PEKANBARU (CAKAPLAH) - Komisaris PT Arta Niaga Nusantara (ANN), Handoko Setiono, dan Direktur Melia Boentaran, diadili di Pengadilan Tipikor Pekanbaru terkait dugaan korupsi proyek peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis 2103-2015, Kamis (24/6/2021). Pasangan suami istri itu didakwa merugikan negara Rp114 miliar.
Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan digelar secara virtual dengan majelis hakim yang dipimpin Lilin Herlina, didampingi hakim anggota Dedi Koswara dan Darlina Darwis. Kedua terdakwa berada di Rutan KPK dan penasehat hukum, Eva Nora di Pengadilan Tipikor.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan, dalam proyek multiyears itu kedua terdakwa memiliki tugas masing-masing. Handoko Setiono diduga berperan aktif selama proses lelang untuk memenangkan PT ANN.
Sejak awal lelang dibuka PT ANN telah dinyatakan gugur di tahap prakualifikasi. Namun dengan dilakukannya rekayasa bersama dengan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Bengkalis berbagai dokumen lelang fiktif sehingga PT ANN dinyatakan sebagai pemenang tender pekerjaan.
Melia Boentaran juga diduga aktif melakukan berbagai pertemuan dan memberikan sejumlah uang kepada beberapa pejabat di Dinas PUPR Kabupaten Bengkalis agar bisa dimenangkan dalam proyek ini.
Juga diduga ditemukan berbagai manipulasi data proyek dan pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Tindakan terdakwa itu memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan kerugian negara sebesar Rp114 miliar.
Para terdakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp110,5 miliar. Kemudian, memperkaya orang lain sebesar Rp13,5 miliar yang dibagikan kepada sejumlah pejabat di Dinas PUPR Bengkalis agar agar proyek senilai Rp265 miliar itu dapat dimenangkan oleh perusahaan terdakwa.
"Adapun pejabat yang dibagikan itu di antaranya M Nasir (Kadis PUPR Bengkalis) sebesar Rp850 juta, Syarifuddin alias H Katan (Ketua Pokja ULP) bersama Adi Zulhemi dan Rozali sebesar Rp2.025 miliar," kata JPU.
Kemudian, Maliki Rp7,5 juta, Ribut Susanto Rp700 juta, Tarmizi Rp8 juta, Syafrizan Rp7 juta, Wandala Adi Putra Rp5 juta, Raffiq Suhada Rp5 juta, Edi Sucipto Rp5 juta, Islan Iskandar Rp267 juta, Edi Kurniawan Rp5 juta, Yudianto Rp25 juta, Ardian Rp16 juta, Raja Deni Rp17,5 juta berikut sebuah sepeda motor KLX, Ridwan Rp20 juta.
Uang juga diberikan kepada Ngawidi Rp15 juta, Ardiansyah Rp10 juta, Agus Syukri Rp10 juta, Lutfi Hendra Kurniawan Rp6 juta, Lukman Hakim Rp6 juta, Safar Rp6 juta dan Muhammad Rafi Rp 6 juta. "Total kerugian negara Rp114.594.000.180 sebagaimana hasil audit yang dilakukan tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," tutur JPU.
Dijelaskan, perusahaan terdakwa memenangkan kontrak dengan total sebesar Rp291.515.703.285. Uang itu bahkan telah dibayarkan dengan 100 persen tapi kenyataannya di lapangan, progres pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, bahkan perusahaan telah melampaui batas waktu pengerjaan.
Akibatnya, perusahaan harus membayar addendum karena kelalaian pekerjaan yang tidak sesuai kontrak. Tidak tanggung-tanggung, pihak PUPR telah melakukan 8 kali adendum kepada perusahaan terdakwa.
Meskipun telah dilakukan addendum tapi realisasi pekerjaan PT ANN atas proyek tersebut berdasarkan dimensi dan spesifikasi yang terpasang ternyata tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam kontrak. Volume pekerjaan yang terpasang tidak sesuai dengan prestasi pembayaran atau terdapat selisih Rp114.594 miliar," terang jaksa.
Akibat perbuatannya itu, kedua terdakwa dijerat dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1) junto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 KUHP ayat 1.
Penulis | : | CK2 |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Kabupaten Bengkalis |