PEKANBARU (CAKAPLAH) -- Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) Andi Putra dan ayahnya, Sukarmis, hadir di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Jum'at (2/7/2021). Mereka jadi saksi perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Hotel Kuansing.
Ketika proyek berjalan, Sukarmis menjabat sebagai Bupati Kuansing sedangkan Andi Putra jadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kuansing. Mereka jadi saksi untuk terdakwa Fahruddin dan Alfion Hendra.
Fakhruddin merupakan eks Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR), sekaligus Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing. Sementara Alfion merupakan Kepala Bidang (Kabid) Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas CKTR 2015 selaku Pejabat Pelaksanaan Teknis Kegiatan (PPTK).
Dalam kesaksiannya, Sukarmis banyak mengaku tidak tahu dan tidak jelas terkait pelaksanaan proyek pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing. "Tidak tahu ada pembangunan ruang pertemuan di 2015," ujar Sukarmis di hadapan majelis hakim yang dipimpin Iwan Irawan.
Sukarmis menyebutkan, dirinya baru mengetahui ada pembangunan tersebut setelah diusut oleh Kejaksaan. Pasalnya pengerjaan diserahkan kepada Sekretaris Daerah, Bappeda dan Dinas CKTR. "Semuanya saya serahkan kepada tim di pemerintahan dan OPD. Selebihnya saya tidak tahu," ucap Sukarmis.
Jawaban Sukarmis yang mengaku tidak mengetahui pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing membuat majelis hakim heran. Apalagi Sukarmis menjadi Bupati Kuansing dua periode dari 2006 hingga 2015.
"Masa semuanya tidak tahu. Ini kan Anda yang menunjuk Kadis CKTR Fahruddin selaku Pengguna Anggaran untuk pembangunan," tanya hakim.
Kemudian hakim membacakan surat penunjukan terhadap Fakhruddin sebagai Pengguna Anggaran. Setelah mendengar itu Sukarmis akhirnya mengakuinya.
"Anda semua bilang tidak tahu tapi semua Anda yang tanda tangan. Kalau memang tidak mau tahu, bikin surat kuasa untuk Sekda. Ini kan tidak, Anda semua yang tanda tangani," kata hakim dengan nada kesal.
Sukarmis menjelaskan, proyek 3 pilar yang terdiri dari pembangunan pasar modern, Universitas Kuansing dan Hotel Kuansing diserahkan kepada Sekda, OPD dan Bappeda.
"Itulah masalahnya, Anda terlalu percaya sama bawahan. Itu kan rekom dari Ditjen (Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dalam 3 pilar harus menggunakan BUMD. Kenyataannya kan tidak," timpal hakim.
Majelis hakim lalu bertanya terkait tupoksi Sukarmis sebagai Bupati Kuansing. Bukannya menjawab hal itu, Sukarmis kembali menuding pekerjaan proyek tersebut sepenuhnya diberikan kepada Sekda, OPD dan Bappeda Kuansing.
Majelis hakim sempat menyinggung kesaksian mantan Wakil Bupati Kuansing, Zulkifli. Ketika bersaksi, Zulkifli menyatakan bahwa proyek 3 pilar itu tidak ada manfaatnya untuk masyarakat Kuansing.
Mendengar hal itu, Sukarmis langsung menjawab dengan nada tinggi. "Wakil Bupati saja hanya masuk kantor 1 tahun, bagaimana dia mau diajak," ucap Sukarmis dengan nada tinggi.
Jawaban Sukarmis membuat majelis hakim kembali menyampaikan keterangan Zulkifli yang menyebut kalau dirinya pernah mengatakan kepada Sukarmis bahwa proyek 3 pilar itu tidak bisa dilanjutkan. Sebab,
Pemkab Kuansing tidak menjalankan rekomendasi dari Ditjen Kementerian Dalam Negeri.
"Saya menjadi ragu dengan keterangan Anda. Soalnya, Wakil Bupati saja dalam kesaksiannya pernah mengatakan kepada Anda bahwa proyek itu tidak bisa dilanjutkan, karena tidak menjalankan rekom Ditjen yang harus menggunakan BUMD," tutur hakim ketua, Iwan.
Sementara itu, Andi Putra dalam kesaksiannya menyebut menjabat sebagai Ketua DPRD Kuansing periode 2014-2019 sekaligus Ketua Badan Anggaran. Ketika proyek dilaksanakan, dia mengaku belum menjadi Ketua DPRD Kuansing.
Andi Putra menyebut nama Muslim yang merupakan mantan Ketua DPRD Kuansing periode 2009-20014. "Kalau gak salah (jaman) pak Muslim," kata Andi Putra.
Hakim meminta Andi Putra menjelaskan terkait proyek 3 pilar yang nilai kontraknya tentang kontrak proyek 3 pilar hampir Rp200 juta dan tidak dijalankan rekom dari Ditjen. Tapi dia mengaku lupa. "Tidak ingat lagi yang mulia," ucap Andi Putra.
Hakim juga bertanya mengenai anggaran pembangunan dan detail proyek 3 pilar, dan lagi-lagi Andi Putra mengaku lupa. Jawabannya yang selalu mengatakan tidak ingat membuat hakim kesal
"Anda kan legislatif. Fungsinya ada tiga, pengawasan, penganggaran dan administrasi. Ada tidak dijalankan (3 fungsi) itu," tanya hakim.
Andi Putra menyebut, seharusnya fungsi itu dijalankan oleh DPRD Kuansing. "Kenyataannya kan tidak. Buktinya sampai saat ini belum ada manfaatnya (3 pilar tersebut untuk masyarakat)," kesal hakim.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan korupsi terjadi pada 2015. Ketika itu terdakwa Fachruddin selaku Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pengguna Anggaran (PA) pada Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing.
Pembangunan Hotel Kuansing dilakukan berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Pemkab Kuansing di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Nomor DPA Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) 1.03.1.03.07.29.02.5.2. Pada pos mata belanja diketahui terdapat kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing.
Perkara itu bermula pada tahun 2014 lalu, yakni adanya pembangunan fisik Hotel Kuansing oleh Dinas CKTR kabupaten setempat. Kemudian di tahun 2015, dilakukan pembangunan ruang pertemuan hotel yang dikerjakan PT Betania Prima dengan pagu anggaran sebesar Rp13,1 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Kuansing.
Dalam pekerjaannya, rekanan menyerahkan jaminan pelaksanaan Rp629 juta lebih. Selain itu, pada kegiatan ini terjadi keterlambatan pembayaran uang muka oleh PPTK, sehingga berdampak pada keterlambatan progres pekerjaan.
PT Betania Prima selaku rekanan juga tidak pernah berada di lokasi selama proses pengerjaan proyek tersebut. Mereka hanya datang saat pencairan pembayaran pekerjaan setiap terminnya, dalam hal ini dihadiri Direktur PT Betania Prima.
Hingga masa kontrak berakhir, pekerjaan tidak mampu diselesaikan rekanan. Rekanan hanya mampu menyelesaikan bobot pekerjaaan sebesar 44,5 persen, dan total yang telah dibayarkan Rp5,263 miliar.
Atas hal itu, PT Betania Prima dikenakan denda atas keterlambatan pekerjaan sebesar Rp352 juta. Namun, PPTK tidak pernah menagih denda tersebut.
Tidak hanya itu, PPTK juga tidak melakukan klaim terhadap uang jaminan pelaksanaan kegiatan yang dititipkan PT Betania Prima di Bank Riau Kepri sebesar Rp629 juta. Semestinya, uang tersebut disetorkan ke kas daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuansing.
Sejak awal kegiatan, Kepala Dinas CKTR Kuansing selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tidak pernah membentuk tim Penilai Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Sehingga, tidak pernah melakukan serah terima terhadap hasil pekerjaan, dan saat ini hasil pekerjaan tersebut tidak jelas keberadaannya.
Dengan demikian, Hotel Kuansing itu belum bisa dimanfaatkan. "Hasil perhitungan kerugian kerugian negara kerugian 5.050.257.046,21," kata JPU.
Atas perbuatannya, terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis | : | CK2 |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Kabupaten Kuantan Singingi |