(CAKAPLAH) - Karla adalah singkatan dari kebakaran lahan. Saya kayaknya kurang setuju ke depan dimasukkan 'hutan' menjadi Karhutla atau kebakaran hutan dan lahan untuk di Riau. Sebab, di daerah ini yang banyak adalah lahannya, bukan hutannya.
Beberapa kali kami ikut memadamkan Karhutla beberapa waktu lalu dengan heli, mobil dan main trabas dengan motor trail. Saya jarang melihat lagi yang namanya hutan (pohon besar) khususnya di Riau, yang banyak adalah lahan yang berbentuk lahan sawit, lahan gambut, lahan perkebunan, lahan sawah, bahkan ada lahan ilegal seluas 1,2 juta hektar yang isunya tak jelas pemiliknya, sudah menjadi lahan sawit.
Kalau pun ada hutan, yakni hutan sawit, hutan karet, hutan untuk bahan kertas seperti hutan konservasi. Kalau pun ada hutan alam, paling sedikit.
Kenapa ya kebakaran lahan terus terjadi di Indonesia, khususnya Riau? Dari tahun ke tahun sampai sekarang, sejarah yang pernah saya baca, awalnya banyak hutan alam yang dibakar, dikosongkan, ditumbangkan untuk sawit, karet, HTI dan lainnya.
Pokoknya semenjak toke-toke besar masuk, hancurlah hutan alam itu berubah fungsi. Termasuk masyarakat tempatan dan pendatang ikut membuka menanam sawit. Mulailah kebakaran lahan di Indonesia dan Riau terjadi sampai sekarang, dan tiap tahun juga negara membuang uang ratusan miliar untuk menghentikan kebakaran lahan yang terjadi untuk menyewa helikopter, pesawat, dan beli garam untuk hujan buatan. Belum biaya operasinalnya. Singkatnya, kebakaran lahan di Riau seakan tak pernah benar-benar padam.
Penindakan hukum juga dikenakan bagi pembakar lahan, tapi tetap juga ada hutan terbakar. Riau yang katanya mempunyai lahan sawit hampir 3,4 juta hektar lebih, bahkan yang terbesar di Indonesia dan info nya ada ratusan pabrik kelapa sawit. Sampai orang mengistilahkan, kalau dilihat dari bulan, Riau tak pernah mati kalau malam hari, kelihatan lampu mobil truk hilir mudik di semua jalan membawa sawit dan HTI.
Biasanya, sawit yang tua akan ditumbangkan untuk diremajakan. Butuh biaya juga dalam prosesnya. Ada oknum yang nekat memilih cara pintas dengan cara membakarnya saja. Akibatnya, polusi asap terjadi dan tak jarang api menyebar ke area lain.
Belum lagi, ada orang yang membuka lahan gambut dengan cara murah yakni juga dengan cara dibakar juga.
Apa kita setiap tahun harus jatuh di lubang yang sama, terus buang uang untuk memadamkan lahan yang terbakar. Ratusan miliar untuk menyewa heli dan lainnya. Sampai kapan? Kalau pun kita lihat, khususnya di Riau, yang terbakar lahan itu ya di daerah itu-itu saja.
Dari data yang dihimpun, kebakaran hutan dan lahan tahun 2017 dan 2018 kebakaran hutan dan lahan di Riau berturut-turut mencakup area seluas 6.866 ha dan 37.236 ha.
Sementara selama 2019 Karhutla mencakup area seluas 75.871 hektare (ha), jauh lebih luas dibandingkan cakupan karhutla tahun sebelumnya.
Kemudian, sepanjang tahun 2020, tepatnya sejak 11 Februari hingga Oktober 2020, luas hutan dan lahan yang terbakar di Riau mencapai 1587,66 hektar dengan jumlah hotspot 2.730 titik.
Untuk angggaran sendiri, tiap tahunnya di angka ratusan miliar. Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla di Provinsi Riau pada tahun 2019 saja contohnya menyedot anggaran dana siap pakai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lebih dari Rp468,66 miliar.
Melihat data di atas, apa tidak bisa dideteksi sedari awal bahwa kalau musim kemarau daerah itu harus dijaga, harus diawasi, jangan sampai terbakar, atau daerah tersebut seperti lahan gambut dibuat danau supaya airnya tidak kering agar tidak mudah terbakar. Sekali buang biaya mahal, tapi hasilnya efektif, dari pada tiap tahun buang miliaran rupiah hanya untuk memadamkan api. Belum capeknya tenaga dan fikiran.
Atau dicari sistem, bagaimana supaya lahan itu tidak terbakar tiap tahun di musim kemarau, dan kadang - kadang malu juga lahan yang terbakar itu mati karena hujan turun. Di samping ada yang mati karena semprotan heli dan manusia.
Kepada pemangku kebijakan, berfikirlah ke depan bagaimana lahan itu tidak terbakar dan bagaimana mencegahnya supaya tidak terbakar. Masak tidak bisa sih? Apa kita tunggu dulu lahan itu gundul baru tak ada yang membakar dan terbakar lagi.
Padahal kita tahu, tiap tahun khususnya di Riau sebelum kemarau datang selalu membuat status siaga kebakaran tapi tetap juga terbakar. Ayo Riau kita mampu ke depan mencegah hutan tidak terbakar lagi. Aamiin.
Penulis | : | Dr Zulkarnain Kadir SH MA, Pembina YLPI Riau. |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Lingkungan, Cakap Rakyat |