di malam hari. Umar meniup lampu teplok yang merupakan satu-satunya sumber penerangan di ruangan itu. Di kegelapan sang anak bertanya, “mengapa?” Khalifah menjawab tegas, “Kau datang dalam urusan pribadi. Sementara minyak lampu ini bersumber dari kas negara.”
Sebegitukah mereka? Ya. Mereka merupakan pelaku sejarah. Kisah mereka patut diulang terus menerus untuk menjadi teladan. Lalu di zaman ini, bagaimana kita mengukur integritas diri? Secara sederhana, mengukur integritas diri yaitu dengan cara mengenali diri sendiri. Pertama, sejauh mana kita memahami baik dan buruk, pantas atau tidak pantas, hak dan bukan hak. Kedua, sejauh mana kita mampu bertanggung jawab secara penuh terhadap kewajiban tanpa ada yang dikurangi dan mengambil hak tanpa melebihi.
Persoalannya adalah, integritas seseorang terciderai oleh penghianatan kepada nurani diri sendiri dan mencari dalil pembenaran terhadap penghianatan itu. Sesungguhnya kita dapat berhakim kepada hati nurani sendiri. Dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Namun, karena nafsu tanpa kendali akan melahirkan dalil pembenaran sehingga hati nurani menjadi mati.
Setidaknya, ada 3 tingkatan integritas seseorang, yaitu: Pertama, integritas tinggi. Orang-orang yang berintegritas tinggi betul-betul selektif dengan ucapan dan perbuatannya. Menunaikan tugas dan tanggung jawab serta kewajibannya secara total. Lalu, dia mengerti mana yang hak dan mana yang bukan haknya. Jika dia seorang petani, maka dia akan menanam bibit yang baik di atas lahan sendiri. Menyirami dengan air dan pupuk milik sendiri. Membayar upah para pekerja tanpa menunda dan mengurangi. Jika dia seorang pedagang, maka dia tidak mengurangi timbangan dan tidak menyembunyikan cacat pada barang. Jika dia seorang kontraktor, maka dia akan memenuhi ukuran, bentuk dan merek suatu bahan bangunan. Jika dia seorang karyawan, maka dia tidak akan terlambat datang ke kantor dan tidak akan pulang sebelum waktunya. Bahkan, kita dapat menjumpai orang yang tidak mau menggunakan printer dan mesin foto copy kantor untuk keperluan pribadinya. Dia tidak mau menggunakan kendaraan dinasnya untuk kepentingan lain. Jika dia terbentur dengan sistem yang memaksa untuk melanggar prinsip hidupnya, maka dia akan memilih mundur dari jabatannya. Masa depan mereka penuh dengan keberkahan. Keluarga dan generasi ke depan terjamin dari makanan buruk dan haram. Kepribadian ini juga merupakan aset bagi lembaga atau instansi. Karena seiring waktu ia akan terus belajar mengembangkan diri dan pantang menghianati.
Kedua, integritas sedang. Orang-orang yang berintegritas sedang hampir mendekati tipe integritas tinggi. Dia akan berupaya melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Sangat teliti memilah mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan. Dia berusaha menghindari yang subhat apalagi haram. Namun ia kadang berdamai pada kondisi tertentu dan dalam persoalan yang kecil. Jika terbentur kepada sistem yang memaksa dia mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, maka ia akan menyalurkannya untuk keperluan sosial. Dia tidak menggangap pemberian itu sebagai sedekah. Dia hanya mengalihkan yang bukan haknya untuk keperluan orang lain yang dianggap membutuhkan. Tipe ini tentu sudah sangat pantas mendapat apresiasi di zaman ini. Jumlahnya pun belum banyak. Jika diupgrade sedikit, mereka akan dapat digolongkan menjadi pribadi yang berintegritas tinggi.
Ketiga, integritas rendah. Orang-orang yang berintegritas rendah secara sadar mengetahui mana yang hak dan bukan hak. Mereka berusaha untuk menunaikan kewajibannya sesuai ketentuan. Dan mereka tidak memiliki upaya untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Namun, terkadang mereka lalai dalam tugas dan kewajibannya. Jika ada kesempatan menerima sesuatu melebihi haknya, maka mereka akan menerimanya tanpa rasa bersalah. Tipe ini berada pada posisi yang rentan. Peran di luar dirinya akan sangat berpengaruh terhadap kepribadiannya. Jika mereka berada pada lingkungan orang-orang yang beritegritas, maka ada harapan mereka menjadi orang yang beritegritas pula. Namun, jika mereka berada pada lingkungan orang-orang yang buruk, maka akan terkikislah benih integritas pada dirinya.
Di bawah tingkatan integritas rendah, maka dapat digolongkan seseorang tidak memiliki integritas sama sekali. Dia akan menjadi racun dalam instansi birokrasi negara ataupun swasta. Tipe ini akan berpotensi menjadi penipu atau penghianat bagi teman sendiri. Hati nuraninya tidak dapat lagi dijadikan hakim bagi dirinya sendiri. Karena hatinya telah mati. Dia selalu berusaha menghindar dari kewajibannya. Di sisi yang lain dia berupaya ingin mendapatkan imbalan dari mana saja yang bersumber dari apa saja dan dengan segala cara. Tipe ini dekat dengan istilah 3 H, (Halal, Haram, Hantam).
Yang lebih parah, mereka yang tidak memiliki integritas akan menjadi virus bagi suatu instansi/lembaga. Kehadiran mereka dapat mempengaruhi orang-orang yang lemah integritasnya menjadi sama seperti mereka. Dan menunggu waktu, mereka juga akan mendapatkan balasan di dunia berupa pemecatan atau terjerat pidana. Dalam kondisi tersebut, instansi/lembaga yang menaunginya akan tercoreng dan kehilangan kepercayaan publik. Selain itu, jika ajal datang sebelum bertobat, maka semuanya akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam Al-Quran Surat Az-Zalzalah ayat 7 dan 8, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.”
Maka, sudah saatnya kita kembali memperbaiki diri. Menyimak terus-menerus kisah teladan para tokoh yang jujur dan berintegritas. Kepribadian mereka akan menjadi role model bagi kita. Sehingga kita kokoh tak tergoda dengan silau dinia yang tidaklah lama.
Tentu kita sudah bisa meraba tingkat integritas diri. Setelahnya, tinggal kita membangun motivasi dan komitmen untuk menjadi pribadi yang berintegritas. Semoga kita dapat menjadi teladan dan contoh yang akan menebar kebaikan. Menjaga integritas secara konsisten selamanya sampai ajal menutup mata.
Pribadi yang berintegritas akan membentuk keluarga yang berintegritas. Lalu menyebar menjadi masyarakat dan instansi/lembaga yang berintegritas. Setelahnya, akan berkumpul menjadi negara Indonesia yang berintegritas. Anak sekolah, guru, petani, buruh, pelajar, mahasiswa, ASN, Jaksa, Polisi, Hakim, Advokat, DPR dan semuanya sampai kepada Presiden dan Wakil Presiden yang berintegritas. Maka dapat dipastikan negara ini akan menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur.***
Penulis | : | El Hadi, Staf Hukum Bawaslu Kabupaten Indragiri Hulu |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |